Subak: Keindahan, Wujud Syukur, dan Keluhan Petani Bali
2017.09.08
Denpasar
Bagi petani di Bali, bertani tidak hanya tentang cara memproduksi hasil pertanian seperti padi atau tanaman palawija, tetapi juga wujud bakti kepada alam. Subak, sistem irigasi tradisional Bali, adalah salah satu buktinya.
Subak memiliki dua makna sebagai sistem irigasi tradisional maupun sebutan bagi kelompok petani di Bali.
Sebagai sistem irigasi tradisional, subak meliputi tata cara pengairan di sawah termasuk pembagian antara para anggota kelompok.
Sebagai kelompok petani, subak mengatur keseluruhan tahapan dalam sistem pertanian termasuk upacara adat terkait pertanian.
Hasil teknik irigasi tradisional itu terlihat pada pembagian air yang adil kepada anggota kelompok yang mampu menjangkau wilayah dengan lanskap berundak dan curam.
Secara kasat mata, sawah-sawah di Bali umumnya berundak menjadi pemandangan indah seperti terlihat di Jatiluwih dan Pupuan di Kabupaten Tabanan dan Ubud di Gianyar.
Sebagai wujud syukur, petani juga menghaturkan sesaji tiap hari selain saat upacara besar, enam bulan sekali.
Keindahan berbalut tradisi ini menarik turis domestik maupun mancanegara.
Namun, di sisi lain ini juga menjadi masalah bagi petani. Mereka merasa tidak mendapatkan bagian dari kue pariwisata.
“Kami tidak dapat bagian apa-apa,” kata I Ketut Lada, petani di Jatiluwih.
Sebagian petani sampai memasang pagar bambu agar turis tidak masuk ke pematang sawah karena bisa merusaknya.
Ancaman lain terhadap subak adalah maraknya jual beli dan alih fungsi lahan, terutama di perkotaan.
Sejumlah seniman pun merespon dengan membuat gerakan “Bali Not for Sale” sebagai ajakan agar petani tetap mempertahankan keindahan sawah, termasuk sistem subaknya.