Ratusan Aktivis Serukan Semua Pihak Bersatu Membangun Aceh

Oleh Nurdin Hasan
2015.08.10
150810_ID_NURDIN_GAM_ANNIVERSARY_700.jpg Ratusan aktivis Aceh dari lintas generasi duduk di kursi dalam pertemuan akbar di Banda Aceh, Sabtu, 8 Agustus 2015.
BeritaBenar

Lebih dari 500 aktivis Aceh lintas generasi yang menggelar pertemuan di Banda Aceh, Sabtu malam 8 Agustus, menyerukan semua pihak agar bersatu dalam membangun provinsi ujung barat Indonesia itu ke arah yang lebih baik.

Dalam hajatan hingga menjelang dinihari di bawah tenda yang dipasang di halaman warung kopi, aktivis dengan berbagai latar belakang gerakan dari sejumlah daerah di Aceh dan Jakarta saling melepas rindu karena sebagian dari mereka sudah bertahun-tahun tak pernah bertemu.

Pertemuan akbar bertajuk “Berdamai dengan masa lalu, menantang lagi masa depan. Bersatu membangun Aceh” itu diisi dengan kisah sebagian aktivis mewakili angkatan masing-masing serta harapan mereka akan masa depan Aceh.

Muhammad MTA, salah seorang inisiator kegiatan, menyatakan bahwa aktivis lintas generasi yang hadir terbagi dalam tiga kelompok besar yaitu sebelum reformasi, saat terjadi reformasi di Indonesia yang ditandai dengan tumbangnya Orde Baru di bawah Presiden Suharto tahun 1998, dan aktivis pasca reformasi.

“Pertemuan ini harus menjadi refleksi dan sejarah untuk menatap masa depan Aceh yang lebih baik, karena masa lalu Aceh penuh dengan konflik yang suram,” ujarnya.

“Hentikan sikap kekanak-kanakan”

Tetapi 10 tahun setelah perjanjian damai di bawah kepemimpinan para mantan tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sebagian besar masyarakat Aceh masih berada dalam kemiskinan, padahal dana pembangunan setiap tahun lebih dari Rp 10 trilyun.

Pada tahun 2006 – 2012, ketika bekas Koordinator Juru Runding GAM Irwandi Yusuf menjabat gubernur, hubungannya dengan wakilnya Muhammad Nazar dikabarkan retak meskipun keduanya adalah tokoh GAM.

Sementara hubungan gubernur Aceh sekarang Zaini Abdullah, yang juga mantan Menteri Luar Negeri Pemerintah GAM di pengasingan dengan wakilnya, mantan Panglima Tertinggi Tentara Negara Aceh (TNA) Muzakir Manaf juga dikabarkan tidak baik.

“Dua periode kekuasaan dipegang GAM, sikap kekanak-kanakan dipertontonkan. Sekarang sudah saatnya dihentikan. Generasi tua GAM jangan sampai meninggalkan perpecahan kepada generasi muda,” ujar MTA, disambut tepuk tangan para aktivis.

“Kini saatnya semua pihak bersatu mewujudkan kemakmuran rakyat bagi Aceh. Ini adalah sikap kita untuk memperkuat perdamaian yang telah dirasakan rakyat Aceh.”

Abdullah Saleh, seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dari Partai Aceh sepakat bahwa semua pihak harus bersatu untuk membangun provinsi itu.

“Kita semua sepakat Aceh lebih baik ke depan. Kita tidak ingin Aceh hancur apabila kita gagal membangun. Awal keberhasilan kita harus punya harapan yang baik untuk masa depan Aceh. Ini adalah awal menuju kesuksesan,” katanya.

Anggota DPR RI asal Aceh dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil mengharapkan agar aktivis lintas generasi dapat memulai langkah konkret untuk membela kepentingan masyarakat.

“Kita harus menjauhkan kecurigaan dan memperkecil pergesekan yang ada selama ini. Mari hilangkan sekat-sekat yang menghalangi kita,” ujarnya.

Ancaman revolusi sosial

Abdal Yasin, yang pernah berperan mengevakuasi sejumlah aktivis keluar dari Aceh karena jiwa mereka terancam ketika konflik antara gerilyawan GAM dan pasukan keamanan pemerintah, memperingatkan ancaman revolusi sosial bakal terjadi di Aceh.

“Saat ini uang di Aceh banyak, tetapi coba turun ke kampung-kampung. Keadaannya sangat menyedihkan. Jika situasi ini dibiarkan, tunggulah akan terjadi revolusi sosial yang lebih dahsyat dari era GAM,” ujar tokoh Aceh yang kini bermukim di Jakarta itu.

Revolusi sosial akan pecah saat dana otonomi khusus Aceh berakhir pada 2028, bila fondasi pembangunan ekonomi tidak berhasil diwujudkan dalam sisa waktu yang ada.

Untuk itu, ia mengharapkan perlu ada tindak lanjut pertemuan aktivis lintas generasi dengan menyiapkan konsep-konsep pembangunan ekonomi untuk ditawarkan pada pemerintah dalam membangun Aceh.

Perlunya pertemuan lanjutan dari kalangan aktivis juga disuarakan Iqbal Farabi yang mewakili aktivis 1998.

Menurut bekas Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) perwakilan Aceh itu, aktivis harus mengambil kesempatan menjadi pemimpin dalam mewujudkan kemakmuran Aceh.

“Pembangunan dalam 10 tahun perdamaian masih jauh dari harapan publik. Kondisi saat ini sangat menghawatirkan. Pertumbuhan ekonomi tidak jalan. Arah dan konsep pembangunan tak jelas,” katanya.

Bila situasi demikian terus dibiarkan, tambahnya, maka saat dana otonomi khusus Aceh berakhir akan menimbulkan dampak social, sementara jumlah pengangguran semakin meningkat.

“Melalui kegiatan silaturrahmi aktivis lintas generasi ini, kami ingin menyadarkan kita semua untuk menyiapkan solusi dan konsep pembangunan ekonomi Aceh,” ujar Iqbal.

Sebelum tahun 1976, Aceh merasakan ketidakadilan. GAM dideklarasikan pada 4 Desember 1976 oleh Muhammad Hasan Ditiro  sebagai awal perjuangan kemerdekaan dari Indonesia.

Pemerintah Indonesia dan GAM menandatangani perjanjian damai di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005, untuk mengakhiri konflik bersenjata di Aceh yang diyakini menewaskan 25.000 orang lebih, umumnya warga sipil.

“Dengan adanya perjanjian damai, GAM ingin menyatakan bahwa mereka tidak mampu memerdekakan Aceh. Indonesia juga menyatakan minta maaf karena banyak korban perang di Aceh. Kedua pihak berkomitmen ingin menyejahterakan masyarakat Aceh,” tutup Muhammad MTA.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.