Terlalu indah untuk menjadi kenyataan? Membongkar inisiatif pembubaran diri Jemaah Islamiyah
2024.07.10
Abu Rusydan and 15 pemimpin Jemaah Islamiyah menyatakan pembubaran kelompoknya dalam sebuah acara yang diselenggarakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) akhir bulan lalu.
JI, kelompok afiliasi al-Qaeda di Asia Tenggara, adalah pelaku sejumlah serangan bom fatal di tahun 2000-an, termasuk serangan bom Bali tahun 2002 yang merupakan serangan bom paling mematikan di Indonesia. Namun kelompok ini, melalui pernyataan yang sudah disiapkan dan dibacakan oleh Abu Rusydan, mengatakan mereka "siap untuk berkontribusi pada kemajuan dan martabat bangsa Indonesia" di acara pada 30 Juni.
Ini bukan kejadian yang pertama kali bahwa ada suatu kelompok militan yang membubarkan diri.
Tentara Republik Irlandia Sementara (IRA) membubarkan diri pada tahun 2005, dan mendedikasikan diri sepenuhnya pada kegiatan hukum melalui sayap politiknya, Sinn Féin. Pada tahun 2018, organisasi separatis Basque di Spanyol, ETA, juga menyatakan mereka membubarkan diri.
Namun, pengumuman Jemaah Islamiyah mengejutkan banyak orang dan membuat orang lain merasa skeptis.
Ada tiga pertanyaan yang saling terkait yang harus ditanyakan mengenai langkah JI ini: Bagaimana ini terjadi sampai di sini? Apakah ini nyata? Dan apa artinya ini bagi keamanan regional?
Bagaimana ini terjadi sampai di sini?
Jemaah Islamiyah, yang berakar dari gerakan Darul Islam, didirikan di Malaysia pada tahun 1993, ketika dua pendirinya, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Bashir, melarikan diri dari pemerintahan Orde Baru Indonesia yang dipimpin Presiden Suharto.
Saat di Malaysia, mereka berfungsi sebagai tempat singgah bagi ratusan militan yang melakukan perjalanan ke Pakistan untuk bergabung dengan jihad anti-Soviet di Afghanistan, menempatkan mereka dalam kontak langsung dengan al-Qaeda.
Pada tahun 1996, piagam Pedoman Umum Perjuangan Jemaah Islamiyah (PUPJI) menciptakan struktur organisasi kelompok tersebut dan mengkodifikasi ideologi Salafi JI. Pada saat itu, kelompok itu juga mencapai kesepakatan dengan organisasi separatis bersenjata Filipina, Front Pembebasan Islam Moro, yang memungkinkan al-Qaeda mendirikan kamp pelatihan di Filipina selatan.
Di Indonesia, JI melakukan serangan teror di sejumlah gereja Kristen dan mendirikan dua kelompok paramiliter untuk memicu konflik sektarian di Kepulauan Maluku dan Provinsi Sulawesi Tengah.
Setelah invasi AS ke Afghanistan pada Oktober 2001, kepemimpinan al-Qaeda mengeluarkan seruan untuk melakukan serangan pengalihan perhatian. Salah satunya adalah dua serangan bom Bali yang menewaskan 202 orang setahun setelahnya.
Antara tahun 2002 dan 2007, JI hampir setiap tahun melakukan serangan besar. Namun, setiap serangan membuat organisasi tersebut lebih lemah karena pasukan kontra-terorisme menjadi lebih terampil dan memiliki sumber daya yang lebih baik.
Hal ini menyebabkan perpecahan ideologis dalam organisasi antara pendukung garis serangan terhadap "musuh jauh," dengan mereka yang ingin menimbulkan konflik sektarian untuk membangun kembali kekuatan mereka yang terus berkurang.
Pemerintah resmi melarang JI pada tahun 2008, namun tetap memperbolehkan mereka beroperasi sebagai organisasi selama tidak melakukan kekerasan.
