Pro Kontra Vaksin Campak Rubella Terkait Sertifikasi Halal
2017.10.13
Jakarta
Pemerintah bertekad membebaskan anak-anak Indonesia dari ancaman penyakit campak dan rubella pada 2020 sehingga dilakukan program imunisasi nasional untuk usia 9 bulan hingga di bawah 15 tahun.
Namun di tengah gencarnya upaya pemerintah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa vaksin MR (measles and rubella) yang disediakan pemerintah belum berlabel halal.
“Sampai saat ini (vaksin MR) belum didaftar untuk sertifikasi halal,” ujar Sekretaris Jenderal Komisi Fatwa MUI Pusat, Solahuddin Al Ayubi, kepada BeritaBenar, Jumat, 13 Oktober 2017.
Seharusnya, menurut dia, menjaga kesehatan bagi umat Islam harus dilakukan dengan cara halal.
“Saat ini (Indonesia) tidak dalam kondisi keterpaksaan. Jadi, tak ada alasan untuk tidak menggunakan vaksin yang halal,” ujar Solahuddin.
MUI, lanjutnya, pernah mengeluarkan fatwa yang menyatakan imunisasi boleh dilakukan dengan syarat menggunakan vaksin halal.
“Dalam fatwa jelas disebutkan MUI dalam posisi mendukung imunisasi tapi dengan syarat, karena masyarakat ada yang menolak imunisasi. MUI dalam posisi mendukung imunisasi karena ini bagian dari ikhtiar menjaga kesehatan, mencerdaskan, mempersiapkan generasi yang akan datang,” kata Solahuddin.
“Kita sudah memberikan masukan kepada Kemenkes. Tetapi sepertinya pemerintah dalam hal ini Kemenkes tidak punya itikad baik untuk melakukan apa yang disyaratkan MUI, yaitu mengadakan vaksin yang halal. Kita menengarai ada upaya mengelabui umat Islam dengan menggunakan fatwa MUI untuk mensosialisasikan vaksin MR ini,” ujar Solahuddin, menambahkan bahwa dibutuhkan kurang lebih 40-50 hari untuk mendapatkan sertifikasi.
Ia menambahkan karena ada upaya mengelabui itu sehingga MU harus menyampaikan pada masyarakat, bahwa “tidak benar ada fatwa yang menyatakan vaksin MR sudah halal.”
Solahuddin menambahkan bahwa hampir semua vaksin di Indonesia belum halal, kecuali tiga produk vaksin meningitis dan satu jenis vaksin influenza.
Imunisasi sebagai perlindungan
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Oscar Primadi, mengakui bahwa vaksin MR belum tersertifikasi halal.
“Tetapi tidak benar jika vaksin yang belum disertifikasi halal itu berarti haram, karena sudah ada fatwa yang menyebutkan bahwa vaksin itu bisa mubah (tidak berdosa dan tak juga berpahala kalau dilakukan),” ujarnya ketika dikonfirmasi BeritaBenar.
Oscar memastikan bahwa pengurusan sertifikasi masih berjalan karena komunikasi antara Kemenkes, MUI, dan produsen vaksin yaitu Biofarma masih berlangsung.
“Kalau mengacu pada Undang-Undang Kesehatan, imunisasi adalah bentuk perlindungan terhadap anak. Karena itu pemerintah wajib memenuhinya. Jangan sampai masa depan mereka tidak terlindungi dengan adanya ancaman penyakit,” jelas Oscar.
Hingga 11 Oktober 2017, Kemenkes mencatat hampir 35 juta anak di seluruh provinsi di Jawa sudah diimunisasi MR, atau 99,84 persen dari target.
Provinsi Banten adalah provinsi dengan cakupan MR terendah, yakni 3.110.020 anak atau 93,61 persen dari target. Jawa Timur dan Jawa Tengah adalah dua provinsi yang melebihi target, masing-masing 105,62 persen dan 104,52 persen.
Ketua Komisi IX DPR RI, Dede Yusuf, menyarankan agar semua pihak untuk mencari opsi yang lebih baik dan halal. Komisi IX tersebut membidangi masalah tenaga kerja dan transmigasi, kependudukan serta kesehatan.
“Saya sudah meminta Kemenkes untuk melakukan koordinasi dengan LPPOM (Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika) MUI. Mereka dan Biofarma sudah berkali-kali juga minta di-assess dan sedang memasukkan persyaratan MUI,” katanya kepada BeritaBenar.
Menurut politisi Partai Demokrat itu, prosesnya agak lama. Setelah keluar dari LPPOM MUI, hasilnya nanti diserahkan ke MUI karena lembaga itu yang berhak memberikan pernyataan halal atau tidaknya vaksin.
Dalam konteks kesehatan, lanjutnya, tentu ada skala prioritas, artinya jika tak ada jenis lain, maka semua obat/vaksin bermanfaat.
“Saya sudah tanya Kemenkes apakah ada opsi lain. Saat ini tidak ada opsi. Karena itu, kami sudah sarankan agar segera berkoordinasi dengan MUI. Karena prioritas kita yang pertama adalah dari sisi keamanannya dulu. Kalau aman, baru kita bicara yang lain,” imbuh Dede.
Pro kontra
Namun, tolak tarik soal sertifikasi halal itu ditanggapi pro dan kontra oleh masyarakat. Arin adalah seorang ibu rumah tangga di Jakarta yang memilih tak mengimunisasi anak-anaknya.
“Syubhat (Samar-samar, sehingga tidak bisa diketahui halal haramnya). Jika ragu, tinggalkan. Keyakinan kami begitu. Alhamdulillah, sejak bayi anak-anak kami ditangani dokter anak yang antivaksin. Jadi kami sering diberikan pencerahan,” ujarnya.
“Jika anak saya sakit, itu takdir yang diberikan Allah untuknya. Kami sebagai orang tua pasti berusaha semaksimal mungkin untuk ikhtiar terbaik. Saya percaya Allah memberikan obat pada setiap penyakit. Seperti memberikan kemudahan setelah kesulitan.”
Sedangkan, Adi – seorang pegawai swasta –khawatir jika anak semata wayangnya terancam penyakit berbahaya lantaran tidak divaksin.
“Saya justru khawatir kalau anak sakit malah bapaknya bisa cari duit haram untuk berobat. Haram itu kalau kita biarkan anak sakit,” katanya.