Dokar Terakhir di Denpasar
2016.08.30
Denpasar
Kejayaan dokar di Denpasar hanya tinggal sisa-sisa. Pada 1980-an, terdapat 700-an dokar di ibukota provinsi Bali itu. Ketika itu kendaraan roda dua yang ditarik kuda ini banyak digunakan sebagai alat transportasi warga ke pasar dan anak-anak keliling kota.
Tapi 30 tahun kemudian, dokar yang tersisa hanya sekitar tujuh. Salah satunya milik I Wayan Pinen, warga Banjar Praja Sari, Denpasar Utara. Itu pun dengan nasib antara hidup dan mati.
Jumat lalu, 26 Agustus 2016, Pinen mangkal di perempatan Jalan Gajah Mada, kawasan pusat bisnis di Denpasar. Di sini ada Badung dan Kumbasari, dua pasar terbesar di Bali yang bersebelahan. Hampir lima jam mangkal, dia cuma mendapatkan satu kali penumpang.
Penumpang itu Siti Fatonah (36) bersama dua anaknya, Muhammad Zakir dan Cahaya Rembulan. Mereka naik dokar dari perempatan Gajah Mada melewati Jalan Kartini menuju Kampung Jawa, di mana Siti dan keluarganya tinggal.
“Saya naik dokar hanya untuk menyenangkan anak-anak,” ujarnya.
Perjalanan tak lebih dari 15 menit. Mereka bayar Rp 10.000. Hanya itu pendapatan Pinen. Itu pun tak setiap hari. “Dalam seminggu, saya belum tentu dua hari narik,” katanya.
Sekaratnya dokar di Denpasar berawal dari mudahnya warga mendapat kendaraan pribadi, terutama sepeda motor. Tak hanya dokar, angkutan lain seperti bemo pun kian sepi penumpang, meski Denpasar selalu ramai wisatawan.
Dengan pendapatan pas-pasan, penarik dokar dan pengemudi bemo di Denpasar pun semakin sedikit. Alat transportasi ini pun semakin terlupakan.
“Saya masih narik karena hobi saja. Saya sayang sama kuda saya,” kata Pinen sambil mengelus Lusi, kuda kesayangan sang penarik dokar terakhir.