Ritual Pompaura untuk Kebersamaan dan Kedamaian

Basri Marzuki
2016.04.05
Palu
cuci1.jpg

Warga dan berkumpul di tengah lapangan untuk memulai ritual Pompaura. (Basri Marzuki/BeritaBenar)

cuci2.jpg

Sesajen utama diletakkan di tempat khusus yang sudah disiapkan. (Basri Marzuki/BeritaBenar)

cuci3.jpg

Warga duduk saat tetua adat membacakan manteranya sebagai tanda ritual dimulai. (Basri Marzuki/BeritaBenar)

cuci4.jpg

Tetua adat menari mengelilingi sesajen sembari memanggil arwah. (Basri Marzuki/BeritaBenar)

cuci5.jpg

Tetua adat meneriakkan pesan-pesan moral bagi warga. (Basri Marzuki/BeritaBenar)

cuci6.jpg

Warga berebutan mengambil sesajen yang diikat di janur kuning. (Basri Marzuki/BeritaBenar)

cuci7.jpg

Tetua adat memberi pemberkatan kepada warga. (Basri Marzuki/BeritaBenar)

cuci8.jpg

Saling bermaafan, simbol kerukunan dan kebersamaan yang selalu dijaga. (Basri Marzuki/BeritaBenar)

cuci9.jpg

Warga memetik janur kuning dan memisahkan lidi yang menempel di daun. (Basri Marzuki/BeritaBenar)

Sore itu, Rabu 30 Maret 2016, bekas-bekas hujan masih membasahi tanah di sebelah utara luar lintasan pacu Bandara Mutiara Sis Aljufri Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng).

Lalu lalang pesawat tak membuyarkan konsentrasi para tetua adat yang melakukan ritual adat cuci kampung yang oleh warga setempat dikenal dengan tradisi Pompaura.

Dalam praktiknya, Pompaura tak hanya digelar untuk meminta hujan. Apalagi hujan mulai turun sejak sepekan terakhir tak perlu diritualkan lagi.

Yang pokok adalah mencuci kampung agar segala bala akibat perilaku buruk manusia di wilayah itu dapat dihindari.

Suku Kaili – etnis mayoritas yang mendiami lembah Palu – rutin menggelar upacara adat itu setiap tahun. Ritual turun temurun yang dilakukan dengan harapan segala bencana, wabah penyakit, kesulitan hidup menjauh dari keseharian mereka.

Ritual dimulai dengan menyiapkan sesajen terdiri dari aneka makanan sesuai dengan kemampuan warga. Taki atau bawaaan berupa beras, gula pasir, kopi, teh, singkong, pisang, ayam atau bahkan kambing yang merupakan pengadaan secara gotong royong.

Seluruh taki dikumpulkan, lalu diikat di rumbai janur kuning yang menjuntai antara ranting pohon bambu yang sudah disiapkan.

Tetua adat pun mulai merapal mantera. Perlahan warga menari mengikuti suara gendang yang makin lama semakin kencang derap iramanya.

Sangguni (beras kuning) dihamburkan ke para penari diikuti percikan air kembang yang digotong tetua adat.

Warga mengerubuti penari yang tampak kehilangan kesadaran. Mereka percaya, saat itulah arwah memasuki roh penari untuk mengabulkan permintaan pembersihan kampung.

Talu gendang tiba-tiba berhenti menandai sang arwah sudah pergi ke alamnya. Yang tersisa adalah tangis para penari dan tetua adat.

Mereka berangkulan, saling memaafkan, larut dalam tangis. Kesadaran akan salah dan khilaf ditumpahkan hingga akhirnya memasuki suasana kebersamaan dan kekeluargaan yang kental.

Sesajen yang tergantung di janur kuning kemudian menjadi rebutan warga. Sesajen itu tidak dibawa pulang, tapi untuk disantap bersama. Warga damai dalam santap bersama. Permusuhan dan pertikaian sesama warga sirna.

Ritual adat itu mencapai puncaknya ketika setiap warga memetik janur kuning dan memisahkannya dengan lidi yang menempel. Mereka pulang dengan suasana hati bersih dan damai.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.