Melarang FPI: Telat Tapi Berlebihan

Pemerintah Indonesia terlalu lunak terhadap FPI, tetapi melarangnya sama sekali juga problematis.
Opini oleh Alif Satria
2021.01.08
Melarang FPI: Telat Tapi Berlebihan Pendukung pimpinan FPI Rizieq Shihab demo di depan kantor polisi di Bandung, Indonesia setelah enam anggota FPI tewas ditembak oleh polisi di Jakarta, 15 Des 2020.
AFP

Larangan yang belum lama ini dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia terhadap organisasi Muslim garis keras, Front Pembela Islam (FPI) adalah upaya terbaru dari serangkaian upaya pemerintah yang bertujuan untuk mengekang kekuatan kelompok yang dipandang sebagai katalisator meningkatnya intoleransi di Indonesia.

Meskipun sikap yang lebih kuat terhadap FPI harus disambut baik, pelarangan ini saja mungkin tidak cukup untuk mengurangi pengaruh sosial-politik FPI; sebaliknya, hal itu dapat meradikalisasi pendukung utama FPI. Selain itu, kebijakan ini adalah bagian dari tren mengkhawatirkan dari eksekutif yang secara sepihak melarang organisasi masyarakat sipil.

Akhir Desember lalu, pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa mereka secara resmi melarang FPI melalui keputusan bersama menteri, dengan alasan bahwa organisasi tersebut telah gagal memperbarui izin pendaftarannya dan karenanya tidak memiliki dasar hukum untuk beroperasi. Izin FPI telah habis setelah mereka menolak memenuhi persyaratan pemerintah untuk menghapus dari piagamnya, kalimat yang mendukung "implementasi syariah Islam" di bawah "kekhalifahan profetik (khilafah nubuwwah)" - konsep yang dianggap bertentangan dengan ideologi negara Pancasila di Indonesia.

Larangan tersebut adalah yang terakhir dari serangkaian respon ketat pemerintah terhadap kegiatan FPI. Pada pertengahan November lalu, pimpinan FPI, Rizieq Shihab, ditetapkan sebagai tersangka karena diduga melanggar pembatasan sosial untuk mencegah penyebaran virus corona dengan menggelar serangkaian acara dan ceramah yang dihadiri ribuan orang. Pada awal Desember, polisi menembak mati enam anggota FPI dalam sebuah insiden, setelah mendapat informasi yang mengklaim bahwa mereka sedang membantu Rizieq untuk menghindari pemeriksaan polisi. Seminggu kemudian, Rizieq menyerahkan dirinya ke polisi untuk diinterogasi dan saat ini ditahan.

Terlambat

Sikap pemerintah yang lebih tegas terhadap FPI di akhir tahun 2020 merupakan perkembangan penting bagi Indonesia, karena hal itu menandakan berbaliknya sikap pemerintah yang selama ini cenderung memberi keringanan terhadap perilaku FPI yang melanggar hukum dan intoleran. Selama dua dekade terakhir, FPI telah berperan dalam meningkatkan intoleransi agama di Indonesia.

Pada awal 2000-an, hal ini sebagian besar terwujud dalam penggerebekan yang melanggar hukum terhadap rumah-rumah makan yang buka selama Ramadan. Di akhir dekade itu, FPI mulai memanfaatkan kredensial Islamnya untuk memobilisasi massa guna menekan pemerintah daerah agar melarang sekte Islam dan membatasi aktivitas agama minoritas.

Pada 2011, FPI di Sampang, Jawa Timur mengerahkan massa untuk menyerukan pengusiran umat Islam Syiah, sambil mengancam akan menyerang masyarakat tersebut jika aparat pemerintah setempat tidak mendukungnya. Selama pemilihan gubernur Jakarta 2017, pemimpin FPI Rizieq menjadi tokoh utama dalam demonstrasi yang menyerukan gubernur Jakarta keturunan Tionghoa dan beragama Kristen yang sedang menjabat saat itu, Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama, untuk dipenjara karena penistaan agama dan agar umat Islam tidak memilih kandidat yang "kafir".

Di beberapa daerah, cabang-cabang FPI juga menjadi penyokong anggota bagi organisasi teroris. Misalnya, FPI cabang Lamongan, Jawa Timur, telah menjadi pendukung utama ulama pro-ISIS Aman Abdurrahman. Kelompok itu bahkan bergabung dengan beberapa kelompok lain pada tahun 2015 untuk membentuk Jemaah Ansharut Daulah (JAD) –– salah satu organisasi teroris paling aktif di Indonesia saat ini. Meski FPI Lamongan tergolong pengecualian, namun ini adalah contoh potensi risiko retorika FPI jika dibawa secara ekstrem.

Walaupun demikian, pemerintah Indonesia selama dua dekade telah bersikap relatif lunak terhadap FPI. Sebagian alasannya karena FPI mampu untuk memobilisasi pemilih lokal, dan sebagian lagi karena kedekatannya dengan petugas militer dan polisi, FPI terus beroperasi dengan tingkat impunitas yang signifikan. Petugas polisi hanya diam berdiri ketika FPI mengerahkan massa untuk membakar rumah-rumah penganut Syiah di Sampang, dan politisi lokal tidak secara terbuka menolak ketika ulama-ulama mendukung pandangan intoleran dalam demonstrasi tahun 2017. Beberapa bahkan mendukung gerakan anti-Ahok.

