Haruskah Indonesia merasa bersalah pada Timor-Leste saat memilih presiden?
2024.02.08
>> Ingin mengetahui berita Pemilu 2024, silakan klik di sini!
Pendudukan berdarah Indonesia di Timor Timur dari tahun 1975 hingga 1999 yang membunuh hampir seperempat populasi karena kelaparan dan tindak kekerasan, bukanlah tanggung jawab pemerintah Indonesia saat ini.
Namun, salah satu calon presiden 2024, Prabowo Subianto, adalah orang yang secara luas dituduh terlibat dalam beberapa kekejaman yang menyebabkan pembantaian tersebut dan kemungkinan akan menjadi presiden baru pilihan rakyat Indonesia, berdasarkan beberapa hasil survei belakangan ini.
Bagaimana kita harus menyikapi ini?
Haruskah kita mengatakan "malu" kepada ratusan juta orang yang akan memilih seorang tersangka kejahatan perang yang, hingga belum lama ini, dikabarkan masuk dalam daftar hitam Amerika Serikat?
Haruskah pemilihan presiden ini mendorong Indonesia untuk menghadapi tanggung jawab atas sejarah masa lalunya, membuka luka-luka yang telah berusaha ditutup rapi selama 32 tahun setelah rezim Suharto jatuh pada tahun 1998?
Di dalam negeri, publik lebih mengenal kebrutalan Prabowo yang represif reaksioner terhadap aksi protes yang membantu jatuhnya Suharto, yang pada saat itu adalah mertuanya.
Dia dikeluarkan oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada tahun 1998 setelah lembaga itu menemukan keterlibatannya dalam penculikan sembilan aktivis, sementara 13 lainnya masih hilang. Prabowo selalu membantah tegas klaim ini.
Pada tahun 2014, Prabowo mengaku kepada Al Jazeera bahwa dia berpartisipasi dalam penculikan tersebut, dan menambahkan bahwa dia hanya mengikuti perintah. Namun, tidak pernah ada tuntutan yang diajukan terhadapnya dan Prabowo tidak pernah diadili di pengadilan atas dakwaan tersebut.
Banyak orang Indonesia sepertinya tidak tahu bahwa calon pemimpin masa depan mereka (dan menteri pertahanan mereka sejak 2019) telah dituduh mencemari tangannya beberapa dekade sebelumnya - di Timor Timur.
Media di Indonesia selama ini bungkam dan tidak banyak melaporkan fase yang panjang ini dalam kehidupan Prabowo.
Prabowo menjabat sebagai komandan Kopassandha, pasukan khusus Indonesia yang kemudian dikenal sebagai Kopassus, sejak tahun 1995. Sebuah komisi kebenaran dan rekonsiliasi pasca-Suharto menyatakan bahwa angkatan bersenjata Indonesia (dan Kopassus, khususnya) bertanggung jawab atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan selama 24 tahun pendudukan di Timor-Leste, nama negara itu setelah berpisah dari Indonesia.
Karena itulah, Prabowo dilarang masuk ke Amerika Serikat hingga baru-baru ini, setelah dia menjadi menteri pertahanan.
Ketika koran The Jakarta Post mengingatkan pembaca di tahun 2013 akan dugaan kekejaman yang dilakukan Prabowo, dia meresponnya dengan sebuah surat yang mengklaim bahwa semua tuduhan itu adalah "dugaan yang tidak terbukti".
Sejak tahun 1990-an, Prabowo mengklaim bahwa apa yang terjadi di Timor-Leste adalah "konflik internal," dan mengatakan bahwa dia bahkan tidak berada di sana pada tahun 1999 ketika pasukan Indonesia secara brutal membantai ratusan warga Timor Leste untuk menggagalkan referendum PBB yang membawa kemerdekaan untuk negara tersebut.
Bahkan jika Prabowo tidak ada di sana pada tahun 1999, penyelidikan selanjutnya menemukan bahwa peristiwa tahun itu bukanlah sebuah perkecualian.
Komisi Bersama Indonesia/Timor-Leste untuk Kebenaran dan Persahabatan berargumen bahwa kejahatan tahun 1999 "tidak dapat dipahami secara terpisah dari periode konflik yang lebih lama." Argumen ini juga menyatakan bahwa "sifat kekerasan yang terjadi pada tahun 1999 dipengaruhi oleh pola konflik sebelumnya."
