Calon Wakil Presiden Pilihan Jokowi, Kemunduran Untuk Hak-hak Minoritas dan Keamanan
2018.08.15

Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah mengambil langkah yang dikalkulasi bagi kepentingannya dengan memilih Ma’ruf Amin, seorang ulama konservatif berusia 75 tahun sebagai calon wakilnya untuk pemilihan presiden (Pilpres) April 2019.
Logika politik Jokowi atas pilihannya dianggap masuk akal. Dipilihnya Ma'ruf dapat menghindarkan dia dari serangan lawan yang beraliran nasionalis-Islam bahwa dia terlalu sekuler.
Dengan memilih Ma’ruf, Jokowi sedang memoles citranya sebagai Muslim untuk menarik pemilih lebih banyak dan mengambil pendukung Prabowo Subianto, lawannya dalam Pilpres 2014 dan 2019.
Tapi langkah tersebut merupakan kemunduran besar bagi kebebasan hak sipil kaum minoritas, dan menimbulkan keraguan akan reputasi dia sebagai reformis.
Sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ma’ruf mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa ucapan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, yang berasal dari etnis Tionghoa dan beragama Kristen, pada 2016 silam sebagai penistaan agama.
Hal ini mendorong demonstrasi besar-besaran menentang Ahok, yang saat itu dianggap sebagai salah satu sekutu politik terdekat Jokowi. Ahok, yang divonis dua tahun penjara, kalah dalam pemilihan gubernur melawan Anies Baswedan, seorang Muslim.
Ma’ruf juga mengutuk serta mengeluarkan fatwa menentang kelompok Syiah dan Ahmadiyah.
Ma’ruf juga menjadi salah satu penggerak utama di balik meningkatnya penggunaan pasal penistaan agama dalam KUHP dan rancangan undang-undang (RUU) Kerukunan Antar Umat Beragama.
Selain itu, Ma’ruf juga mengutuk keras keberadaan kelompok LGBTQ serta perlindungan atas hak-hak asasi mereka.
Di bawah kepemimpinan Ma’ruf, Nahdlatul Ulama (NU), yang selama ini dianggap sebagai obat penangkal penyebaran paham Salafi, juga sudah menjadi semakin konservatif.
Makin banyak warga Nahdliyin – sebutan bagi pengikut atau anggota NU – yang percaya bahwa negara harus mengurangi akomodasi atau perlindungan terhadap penganut agama minoritas. NU yang selama ini dianggap moderat bahkan sudah berubah tidak setoleran dulu.
Dampak terhadap keamanan?
Lalu pertanyaannya: Apa artinya pemilihan Ma’ruf sebagai cawapres bagi Indonesia?
Di satu sisi, Jokowi telah memberikan kewenangan lebih luas kepada polisi untuk terus memberantas terorisme.
Setelah serangkaian serangan bom bunuh diri di Surabaya pada Mei lalu, polisi telah menangkap lebih dari 300 orang.
DPR juga sudah mengesahkan revisi UU Terorisme yang memperluas kewenangan polisi untuk mengambil tindakan pencegahan dengan menangkap terduga teroris.
UU tersebut juga mengkriminalkan mereka yang melakukan perjalanan ke luar negeri untuk mendukung atau bergabung dalam organisasi teroris, serta memformalkan peran TNI dalam operasi-operasi kontra terorisme.
Belum lama ini, Pengadilan Jakarta Selatan memvonis kelompok pro-ISIS, Jamaah Ansharut Daulah (JAD), sebagai organisasi terlarang. Hanya dengan terlibat sekilas dalam kelompok itu sudah dapat dijadikan dasar bagi seseorang untuk ditangkap.
Dengan pasukan keamanan yang mempunyai kekuatan baru dalam memberantas terorisme, sepertinya tidak ada kemungkinan Ma’ruf akan menghalangi upaya-upaya tersebut.
Namun bagaimana dengan insiden-insiden yang tidak termasuk dalam kategori terorisme?
