Organisasi Perlindungan Hewan Sebut Pariwisata Bali dan Lombok Eksploitasi Satwa Liar
2018.06.04
Denpasar
Bocah berusia 10 tahun asal India itu datang bersama keluarganya di penangkaran penyu bernama New Bulih Bali, Jumat, 1 Juni 2018.
Di tempat wisata pantai barat Tanjung Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Badung, Bali, itu Karina terus berpegangan ke lengan bapak dan ibunya.
Ekspresinya ketakutan. Apalagi saat orangtuanya menarik tangannya ke arah monyet dan ular, gadis dengan rambut pendek di bahu itu berteriak-teriak, menolak.
“Saya kasihan dan takut,” katanya singkat dalam bahasa Inggris.
Petang itu, mereka mampir ke Pulau Penyu setelah menikmati wisata air di Tanjung Benoa. Tempat dekat Nusa Dua itu memang terkenal dengan aktivitas wisata air, seperti perahu berbentuk pisang (banana boat), jet ski, parasailing, dan lain-lain.
Meski bernama Pulau Penyu, nyatanya di situ tak hanya menangkar penyu tapi juga satwa-satwa liar, termasuk luwak, burung hantu, monyet, dan ular boa. Ada 10 jenis satwa dengan total sekitar 80 ekor. Hampir semua satwa dikurung dalam kandang, dikeluarkan hanya saat ada turis mau berfoto dengan satwa-satwa tersebut.
Padahal, sebuah peringatan tertulis dengan logo Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali tertempel di sana. Pengunjung tidak boleh menyentuh satwa-satwa liar tersebut karena bisa mengganggu mereka.
Peringatan itu seperti tak ada artinya. Jika Karina menjerit ketakutan melihat satwa-satwa liar itu, tidak demikian dengan Gung Sri, turis domestik yang berkunjung sore itu. Dia menggotong penyu hijau seberat kira-kira 10 kg lalu berfoto dengannya.
“Kasihan sih, tetapi lucu kalau difoto,” ujarnya santai.
Eksploitasi satwa
Seiring kian banyaknya turis datang ke Bali, pertunjukan satwa untuk pariwisata pun semakin marak. Di Tanjung Benoa sebagai contohnya, dari semula hanya dua tempat penangkaran penyu, kini ada enam lokasi. Tak hanya ada penyu, tapi satwa liar lain.
Atraksi lain yang bermunculan adalah kebun kopi luwak. Tiga tahun terakhir, kebun kopi luwak yang semula hanya ada di pegunungan seperti Kintamani dan Ubud, kini ada di Sanur dan bahkan Uluwatu, daerah yang secara alami tidak memungkinkan sebagai tempat tumbuhnya kopi.
Luwak yang sebenarnya satwa liar dikurung dalam kandang berpagar besi. Binatang nokturnal itu dipaksa bergerak siang hari sebagai bagian dari atraksi pariwisata untuk kesenangan turis.
Praktik semacam itu mendapat sorotan organisasi penyayang binatang global World Animal Protection (WAP). Akhir Mei lalu, WAP menerbitkan laporan berjudul Wildlife Abusement Parks: wildlife entertainment tourism in Bali, Lombok and Gili Trawangan.
Laporan itu berdasarkan investigasi di 26 taman satwa liar dengan 1.500 satwa liar, termasuk gajah, lumba-lumba, dan orangutan.
November 2017, aktivis WAP mengunjungi semua lokasi. Tempat pertunjukan itu menggunakan satwa-satwa liar sebagai daya tarik, di mana turis bisa berinteraksi langsung dengan satwa.
Dari 1.500 satwa di tempat hiburan itu, di antaranya 62 ekor gajah, 48 ekor primata, 15 harimau, 13 lumba-lumba, hampir 300 ekor lumba-lumba, dan 80 luwak maupun bajing loncat.
Tempat-tempat yang dikunjungi, semua lokasi yang memiliki gajah, harimau, lumba-lumba, dan luwak tak memerhatikan kebutuhan dasar satwa. Begitu pula 80 persen lokasi yang memelihara primata, demikian laporan tersebut.
WAP memberikan contoh perlakuan tak sesuai standar itu antara lain penghilangan gigi lumba-lumba di tempat pertunjukan agar dia tidak menggigit pengunjung. Ada pula orangutan dijadikan teman swafoto oleh pengunjung, sesuatu yang menurut WAP seharusnya tidak dilakukan.
Perlakuan atas satwa-satwa di Bali dan Lombok juga eksploitatif. Misalnya dikurung dalam kandang sangat sempit atau diikat rantai, kurangnya waktu buat bersosialisasi dengan satwa lain secara alami, dan dilibatkan dalam aktivitas yang menyakitkan.
WAP juga menuding para pengelola taman satwa atau lembaga konservasi itu tidak mendapatkan perawatan layak. Beberapa satwa liar juga tidak memperoleh nutrisi yang cukup.
Pemeriksaan berkala
Menanggapi laporan tersebut Manajer New Bulih Bali, I Komang Stone, mengatakan bahwa hal itu hanya berdasarkan suka dan tidak suka.
“Bikin laporan semacam itu gampang. Tinggal berdasarkan suka atau tidak. Cuma, apakah bisa membuktikan atau tidak,” ujarnya.
Menurutnya, perlakuan satwa liar di tempat penangkarannya sudah sesuai aturan BKSDA Bali. Membiarkan pengunjung mengangkat atau berfoto dengan satwa, bagi dia masih diperbolehkan asal tidak sampai menyakiti, misalnya menjatuhkan penyu.
Komang mengaku beberapa turis dari Eropa dan Australia pernah memprotes perlakuan terhadap satwa di tempatnya.
Komang menyebutkan secara berkala BKSDA Bali memeriksa kondisi satwa-satwa di sana.
Emma Chandra, Manajer Hubungan Masyarakat Bali Zoo, taman satwa lain di Bali, mengatakan semua satwa di tempat tersebut di bawah pengawasan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan BKSDA Bali.
“Kita sudah lakukan yang terbaik untuk satwa-satwa di tempat kami,” katanya.
Adapun Fathur Rahman, Kepala Urusan Lembaga Konservasi BKSDA Bali, mengaku belum membaca laporan WAP. Tapi, ia mengatakan perlu dicek lebih lanjut taman satwa mana saja yang dimaksud.
“Kami secara berkala memantau semua lembaga konservasi di Bali. Hasilnya semua masih baik-baik saja,” katanya.