Bom Bunuh Diri dengan Melibatkan Keluarga, Ancaman Baru Bagi Indonesia

Dilibatkannya anak-anak dalam aksi terorisme menunjukkan indoktrinasi ideologi yang dalam dan menyeluruh.
Opini oleh Zachary Abuza
2018.05.15
Share on WhatsApp
Share on WhatsApp
180514-ID-abuza-620.jpg Situasi sesaat setelah terjadi bom bunuh diri di Gereja Pusat Pantekosta Surabaya, Minggu, 12 Mei 2018.
AFP/Pemerintah Kota Surabaya/Andy Pinaria

Militan pro Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) telah melancarkan sejumlah serangan bom bunuh diri di dan sekitar ibukota provinsi Jawa Timur, Surabaya, yang mengakibatkan puluhan korban termasuk polisi meninggal dunia dan terluka.

Tiga keluarga berada di belakang atas empat serangan yang berhasil dilakukan dan satu serangan yang gagal. Dari seluruh 16 anggota keluarga yang terlibat dalam serangan-serangan itu, 13 diantaranya tewas, termasuk perempuan pelaku bom bunuh diri yang pertama kali di Asia Tenggara dan melibatkan anak-anak berusia 8 hingga 19 tahun.

Serangkaian serangan bom tersebut mulai pada Minggu pagi ketika tiga bom rakitan diledakkan pada saat yang hampir bersamaan di tiga gereja yang berbeda di Surabaya. Sang ayah meledakkan bom mobil, dua anak laki-lakinya yang masih remaja meledakkan sebuah bom dengan mengendarai sepeda motor sementara sang ibu bersama dua anak perempuannya yang masih kecil meledakkan satu bom lain. Polisi berhasil menjinakkan dua bom rakitan yang lain.

Malam hari di hari yang sama, satu keluarga merencanakan untuk juga meledakkan bom rakitan di luar kompleks perumahan polisi di Surabaya. Namun bom yang menurut polisi dirakit dengan menggunakan triacetone triperoxide (TATP) berbasis asetone yang sangat mudah terpicu, meledak secara prematur di sebuah apartemen dan membunuh pasangan suami istri beserta anak laki-laki mereka sementara dua anak lain selamat. Tidak ada korban dari pihak polisi maupun masyarakat umum dalam kejadian tersebut.

Senin pagi, lima orang dalam satu keluarga, termasuk seorang anak perempuan kecil, meledakkan bom di pos pemeriksaan depan Markas Polrestabes Surabaya. Sang gadis kecil selamat dari ledakan yang menewaskan seluruh anggota keluarganya dan melukai empat polisi serta enam warga.

Konteks sejarah

Sejumlah serangan teroris oleh militan terkait al-Qaeda terjadi di Indonesia dari tahun 2000 hingga 2009. Serangan-serangan tersebut mengakibatkan ditangkapnya lebih dari 500 militan termasuk sejumlah tokoh pimpinannya.

Pada tahun 2010, Jemaah Islamiyah (JI) yang terafliasi al-Qaeda dilanda perpecahan internal, kelangkaan pimpinan dan tidak sepakat dalam memutuskan sasaran dan taktik. Penggerebekan di sebuah lokasi pelatihan di Aceh pada 2010 mengakibatkan naturalisasi lebih dari 120 militan dan berhentinya operasi-operasi militan.

Penyebaran ISIS pada 2014 menyebabkan kebangkitan jaringan teroris di berbagai tempat di Asia Tenggara. Di Indonesia, banyak grup dan sel teroris yang sebelumnya terkait al-Qaeda membelot ke ISIS, mengikuti jejak pimpinan ideologi JI, Abu Bakar Bashir dan Aman Abdurrahman.

Keduanya mendirikan Jamaah Ansharut Daulah (JAD), grup yang memayungi berbagai kelompok yang bersumpah setia kepada ISIS dan menjadi afiliasi utama kelompok extrim tersebut.

Diperkirakan ada sekitar 1,000 orang dari Asia Tenggara yang pergi ke Suriah dan Irak dimana para militan berperang di pihak ISIS atau Al Nusrah yang terafiliasi dengan al-Qaeda. Kebanyakan dari mereka pergi ke sana bersama istri dan anak-anak mereka.

Sekitar 200 sampai 300 militan yang berbahasa Indonesia membentuk kelompok tersendiri di bawah Khatibah Nusantara yang termasuk kelompok pelaku bom bunuh diri pertama Malaysia yang berjumlah setidaknya sembilan orang.

Selain itu, pimpinan ISIS di Asia Tenggara menginspirasi dan merekrut pelaku bom bunuh diri di kawasan ini, yang dimulai dengan serangan di Jakarta pada Januari 2016. Serangan-serangan yang terjadi selama 2017 cenderung amatiran dengan korban tewas yang tidak besar.

Pengepungan oleh para militan ISIS selama lima bulan di Marawi yang banyak menarik militan asing, adalah pengecualian. Walaupun mereka kalah dalam pengepungan itu dan ratusan militan tewas, wilayah yang relatif tidak bertuan tersebut terus menjadi tujuan bagi para militan di kawasan karena di sana mereka bisa berlatih dan melancarkan aksi teror.

Pesan dan saran

Ada tiga hal nyata yang dapat diambil dari serangan yang terjadi di Surabaya.

Para pelaku menggunakan anak anak mereka sendiri dalam lima serangan terpisah. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya di Asia Tenggara. Walaupun terlihat sangat tidak berperasaan, hal itu menunjukkan bahwa indoktrinasi ideologi yang sangat mendalam dan menyeluruh.

