Akulturasi Budaya Jawa dan Tionghoa dalam Wayang Orang
2016.08.19
Malang
Harum dupa menyeruak dalam alunan gamelan yang menggema di ruangan yang berhiaskan lampion merah, memperkental suasana akulturasi budaya Tionghoa dan Jawa. Kidung karawitan terdengar merdu dari bibir dua sinden yang duduk bersimpuh. Ratusan orang “terhipnotis” di Klenteng Eng An Kiong, Malang, Jawa Timur, pada malan pertengahan bulan Juli itu.
Wayang Wong atau Wayang Orang Kelompok Bara Pra Tama, sajian khusus untuk memperingati 191 tahun kelenteng itu, belum lagi digelar, namun penonton sudah memenuhi ruangan. Sebagian bahkan hadir mengenakan pakaian adat. Selain wajah lokal dengan tampang Melayu, dan turis manca negara, penonton dari etnis Tionghoa juga hadir malam itu. Tidak heran karena pemain Wayang Orang Bara Pra Tama sebagian pemainnya adalah juga warga keturunan Tionghoa.
Bara Pra Tama didirikan tahun1989 oleh Kwee Kiat Siang atau Shinta Dewi Kusuma yang sudah menyukai wayang sejak kecil. Dia membimbing ketiga anaknya untuk belajar menari dan mengikuti pementasan wayang orang.
Pada era 1960-an semua pemainnya adalah warga etnis Tionghoa. Pada tahun awal 1970-an, mayoritas pemain juga masih warga etnis Tionghoa. Jumlah yang cukup besar jika dibandingkan saat ini yang hanya tersisa enam orang dari 40 pemain.
Gemulai penari Gambyong menyambut para tamu, membuka pertunjukan malam itu, sebelum akhirnya pagelaran wayang orang dimulai.
Penonton terkesima, tak terasa adegan demi adegan selama dua jam berakhir sudah. Di tengah kecendrungan semakin turunnya peminat terhadap Wayang Wong, pemandangan malam itu cukup menyejukkan melihat penonton tak bergeming walaupun para penari telah hilang ke balik panggung.