Warisan Jokowi: Kemajuan dan kemunduran di tengah peralihan kepemimpinan
2024.08.14
Jakarta
Seiring persiapan lengsernya Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada Oktober guna memberikan tongkat estafet kepemimpinan kepada penggantinya, Prabowo Subianto, warisan pemerintahannya selama satu dekade menjadi sorotan.
Jokowi akan menyampaikan pidato kenegaraan terakhirnya pada hari Jumat di penghujung dua periode masa jabatannya. Pada tahun 2019 ia menjadi presiden sipil pertama di Indonesia yang menyelesaikan masa jabatan penuh.
Jokowi, yang memulai karirnya dari seorang pengusaha mebel hingga menjadi wali kota Solo dan kemudian gubernur Jakarta, dikenal karena "blusukan"-nya.
Gaya pendekatannya ini meraih simpati luas masyarakat karena memosisikan dirinya sebagai sosok di luar elite politik Indonesia yang bersih dan efisien.
Reputasinya ini membantunya memenangkan pemilihan presiden pada tahun 2014. Ia bersumpah untuk melakukan reformasi progresif – dengan janji utama membasmi korupsi.
Dia juga berjanji untuk memulai proyek infrastruktur besar, meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 7%, melindungi lingkungan dan memperbaiki situasi hak asasi manusia.
Dan dia menepatinya – sampai pada titik tertentu, kata para analis kepada BenarNews.
Kemajuan infrastruktur yang dibayar mahal
Pemerintahan Jokowi diapresiasi karena pembangunan infrastrukturnya yang ambisius serta keberhasilannya menciptakan stabilitas ekonomi. Namun demikian, para kritikus mengatakan bahwa pencapaian tersebut dibayar dengan mengorbankan nilai-nilai demokrasi, kesinambungan lingkungan hidup dan kewibawaan lembaga negara.
Pada masa pemerintahannya, ribuan kilometer jalan, jembatan-jembatan, sejumlah bandara, dan pelabuhan telah dibangun untuk menguatkan konektivitas antar pulau di Indonesia, kata kata Asrinaldi, analis politik di Universitas Andalas di Padang, kepada BenarNews.
“Selama ini, masalah infrastruktur di daerah-daerah tertinggal dan hubungan antar pulau menjadi persoalan besar di negara kepulauan seperti Indonesia, dan saya pikir ini menjadi legacy (Jokowi) yang perlu diteruskan oleh Prabowo,” kata kata Asrinaldi.
Jokowi sering kali menyoroti pentingnya pembangunan infrastruktur selama masa pemerintahannya, dengan mengacu pada kenaikan peringkat daya saing Indonesia di dunia, dari peringkat 37 pada 2014 menjadi 27 tahun ini.
"Kita berupaya meningkatkan daya saing kita melalui proyek-proyek infrastruktur ini, memastikan manfaatnya dirasakan langsung oleh rakyat," kata Jokowi dalam sebuah diskusi yang membahas pencapaian infrastruktur pemerintahannya akhir bulan lalu.
Namun, terlepas dari janji Jokowi untuk memberantas korupsi, Indonesia sekarang lebih korup daripada saat ia mulai menjabat.
Posisi Indonesia dalam Indeks Persepsi Korupsi 2023 yang disusun Transparency International adalah 115 dari 180 negara. Peringkatnya pada saat Jokowi mulai menjabat pada tahun 2014 adalah 107 dari 175 negara.
Para kritikus menyoroti melemahnya lembaga-lembaga penting seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Konstitusi. Revisi undang-undang nomor 19 tahun 2019 yang menempatkan KPK di bawah presiden menimbulkan keprihatinan serius tentang integritas tata kelola pemerintahan demokratis.
Terkikisnya demokrasi
Laporan khusus majalah Tempo baru-baru ini mengulas dengan kritis pemerintahan Jokowi di masa akhir jabatannya, dengan membandingkan optimisme pada awal kepemimpinannya pada 2014 dengan kekhawatiran terkikisnya kebebasan sipil dan praktik demokrasi selama masa jabatannya.
Laporan majalah Tempo yang berjudul "18 dosa Jokowi" menuduh Presiden menggunakan taktik otoriter untuk mengonsolidasikan kekuasaan, sehingga melemahkan lembaga-lembaga demokrasi negara ini.
Tempo secara khusus memaparkan sejumlah contoh di mana Jokowi memanipulasi undang-undang dan memengaruhi pengangkatan hakim untuk memajukan tujuan politiknya, termasuk memperpanjang masa jabatan hakim Mahkamah Konstitusi.
“Tanda-tanda kemunduran demokrasi – sistem hukum yang tidak memihak, birokrasi yang netral, kekuasaan eksekutif yang berlebihan, dan media yang tidak independen – semakin nyata di Indonesia," kata Tempo.
Para kritikus mengatakan bahwa pemerintahan Jokowi meningkatkan pengawasan, menindak tegas perbedaan pendapat, dan membatasi kebebasan berbicara dan berkumpul, yang telah menyebabkan ruang kebebasan sipil semakin menyempit.