Kita bisa berharap bahwa penggunaan anak dalam serangan tidak akan terulang, namun hal itu bisa terjadi. Ada banyak madrasah radikal yang terafiliasi dengan ISIS dan al-Qaeda yang melakukan indoktrinasi dan radikalisasi.

Ketersediaan siswa pun banyak. Selain itu, militan-miltan Asia Tenggara yang berperang bersama ISIS di Suriah telah mendirikan sekolah untuk anak-anak mereka dimana mereka diindoktrinasi.

Beberapa dari mereka akan kembali ke kawasan. Akhirnya, menggunakan anak-anak menjadi masuk akal secara taktis karena orangtua yang bepergian bersama anak-anak tidak akan terlalu mencurigakan bagi petugas keamanan.

Kedua, ada tiga perempuan pelaku bom bunuh diri. Hal ini juga tidak pernah terjadi sebelumnya di Asia Tenggara dan menjadi bagian tren yang lebih luas. Polisi Indonesia di Desember 2017 menangkap perempuan pertama yang sedang dilatih sebagai pelaku bom bunuh diri.

Hal ini sesuai dengan pergeseran taktis, yang diserukan di Dabiq dan media-media IS lainnya, dengan penyaringan hingga ke Asia Tenggara.

Hal ini bisa jadi karena keputusasaan. Dengan berkurangnya wilayah mereka secara signifikan dan berbagai kekalahan lainnya, ISIS harus meningkatkan langkah dan jangkauan serangan-serangan mereka.

Perempuan membuat mereka anggota bertambah namun mereka juga berguna untuk memotivasu para lelaki untuk beraksi. Secara taktis, perempuan juga tidak terlalu mencurigakan dan tidak diperiksa secara mendalam.

Namun penting untuk dicatat bahwa di Malaysia, aparat Negeri Jiran tersebut telah lama mengkhawatikan peran perempuan yang pro aktif dalam kegiatan-kegiatan ISIS, walaupun sejauh ini hal itu masih terbatas pada rekrutmen, indoktrinasi, penggalangan dana dan logistik.

Ketiga, tingkat indoktrinasi dan kecanggihan yang kita saksikan dalam serangan-serangan ini tidak pernah ada di tahun-tahun sebelumnya. Ada empat serangan bom bunuh diri terkoordinir yang berhasil dan satu yang gagal. Serangan ini mengakibatkan jumlah korban yang terbanyak sejak 2005 dan menunjukkan peningkatan kecanggihan teknis – jauh meningkat dari berbagai serangan amatiran yang terjadi sejak Januari 2016.

Dampak

Masyarakat Indonesia bersifat tangguh dan akan bangkit kembali. Pemerintahannya juga tidak akan bereaksi berlebihan.

Pasukan keamanan pantas mendapat banyak pujian atas keberhasilan mereka mencegah ancaman dari al-Qaeda dan kelompok-kelompok yang terafiliasi ISIS. Tidak realistis bagi kita untuk berharap bahwa di negara dengan 260 juta penduduk, polisi berhasil mematahkan semua serangan sel teroris secara menyeluruh.

Kita perlu mereka untuk terus melakukan tugas mereka sebagai polisi yang berbasis intelijen.

Penangkapan tiga militan ISIS yang telah merakit TATP di Bogor minggu lalu menunjukkan jelas bahwa ancaman itu tersebar luas dan ada peningkatan kecanggihan teknis.

Kedua, kerusuhan dalam tahanan di markas Brimob yang dilakukan oleh militan-militan ISIS minggu lalu dan mengakibatkan lima polisi meninggal dunia, menunjukkan ada kebutuhan mendesak untuk reformasi sistem penjara. Ironisnya, polisi telah melakukan apa yang sudah lama diserukan oleh para ahli – memusatkan tahanan terorisme dan menahan mereka di luar populasi penjara umum dimana mereka dapat merekrut dan mengindoktrinasi.

Namun fasilitas rumah tahanan di Depok jauh dari memadai. Sel-sel penjara yang bersebelahan dengan gudang penyimpanan senjata, amunisi dan bahan peledak adalah sesuatu yang konyol.

Ketiga, dampak terpenting yang akan terjadi adalah disahkannya revisi undang-undang terorisme yang sudah tertunda selama lebih dari dua tahun.

Ada dua aturan yang menjadi perdebatan. Pertama, memberikan peran kepada militer untuk terlibat dalam penanggulangan terorisme, yang menjadi alarm bagi iklim demokrasi dan aktivis hak asasi manusia.

Kedua adalah usulan aturan yang akan mengkriminalkan mereka yang pergi ke luar negeri untuk bergabung dengan kelompok militan. Tidak adanya aturan yang mengkriminalkan seseorang yang bergabung dengan kelompok militan di luar negeri terus menjadi perhatian yang mendalam.

Ketika pasukan keamanan terus terus terobsesi dengan potensi pelaku teror asing yang kembali dari Suriah, ancaman yang terbesar justru datang dari militan-militan yang tidak pernah keluar negeri.

Zachary Abuza adalah seorang profesor di National War College di Washington dan penulis buku “Forging Peace in Southeast Asia: Insurgencies, Peace Processes, and Reconciliation.” Opini yang disampaikan di sini adalah miliknya sendiri dan tidak mencerminkan opini Departemen Pertahanan Amerika Serikat, the National War College atau BeritaBenar.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.