Pada tahun 2010, lebih dari 100 anggota JI ditangkap, termasuk Abu Bakar Bashir. Penangkapan ini menghancurkan organisasi tersebut dan aksi teror terakhir JI terjadi pada tahun itu.
Dari tahun 2020 hingga 2023, upaya kontra-terorisme Indonesia berfokus pada kelompok payung pro Negara Islam, Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan JI. Pada awalnya polisi melihat JI sebagai jalan keluar bagi JAD yang lebih radikal, tetapi sikap mereka malah semakin keras.
Pada tahun 2019, ketika Densus 88 menangkap emir (pimpinan) JI, Para Wijayanto, mereka terkejut dengan ukuran dan jangkauan nasional kelompok tersebut. Madrasah dan badan amal kelompok itu telah berkembang, dan perusahaan-perusahaannya dan unit penerbitannya telah menciptakan aliran pendapatan tetap. Jumlah anggota JI yang ditangkap pada tahun 2021 dan 2022 sebanyak tersangka yang berasal dari JAD.
Pasukan anti-terorisme Indonesia menerapkan pendekatan yang lebih lunak. Meskipun terlihat seperti acara yang diatur, mereka telah berhasil menunjukkan pada publik bahwa para mantan militan ini bersumpah setia kepada Indonesia.
Beberapa mantan militan mendirikan madrasah untuk anak-anak militan yang dipenjara, sehingga mereka tidak dibesarkan di sekolah yang dikelola oleh JI atau JAD, dan ini memutus jaringan sosial kelompok teroris.
Mereka juga mengajak para pemimpin, termasuk Emir JAD Aman Abdurrahman yang berada di daftar eksekusi hukuman mati, dan Umar Patek, untuk secara terbuka menolak kekerasan.
Sementara itu, konflik di Poso, yang menjadi tempat berkumpul bagi semua kelompok militan di Indonesia, telah berhasil dipadamkan.
Di dunia internasional, semakin banyak kerja sama terjalin antara pasukan keamanan regional. Dan meskipun di selatan Filipina masih ada kelemahan institusional dan wilayah tidak bertuan tanpa pemerintahan, kelompok-kelompok militan tidak lagi menarik JI dan militan asing lainnya.
Front Pembebasan Islam Moro terus melaksanakan proses perdamaian dan membangun institusi-institusi yang akan membantu wilayah Muslim otonom melakukan transisi menuju otonomi. Hal ini menjadi serangan berkelanjutan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Abu Sayyaf, yang kini berjuang untuk bertahan hidup.
Apakah ini nyata?
Meskipun JI tidak lagi dalam posisi untuk melakukan terorisme, hingga saat ini, mereka belum pernah secara resmi menolak kekerasan. Banyak orang di dalam organisasi ini yang hanya menunggu kesempatan yang tepat untuk kembali beroperasi.
Adalah mudah untuk menjadi skeptis terhadap pernyataan resmi kelompok ini, terutama karena acara tersebut diselenggarakan oleh BNPT. Beberapa dari mereka yang hadir adalah terpidana yang ditangkap polisi dan sedang menjalani masa tahanan dan program pemerintah untuk memutuskan hubungan dengan kelompok militan mereka.
Bagi para radikal muda, mereka yang hadir di deklarasi dianggap sebagai pengkhianat dan sudah tidak relevan lagi. Rata-rata usia pria yang menolak kekerasan berada di akhir 50-an atau lebih tua.
Sejauh mana anggota muda akan mengikuti kepemimpinan dan mengikuti jalur alternatif secara hukum dan politik?
Dalam banyak hal, ini lebih menjanjikan. Kampanye militansi JI telah gagal dalam mendirikan negara dengan shariah Islam. Politik demokratis telah lebih efektif memajukan agenda politik mereka.
