Jejak Nelayan Bugis di Donggala
2016.04.27
Palu
Minggu, 10 April 2016, langit di Tanjung Batu tertutup awan tebal. Sehari sebelumnya, pantai di jantung ibukota Kabupaten Donggala itu diguyur hujan lebat.
Tak banyak aktivitas terlihat di pelabuhan, yang saban hari ramai dengan pembongkaran dan transaksi jual beli ikan. Di sudut sebelah utara, sesekali terlihat orang keluar masuk ke gedung mirip hangar pesawat tempur. Konon, bangunan yang seluruhnya dibuat dari seng tebal telah berdiri sejak tahun 1897 saat Belanda menguasai wilayah itu.
Dulu, Donggala dikenal sebagai pelabuhan teramai di Sulawesi. Bekas kejayaan kota ini masih ada. Seisi kota, hampir semuanya berarsitektur peninggalan penjajah. Sebelum ibukota Sulawesi Tengah dipindahkan ke Palu tahun 1995, Donggala merupakan pusat pemerintahan.
Di sebelah barat tak jauh dari hangar yang berwarna coklat kemerahan karena karat itu, tampak sekelompok nelayan asyik bersenda-gurau di warung milik Haji Basri.
Di warung tak hanya tersedia aneka minuman dan penganan khas, tapi juga sajian topik perbincangan seolah tanpa ujung, mulai dari cuaca hingga persoalan politik daerah. Perbincangan semakin ngelantur jika diselingi dengan Sokko (nasi dari beras pulut putih yang dicampur parutan kelapa).
Tua dan muda berbaur di situ. Kaum tua tampak meneguk kopi sedangkan yang muda lebih memilih minuman berenergi. Meski tak ada jarak di antara mereka, namun sopan santun bagaimana kaum muda berbicara kepada yang lebih tua tetap terjaga.
Waktu menunjukkan pukul 11.57 WITA. Suara adzan dari surau berdinding papan yang jaraknya 10 meter dari warung, berkumandang. Semua aktivitas di warung terhenti. Nelayan yang larut dalam diskusi, bubar dan buru-buru mengganti celana pendeknya dengan sarung yang telah dipersiapkan untuk shalat Dzuhur berjamaah.
“Eee…. Engkani kappala’na La Baco (Kapal La Baco sudah datang),” teriak seorang pemuda dalam bahasa Bugis dari kejauhan. Sontak para nelayan yang baru menunaikan shalat bergegas ke pantai. “Alhamdulillah, salama’ni (Alhamdulillah, sudah selamat sampai),” ujar mereka.
Beberapa nelayan memang cukup khawatir. Nelayan yang melaut dua atau tiga hari lalu sudah tiba kembali sejak pagi. Kini mereka semua lega setelah kapal terakhir yang ditunggu merapat dan membawa ikan hasil tangkapan.
Dengan perahu-perahu kecil, ikan-ikan itu dibawa ke darat. Daeng Tapa mulai menghitung ikan tangkapan; hanya ada 10 keranjang. Padahal biasanya bisa mencapai 40 keranjang sekali melaut.
Transaksi dilakukan di bibir pantai. Sejumlah juragan ikan dari daerah sekitarnya segera menawar. “Tambai cedde, menre’ni harga solar-e,” (Naikkan sedikit harganya, harga solar sudah naik),” ujar Daeng Tapa saat bernegosiasi dengan pembeli.
Para nelayan itu adalah pelaku utama ekonomi di daerah pesisir Donggala. Mereka adalah etnis Bugis yang sudah turun-temurun di sana, dan kini mencapai 80 persen dari jumlah penduduk di wilayah itu. Bahasa yang digunakan bahasa Bugis meskipun sebagian besar dari mereka tak pernah menginjakkan kaki di Makassar, Sulawesi Selatan, tanah asal leluhur mereka.