Hal yang meresahkan lainnya di bawah pemerintahan Jokowi adalah meningkatnya kehadiran anggota TNI dalam peran yang kemungkinan akan terus berlanjut seiring dengan proses revisi Undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Selain itu, proyek ambisius Jokowi adalah terbitnya Undang-undang Cipta Kerja, yang niatnya untuk menyederhanakan regulasi, dikritik karena mengutamakan kepentingan investor dibandingkan masalah lingkungan dan masyarakat.
Secara mengejutkan, Jokowi mengangkat Prabowo sebagai menteri pertahanannya pada 2019, meskipun sempat bersaing sengit dalam pemilu sebelumnya.
Jokowi juga secara diam-diam mendukung Prabowo pada Pemilu 14 Februari.
Lalu, Prabowo memilih putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presidennya, yang oleh banyak pihak dinilai sebagai tindakan atas nama politik. Keputusan tersebut telah memicu tuduhan nepotisme dan dinasti politik.
Prabowo dan Gibran memenangkan hampir 60% suara dalam pemilu, kemenangan mutlak satu putaran.
Gibran, yang baru berusia 36 tahun, mampu maju sebagai kandidat wakil presiden berkat putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2023 yang saat itu diketuai ipar Jokowi, yang menurunkan persyaratan usia bagi calon presiden dan wakil presiden asal pernah dan sedang menjabat sebagai kepala daerah.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, telah memicu perdebatan mengenai keadilan sistem politik Indonesia . Jokowi juga dituduh berupaya membangun dinasti politik, sebuah konsep yang pernah dicemoohnya di masa lalu.
Kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM baru
Aktivis lingkungan dan hak asasi manusia juga vokal dalam mengkritik pemerintahan Jokowi.
Usman Hamid, direktur eksekutif Amnesty International Indonesia, menuduh presiden melakukan "kerusakan lingkungan yang luar biasa" melalui eksploitasi sumber daya alam skala besar, khususnya di Indonesia timur.
“Kerusakan lingkungan menciptakan pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) baru yang terus berlangsung hingga saat ini, selama pemerintahan Jokowi selama 10 tahun,” kata Usman kepada BenarNews.
Pradarma Rupang, aktivis Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), bahkan lebih tegas mengecam catatan lingkungan Jokowi.
Krisis lingkungan yang begitu kolosal terjadi selama era pemerintahannya,” kata Rupang kepada BenarNews.
“Saya berasumsi bahwa ia mewariskan kerusakan ini dan membiarkannya untuk dipikirkan oleh pemimpin berikutnya. Kebijakannya hanya fokus pada eksploitasi tanpa adanya kebijakan pemulihan.”
Proyek Ibu Kota Nusantara
Proyek ambisius dan kontroversial Jokowi untuk membangun ibu kota baru, Nusantara, di Kalimantan Timur juga menghadapi kritik tajam.
Meskipun proyek ini bertujuan mengurangi kemacetan di Jakarta dan memacu pertumbuhan ekonomi di luar Jawa, proyek ini dianggap sebagai penyebab kekurangan air dan penggundulan hutan di wilayah-wilayah kritis, kata Rupang.
“Proyek ini tidak hanya mengeksploitasi wilayah setempat tetapi juga membebani wilayah lain dengan tuntutan logistik dan ekologisnya," kata Pradarma, menyoroti bagaimana material penting seperti pasir, aspal, dan batu diekstraksi dari wilayah lain di Indonesia untuk mendukung pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Proyek IKN dirundung oleh penundaan konstruksi, kendala pembebasan lahan, dan kurangnya minat investor, kata para ahli kebijakan publik.
Meskipun diselimuti kontroversi, Jokowi tetap menjadi tokoh populer di Indonesia. Jajak pendapat terkini menunjukkan tingkat penerimaan terhadapnya berkisar sekitar 76%.
“Mustahil untuk menyenangkan semua”
Rumadi Ahmad, Deputi V Kantor Staf Kepresidenan, menepis kritik tersebut sebagai bukti demokrasi di Indonesia berfungsi sebagai mana mestinya.
"Itu bukan masalah," kata Rumadi kepada BenarNews, menanggapi edisi khusus Tempo. "Justru itu menunjukkan demokrasi masih hidup."
Dia menolak mengomentari kritik spesifik yang dilontarkan.
Pada tanggal 1 Agustus, dalam sebuah momen refleksi publik yang jarang terjadi, Jokowi menyampaikan permohonan maaf atas segala kekurangan selama masa jabatannya.
"Wakil Presiden Ma'ruf Amin dan saya dengan tulus meminta maaf atas segala kesalahan yang mungkin telah kami buat selama menjalankan tugas sebagai pemimpin Republik Indonesia," kata Jokowi dalam acara doa kebangsaan di Istana Presiden.
"Kami menyadari bahwa, sebagai manusia, mustahil untuk menyenangkan semua orang atau memenuhi semua harapan."
Pizaro Gozali Idrus di Jakarta berkontribusi pada laporan ini.