Namun bukan berarti partai-partai Islamis bisa berhasil baik di tingkat nasional. Memang, dalam pemilu umum Indonesia tahun 2024, mereka secara kolektif mewakili sekitar 20% dari pemilih dan memenangkan 101 dari 580 kursi. Namun, mereka merupakan anggota penting dalam koalisi politik, yang cenderung memberi mereka suara yang lebih besar dari proporsinya.
Di tingkat lokal, partai-partai berbasis agama terlihat berhasil membuat keberadaannya terasa, terutama dalam pengesahan kebijakan publik dan peraturan yang sesuai dengan syariah di sebagian besar provinsi dan kabupaten.
Namun partai-partai Islam juga dipenuhi dengan persaingan internal dan tidak pernah membentuk blok yang solid.
Mungkin karena itu, JI melihat peluang untuk pergeseran taktis. Pada Mei 2021, JI mendirikan Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI). Namun, pasukan anti terorisme menangkap pendirinya, Farid Ahmad Okbah, pada November tahun itu karena menjadi anggota senior JI. Dua orang lainnya juga ditangkap.
PDRI tidak ikut serta dalam pemilu 2024. Namun, nampaknya dengan pembubaran JI, pemerintah akan memberikan bekas anggota mereka lebih banyak ruang politik.
Apa artinya ini untuk keamanan regional?
Sumber daya manusia dan fokus JI sebagian besar berbasis di Indonesia, namun mereka tetap merupakan organisasi regional yang mencakup wilayah Asia Tenggara.
Beberapa kelompok yang terafiliasi bergerak ke tempat lain. Misalnya, Darul Islam Sabah, yang awalnya memfasilitasi JI dan pergerakan militan asing masuk dan keluar Filipina selatan, kini beralih bekerja dengan JAD dan kelompok lainnya.
Kelompok militan di Asia Tenggara mempunyai fleksibilitas yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok serupa di Timur Tengah atau Asia Selatan. Abu Bakar Bashir beralih dari mendukung al-Qaeda menjadi pendukung Negara Islam, dengan jumlah pengikut yang besar, tanpa konsekuensi.
Oleh karena itu, banyak militan muda yang berkomitmen untuk menggunakan kekerasan guna mencapai tujuan politik mereka mungkin akan beralih ke kelompok lain.
Namun masih belum jelas kelompok-kelompok apa yang akan mereka pilih. JAD telah hancur dan tanpa pemimpin, meskipun strukturnya selalu lebih terdesentralisasi dan horisontal. Mereka juga tidak pernah lagi melakukan serangan teroris besar sejak tahun 2019.
Saat ini tidak ada pemimpin karismatik yang jelas bagi Salafis militan yang dapat menjadi tempat bernaung di sekitar mereka. Dan meskipun ada yang mengharapkan peristiwa eksternal seperti perang di Gaza akan berfungsi sebagai katalisator, hal itu belum terjadi hingga saat ini.
JI masih mengoperasikan jaringan madrasah, termasuk beberapa yang sangat besar seperti al-Mukmin dan Pesantren Hidayatullah di Balikpapan. Madrasah-madrasah ini terus menjadi inkubator ideologis dan pabrik kebencian.
Akan sulit bagi pejabat pendidikan di Indonesia untuk mengintervensi madrasah-madrasah tersebut dan dan mengubah kurikulum mereka. Namun, pasukan anti-terorisme Indonesia tidak mengendurkan upaya mereka, walaupun ada penurunan dalam kekuatan organisasi atau waktu operasi.
Terorisme akan tetap menjadi ancaman yang terus ada namun dapat dikelola di Indonesia. Pembubaran JI membuatnya lebih seperti itu, dengan menyediakan alternatif hukum-politik yang lebih moral, namun juga terbukti lebih efektif.
Zachary Abuza adalah profesor di National War College di Washington dan asisten profesor di Georgetown University. Opini yang ditampilkan di sini bersifat pribadi dan tidak mencerminkan posisi Departemen Pertahanan Amerika Serikat, the National War College, Georgetown University atau BenarNews.