Balia, Ritual Pengobatan Masyarakat Kaili
2016.01.22
Palu
Waktu masih menunjukkan pukul 16.00 waktu setempat, namun gendang yang dimainkan empat orang terdengar bertalu-talu hingga ujung lorong. Tujuh perempuan dan dua laki-laki menari beruntun dengan gerakan yang nyaris tak beraturan mengelilingi pedupaan yang mirip kursi-kursi yang ditumpuk.
Aroma kemenyan tercium hingga ke sudut-sudut tenda plastik tidak jauh dari pusat ritual itu, menyatu dengan tembang yang dilantunkan dalam bahasa masyarakat setempat yaitu Kaili.
Ritual itu disebut Balia, yakni ritual adat yang dilaksanakan untuk penyembuhan. Masyarakat etnis Kaili yang kebanyakan beragama Islam mendiami Lembah Palu, Sulawesi Tengah. Ritual ini bisa diadakan secara individu maupun secara berkelompok. Kadang ritual ini juga dilakukan setelah upaya medis tidak berhasil menyembuhkan suatu penyakit.
Prosesi bisa berlangsung hingga tujuh hari tujuh malam, tergantung berat ringannya jenis penyakit. Pada masa silam, upacara adat Balia ini adalah hal yang lumrah dilakukan, terutama bagi kalangan ningrat.
Prosesi dimulai dengan penyiapan bahan-bahan upacara mulai dari pedupaan, keranda, buah-buahan hingga hewan kurban yang bisa berupa ayam, kambing, atau kerbau, tergantung kasta orang yang mengadakan hajatan.
Biayanya ditanggung oleh yang punya hajat ditambah dengan ongkos lelah bagi peritual. Jika semua sudah siap, pawang yang harus laki-laki mulai beraksi dengan mantra-mantranya, memanggil arwah penguasa panutannya. Sejumlah sesajian yang berbeda setiap prosesinya dihidangkan dekat pedupaan.
Tari Balia pun terus mengiringi hingga orang yang sakit diusung untuk mengikuti prosesi puncak, yaitu penyembelihan kerbau. Darah kerbau yang disembelih itu menjadi simbol kesungguhan harapan atas kesembuhan.
Kebanyakan warga setempat sangat meyakini efektivitas ritual ini, meski tidak sedikit juga dari mereka - yang sudah terbiasa dengan gaya hidup modern-menganggapnya tak lebih dari peninggalan budaya yang perlu dijaga agar tidak punah.