WNI yang Dilabel AS sebagai Teroris Global Diyakini Tangan Kanan Pimpinan ISIS
2018.08.28
Klaten, Jawa Tengah
Seorang warga Indonesia yang ditetapkan pemerintah Amerika Serikat (AS) sebagai teroris global diyakini sebagai orang kepercayaan pimpinan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), namun penetapannya tersebut dinilai pakar terorisme tidak berpengaruh banyak bagi pemberantasan aksi teror di Indonesia.
Pemerintah AS pada Jumat lalu menetapkan Muhammad Saifuddin alias Mohammed Karim Yusop Faiz alias Abu Walid (45) asal Indonesia, bersama Mohamad Rafi Udin dari Malaysia dan Mohammad Reza Lahaman Kiram asal Filipina, sebagai teroris global.
“Penetapan ketiganya sebagai teroris global tidak memiliki dampak apapun, termasuk membuat kondisi mereka terdesak. Yang membuat terdesak adalah konflik di Suriah,” ujar Direktur Institute for Public Analysis of Conflict (IPAC), Sidney Jones, kepada BeritaBenar, Senin, 27 Agustus 2018.
Sidney mengaku heran dengan keputusan Pemerintah AS yang baru ditetapkan saat ini karena seharusnya hal itu dilakukan sejak Juni 2016 ketika Walid, Rafi, dan Kiram tampil dalam video propaganda ISIS saat memenggal tiga sandera.
“Tetapi Rafi tidak sepenting Walid,” ujar Sidney yang meyakini Walid masih hidup di Suriah, juga Mohamad Rafi Udin.
Sofyan Tsauri, mantan narapidana teroris yang mengaku kenal Walid, mengatakan Walid dikenal dekat dengan Abu Bakr Al-Baghdadi, pemimpin tertinggi ISIS.
“Saifuddin (Walid) bahkan menjadi sosok yang dipercaya Al-Baghdadi sebagai amir (pemimpin) yang berpengaruh untuk pengikut ISIS di Asia Tenggara,” ungkap Sofyan.
“Ia orangnya alim, tahfidz (penghafal Alquran) dan diennya (agamanya) bagus, memiliki rekam jejak yang meyakinkan sehingga mendapatkan posisi penting di ISIS,” ujarnya.
Tidak berdampak
Seperti juga Sidney, Irjen. Pol. Hamidin, Deputi III Bidang Kerjasama Internasional Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), mengakui penetapan itu juga tidak terlalu mempengaruhi pemberantasan terorisme di Indonesia.
“Sejak dulu dia sudah internasional dan menjadi tugas kami bila ada warga Indonesia yang keluar menjadi anggota ISIS untuk mengawasi jaringan di dalam,” ujar Hamidin.
"Kami bersama PBB dan mitra internasional mengenakan sanksi pada teroris-teroris ini sebagai bagian upaya terkoordinasi melawan jaringan global ISIS yang memungkinkan kelompok itu merekrut petempur asing untuk melancarkan serangan teror internasional," demikian pernyataan pers yang dikeluarkan Departemen Keuangan AS pada 24 Agustus lalu.
Sebagai dampak dari penetapan ini semua negara anggota PBB berkewajiban untuk membekukan aset ketiga orang tersebut, dan melarang perjalanan bagi Walid (Faiz), Udin dan Kiram di wilayah mereka.
Putus hubungan dengan keluarga
Ditemui di Klaten, Jawa Tengah, ibu dari Walid, Sa’adah (75) mengaku tidak ingat lagi kapan terakhir kali putra bungsunya yang dia panggil Udin, berkomunikasi dengannya.
“Nggak tahu dia di mana. Cuma dengar kata orang, jadi teroris. Katanya jadi jagal, suka bunuh orang. Tapi saya tak pernah lihat, tidak mau tahu,” tuturnya kepada BeritaBenar, Senin.
“Saya hanya ingat, saat itu lebaran ia telepon bilang kalau sudah ada di tanah para nabi. Tapi saya benar-benar sudah lupa itu tahun berapa, sudah lama sekali,” kenang Sa’adah.
“Dimanapun dia, semoga berada di buminya Allah yang direstui, diridhoi dan diberkahi,” ucap ibu delapan anak ini.
Menurutnya, sejak usia belasan tahun Saifuddin nyaris tak pernah di rumah karena usai tamat sekolah dasar, melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, di Solo, yang didirikan Abu Bakar Baasyir, pemimpin spiritual Jamaah Islamiyah (JI).
Menurut catatan, Walid sempat menuntut ilmu di Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP) dan setahun di Khuliaffatul Mualimin atau setingkat SMA di Ponpes Al Mukmin. Ia juga sempat belajar di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) di Jakarta, lembaga yang didanai oleh pemerintah Arab Saudi.
Pada 2000-2001, Saifuddin pulang ke kampung dan mengatakan pada keluarganya dari Ambon, Maluku. Sementara itu, saudara kembarnya, Muhammad Nurudin alias Walad, tewas tertembak dalam konflik komunal di Ambon pada 1999.
“Mereka kembar, dan satu tewas di Ambon, satunya Walid ini. Pulang dari Ambon, dia ke Filipina,” terang Irjen Pol Hamidin.
Militan berpengaruh
Pasca Bom Bali I tahun 2002 yang menewaskan 202 orang, Walid meninggalkan rumahnya dan berangkat ke Filipina bersama Dulmatin dan Umar Patek, dua dari sejumlah tokoh JI yang terlibat Bom Bali I.
Pada 2005 saat hendak pulang ke Indonesia, Walid ditangkap polisi Filipina atas kepemilikan senjata ilegal dan bahan peledak. Ia divonis sembilan tahun penjara pada 2007. Setelah bebas, dia dipulangkan ke Indonesia pada Desember 2013.
Kemudian, dia menikahi janda dari Budi Bagus Pranoto alias Urwah, pelaku utama bom Ritz Carlton dan JW Marriot di Jakarta tahun 2009.
Bersama istrinya ia kemudian meninggalkan Indonesia dan diduga berangkat ke Suriah untuk bergabung ISIS.
“Dia berangkat ke sana (Suriah) sekitar 2013 – 2014, sekeluar dari penjara Filipina. Dia disinyalir jadi pengajar syar’i (ilmu agama) untuk yang datang dari Asia Tenggara, orang-orang Malaysia dan Indonesia yang ada di sana,” jelas Hamidin.