Berlebihan

Meskipun pelarangan terhadap FPI menandai perubahan sikap pemerintah yang telah lama ditunggu, namun larangan itu sendiri tidak akan secara efektif membatasi kemampuan para pemimpin FPI untuk memobilisasi massa dan mempengaruhi dunia politik.

Ini terutamanya karena, selain dari penggerebekan dan demonstrasi yang menarik perhatian, FPI selama bertahun-tahun telah melakukan program bantuan bencana dan pengentasan kemiskinan, serta menampung keluhan anti-pemerintah dalam khotbahnya kepada masyarakat miskin perkotaan yang telah menanggung akibat buruk dari kebijakan sosial-ekonomi pemerintah. Akibatnya, bagi banyak pendukungnya, FPI adalah saluran politik yang sah untuk melawan sistem yang mereka anggap telah memarjinalkan mereka. Banyak peserta dalam demonstrasi 2017 menentang Gubernur Jakarta datang ikut serta bukan hanya karena alasan agama, tetapi untuk memprotes kebijakan penggusuran paksa yang dilakukan pemerintah kota Jakarta.

Selain itu, banyak ulama FPI kini memiliki modal sosial-politik yang melampaui afiliasi organisasi. Modal ini masih ada bukan hanya karena status mereka sebagai ulama –– status yang masih dihargai oleh banyak orang di Indonesia –– tetapi juga karena dibangunnya aliansi dan patronase dari elit politik lokal selama bertahun-tahun. Politik quid-pro-quo dalam dua dekade terakhir antara ulama FPI dan politisi lokal telah menghasilkan hubungan pribadi dan profesional yang akan tetap berjalan walau FPI sudah dilarang.

Lebih penting lagi, tindakan keras Indonesia terhadap FPI juga harus dilihat dengan hati-hati. Penembakan anggota FPI baru-baru ini tidak hanya merupakan tren mengkhawatirkan atas penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh polisi, peristiwa tersebut juga mendukung narasi anti pemerintah yang telah ditanamkan oleh FPI selama dua dekade terakhir. Khususnya, hal ini mendukung klaim FPI bahwa pemerintah terus menganiaya dan memarjinalkan ulama, sebagai pelopor sejati Islam di Indonesia. Akibatnya, meski tindakan keras tersebut dapat menghalangi sebagian orang untuk mendukung FPI, tindakan tersebut dapat meradikalisasi sebagian yang lain –– memberi mereka pembenaran untuk menggunakan metode dan retorika yang lebih keras.

Selain itu, pelarangan FPI di Indonesia terus menjadi tren mengkhawatirkan dari pihak eksekutif dalam menindak organisasi masyarakat sipil. Pada 2017, pemerintahan Joko Widodo mengeluarkan peraturan, yang kemudian disahkan sebagai undang-undang oleh parlemen, yang mengizinkan eksekutif untuk melarang organisasi masyarakat sipil tanpa proses hukum di pengadilan ketika mereka dianggap memiliki ideologi atau telah mengambil tindakan yang bertentangan dengan Pancasila. Pada saat itu, undang-undang tersebut digunakan untuk melarang Hizbut Tahrir Indonesia, sebuah organisasi Islam nir-kekerasan yang secara terbuka menyerukan pembentukan kekhalifahan Islam. Undang-undang tersebut digunakan lagi sebagai dasar untuk keputusan bersama menteri yang secara resmi melarang FPI. Hal ini merupakan kemunduran yang tidak sehat terhadap pengawasan dan keseimbangan pemerintah dalam demokrasi Indonesia.

Melangkah Maju

Tidak ada solusi yang cepat untuk menangani organisasi Islam yang melanggar hukum di Indonesia. Pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan larangan dan operasi polisi yang agresif untuk mencabut organisasi yang membangun modal sosial dari kegelisahan masyarakat lokal dan perlindungan elit politik. Untuk mengatasi FPI, pemerintah Indonesia perlu melakukan kerja keras untuk melawan ideologi dan retorikanya, dan menangani kegelisahan yang sah dari komunitas pendukung FPI.

Tugas-tugas ini muncul bersamaan dengan perkembangan penting lainnya –– pembebasan mantan pemimpin Jema'ah Islamiyah, Abu Bakar Ba’asyir, pada 8 Januari. Ba’asyir dibebaskan setelah menjalani sebagian besar dari vonisnya berupa 15 tahun penjara karena mendanai pelatihan teroris di Aceh pada tahun 2011. Meskipun ketenarannya telah berkurang, Ba’asyir masih tetap dihormati oleh kalangan teroris akibat keberadaan jangka panjang di lanskap terorisme Indonesia. Yang memprihatinkan, Ba’asyir secara konsisten menolak untuk mengecam perlunya kekhalifahan Islam dan untuk berjanji setia kepada Republik Indonesia. Hal ini menandakan bahwa meskipun telah dibebaskan, Ba’asyir masih jauh dari terderadikalisasi.

Alif Satria menyandang gelar master dari program Security Studies di Georgetown University di Washington. Penelitiannya fokus pada terorisme dan kekerasan politik di Asia Tenggara. Opini ini adalah pandangan pribadinya dan tidak merefleksikan posisi Georgetown University atau BenarNews.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.