Menurut Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi di Timor-Leste, Kopassandha/Kopassus di bawah Prabowo bertanggung jawab atas sebagian besar pelanggaran hak asasi manusia.
Meskipun Indonesia cepat menyebut ada imperialisme dan kolonialisme dalam menolak kebijakan global yang dianggap tidak sesuai - Indonesia menyebut peraturan lingkungan baru Uni Eropa sebagai "imperialisme regulasi" - tidak satupun presiden Indonesia yang pernah meminta maaf kepada rakyat Timor Leste.
Yang terdekat dengan permintaan maaf dan pernah dilakukan Indonesia adalah setelah laporan komisi kebenaran bilateral menyatakan bahwa tentara Indonesia, polisi, dan otoritas sipil terlibat dalam "kampanye kekerasan yang terorganisir" terhadap pendukung kemerdekaan Timor Leste. Presiden Indonesia saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, mengatakan, "Kami menyampaikan penyesalan mendalam atas apa yang terjadi."
Dan dengan sifat solipsisme yang menjadi ciri khas pernyataan Indonesia tentang masalah ini, SBY menambahkan: "Jangan lupakan mereka yang menjadi korban dalam periode gelap ini dalam sejarah kita."
Dia merujuk pada orang-orang Indonesia yang tewas selama rezim diktator Suharto.
Karena kekejaman yang terjadi di Timor-Leste, masyarakat Indonesia mendapat kecaman internasional pada tahun 1990an, khususnya dari negara-negara demokrasi Barat.
Namun banyak warga Indonesia yang berani menentang upaya imperialis pemerintah Indonesia pada saat itu dan membantu diaspora pro-kemerdekaan Timor Timur di Jakarta.
Usia rata-rata penduduk Indonesia sekarang adalah 29,4 tahun, sehingga separuh populasi hampir belum sekolah ketika tentara Indonesia meninggalkan Timor-Leste.
Luka sejarah seharusnya diizinkan untuk sembuh tanpa terus-menerus diungkit.
Namun, harus ada perbedaan antara menutup masa lalu dan menghidupkannya kembali dengan memilih seorang pemimpin yang bertanggung jawab atas kejahatan masa lalu.
Dari tahun 1970-an hingga 1990-an, masyarakat Indonesia tidak memiliki pendapat tentang apa sebenarnya yang dilakukan oleh pemerintah dan militer Indonesia.
Namun, saat ini mereka memiliki hak berbicara, dan mereka menggunakannya untuk memilih seorang yang dituduh sebagai penjahat perang.
Tentu saja, fakta bahwa Prabowo telah berulang kali dituduh melakukan tindakan mengerikan seperti itu di Timor-Leste tampaknya tidak mengganggu sebagian besar pemilih.
Indonesia memerlukan “proses pengungkapan kebenaran,” tulis Pat Walsh, penasihat Komisi Kebenaran Timor Timur, pada bulan Desember.
Karena Indonesia tidak mempunyai proses seperti itu, “seseorang yang terbukti mengabaikan supremasi hukum, baik domestik maupun internasional, dan dianggap oleh banyak orang sebagai penjahat perang, bisa saja terpilih sebagai presiden Indonesia berikutnya,” demikian Walsh, yang juga salah satu pendiri majalah Inside Indonesia, menambahkan.
Negara tetangga Indonesia mengawasi hal ini, dan Walsh tidak berbasa-basi tentang apa arti kepresidenan Prabowo bagi masyarakat Timor Timur.
"Tidak adil juga bagi korban kejahatan kemanusiaan Timor Leste harus menerima bahwa orang yang menyiksa mereka bakal jadi pemimpin tetangga penting yang diperlukan negara mereka untuk bekerja sama," tulisnya pada bulan Januari.
Tetapi Timor Leste mungkin bisa sedikit berlega hati karena sementara Indonesia tampak melangkah mundur menuju otoritarianisme, Timor-Leste adalah negara demokrasi terbaik di Asia Tenggara.
David Hutt adalah peneliti di Central European Institute of Asian Studies (CEIAS) dan kolumnis Asia Tenggara di The Diplomat. Opini yang diungkapkan di sini adalah pendapatnya sendiri dan tidak mencerminkan posisi Departemen Pertahanan Amerika Serikat, CEIAS, atau BenarNews.