Tindakan Ma’ruf melalui fatwa-fatwa yang dikeluarkannya selama dua tahun terakhir telah mengakibatkan meningkatnya serangan terhadap kelompok agama minoritas, intoleransi dan timbulnya kelompok-kelompok anti maksiat.
Banyak dari mereka yang terlibat dalam aktivitas ekstra legal seperti mengeluarkan ancaman dan menggunakan kekerasan.
Kelompok-kelompok ini juga menjadi penyambung lidah bagi organisasi teroris. Meskipun pihak berwenang tidak akan menetapkan mereka sebagai organisasi teroris, anggota-anggota mereka telah sangat terindoktrinasi dan dapat setiap saat direkrut ke dalam jaringan teroris.
Selain itu, pasukan keamanan juga cenderung memberikan ruang cukup bagi Jemaah Islamiyah (JI) untuk mengelola madrasah dan masjid, dan melakukan aktivitas dakwah selama tak terlibat dalam tindakan kekerasan.
Memang ada beberapa pihak dalam pasukan keamanan yang melihat JI sebagai penangkal penting terhadap militan-militan pro-ISIS, namun ada bukti yang cukup bahwa JI belum lepas dari paham kekerasan. Mereka hanya sedang menunggu momen sambil membiarkan rivalnya di ISIS menjadi sasaran operasi kontra terorisme, sementara mereka berkonsolidasi.
Namun kehadiran Ma’ruf sebagai bakal cawapres dan bila terpilih, bisa memberikan hasil yang positif bagi keamanan karena sosoknya dianggap berpengaruh bagi kelompok Islamis di pihak oposisi.
Sebagai contoh, partai seperti PKS sudah menggagalkan reformasi penjara, yang merupakan salah satu kelemahan dalam operasi kontra-terorisme di Indonesia yang bisa dianggap sukses.
Ma’ruf juga dianggap dapat berguna untuk mendapat pendanaan dalam upaya penanggulangan ekstremisme kekerasan di penjara atau membentuk kegiatan bagi mantan napi terorisme lewat organisasi-organisasi NU.
Hal ini jadi penting karena hukuman bagi terpidana terorisme di Indonesia cenderung ringan. Dalam laporan Institute for Policy Analysis of Conflict's (IPAC) disebutkan, “Ada 144 mantan narapidana terorisme dan yang akan segera dilepas dari penjara dan di antara mereka ada sekelompok individu dengan kaitan ke Suriah yang sudah menyelesaikan hukuman penjaranya.”
Meski pihak berwenang di Indonesia mengklaim sedang membangun penjara dengan fasilitas keamanan super ketat bagi tersangka terorisme, yang dilakukan setelah dua penjara sempat dikuasai tersangka terorisme dalam setahun terakhir, penjara itu akan kelebihan kapasitas saat pembangunannya selesai.
Namun secara garis besar, terpilihnya Ma’ruf adalah kemunduran bagi kemanan di Indonesia.
Masih segar dalam ingatan banyak orang bagaimana Wakil Presiden Hamzah Haz (2001-2004) bertemu Abubakar Ba’asyir, pemimpin spiritual JI, kelompok yang terafiliasi al-Qaeda. Ba’asyir saat itu terpidana atas kaitannya dengan bom Bali 2002 yang menewaskan 202 orang.
Pertemuan itu mengirim pesan yang menihilkan upaya pasukan keamanan dalam mengerjakan tugas mereka karena wakil presidennya justru terlihat akrab dengan terpidana terorisme.
Nilai-nilai toleransi dan pluralisme Indonesia yang sudah lama ada, dan diabadikan dalam Pancasila, semakin terlihat terancam. Dan pada akhirnya dapat berpotensi mengakibatkan kekerasan politik dalam sembilan bulan ke depan selama kampanye pemilihan presiden.
Zachary Abuza adalah profesor pada National War College di Washington dan penulis buku “Forging Peace in Southeast Asia: Insurgencies, Peace Processes, and Reconciliation.” Opini yang diungkapkannya adalah pandangan pribadinya dan tidak mencerminkan posisi dari Departemen Pertahanan Amerika Serikat, National War College atau BeritaBenar.