DPR sahkan UU DKJ: Jakarta pusat ekonomi, gubernur tetap dipilih langsung
2024.03.28
Jakarta
Dewan Perwakilan Rakyat pada Kamis (28/3) mengesahkan undang-undang baru yang menetapkan status khusus Jakarta sebagai pusat ekonomi dan bisnis setelah tidak lagi menjadi ibu kota negara.
Beleid bernama Undang-undang Daerah Khusus Jakarta (DKJ) tersebut merupakan rangkaian aturan yang disiapkan pemerintah untuk memindahkan ibu kota dan pusat pemerintahan dari Jakarta ke Nusantara – sebuah kota baru di Kalimantan Timur yang memakan biaya pembangunan hingga Rp466 triliun.
Setelah tidak lagi menjadi ibu kota negara, Jakarta akan dikembangkan menjadi kota kelas dunia yang mengakselerasi pertumbuhan ekonomi negara, kata Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian kepada jurnalis usai pengesahan UU DKJ oleh DPR, Kamis.
Tito mengatakan, menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2023, Jakarta menyumbang 17% terhadap perekonomian Indonesia.
Tito juga menegaskan gubernur Jakarta tetap akan dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan kepala daerah, tidak seperti isi draf rancangan undang-undang yang menyebutkan gubernur Jakarta ditunjuk oleh presiden.
Seluruh fraksi di DPR menyetujui pengesahan UU DKJ dalam rapat paripurna pada Kamis pagi, kecuali fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Dalam argumen penolakan, anggota fraksi PKS Hermanto bersikukuh agar Jakarta tetap menjadi ibu kota, namun khusus sebagai ibu kota legislatif.
Dia merujuk pada nilai historis dan kelengkapan moda transportasi di Jakarta yang dia nilai dapat memudahkan masyarakat untuk menyampaikan pendapat.
Argumen itu dimentahkan Ketua DPR Puan Maharani, dengan mengatakan bahwa usulan tersebut telah dibahas dalam rapat kerja parlemen bersama pemerintah.
Sejurus kemudian, Puan pun menanyakan persetujuan anggota DPR yang lantas disambut kor, "setuju."
UU DKJ juga mengatur soal pembentukan Dewan Kawasan Aglomerasi untuk mengharmoniskan pembangunan Jakarta dan kota-kota satelit yakni Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur.
Tito menambahkan Dewan Kawasan Aglomerasi diperlukan agar semua level pemerintahan bisa bersatu menangani masalah seperti kesehatan, banjir, transportasi, sampah, kemacetan, dan migrasi penduduk.
“Pemerintah dan DPR bersepakat bahwa perkembangan Jakarta tidak bisa lepas dari wilayah sekitarnya sehingga sinkronisasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan amat diperlukan,” kata dia.
Tito menambahkan bahwa anggota Dewan Kawasan Aglomerasi nantinya akan ditunjuk oleh presiden dan tidak mengambil alih kewenangan pemerintah di daerah.
Meski UU DKJ telah disahkan, Jakarta akan tetap menjadi ibu kota negara hingga saat presiden menerbitkan keputusan presiden yang mengatur peralihan status.
Polemik pembahasan
Pada awal pembahasan, UU DKJ yang berisi 12 bab dan 72 pasal sempat mematik kritik sejumlah pihak karena memuat beberapa aturan yang dianggap kontroversial.
Aturan-aturan tersebut, seperti posisi gubernur-wakil gubernur yang ditunjuk langsung presiden alih-alih lewat pemilihan kepala daerah serta penetapan wakil presiden sebagai Ketua Dewan Kawasan Aglomerasi.
Pemerintah beralasan, ketua dewan aglomerasi diusulkan otomatis dijabat wakil presiden karena ia akan menangani perkara kompleks yang bersifat lintas kementerian.
Pasal-pasal kontroversial itu belakangan urung termaktub dalam UU setelah pemerintah menggelar rapat kerja bersama DPR. Untuk meraih kursi gubernur, seorang calon harus meraih suara 50% plus satu, sementara ketua dewan aglomerasi ditetapkan oleh presiden.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengumumkan pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur pada Agustus 2019, dengan alasan beban Jakarta yang sudah terlalu berat serta demi pemerataan pembangunan, ekonomi, dan penduduk.
Status khusus tetap perlu
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan kekhususan status Jakarta, meski setelah tak lagi menyandang ibu kota, tetap diperlukan.
Alasannya, kata dia, Jakarta sudah menjadi kota global yang terkoneksi dengan perekonomian dan mobilitas dunia lewat bandara dan pelabuhan yang besar, serta telah menjadi tolok ukur nasional.
“Pembangunan infrastruktur masih terkonsentrasi di Jakarta. Perputaran uang juga di Jakarta karena Jakarta sudah menjadi global city,” kata Faisal kepada BenarNews.
Ihwal sama disampaikan pengamat tata kota Universitas Trisakti Yayat Supriyatna yang menyebut pembangunan dan perkembangan Jakarta harus dilanjutkan sehingga tetap perlu diberikan kekhususan.
“Undang-undang kekhususan itu semacam mesin agar dia (Jakarta) tetap dapat tumbuh. Jadi punya tenaga untuk berkembang,” ujar Yayat kepada BenarNews.
Meski mengapresiasi pengesahan UU DKJ, Yayat menilai perjalanan pemindahan ibu kota masih akan panjang.
Menurutnya, masa krusial justru akan terjadi begitu presiden resmi menetapkan ibu kota berpindah ke Nusantara, sementara infrastruktur di kota baru itu belum sepenuhnya tuntas.
“Bagaimana pemerintahan pusat berjalan setelah itu? Apakah keputusan politik masih akan diambil di Jakarta atau di IKN? Apakah presiden di IKN, tapi menteri masih ada di Jakarta?” katanya.
“Kalau masih seperti itu, ongkos pemerintahan akan sangat besar, selain tentu akan memberi kesan buruk kepada investor bahwa proyek itu (Nusantara) tidak serius.”
Mengenai pembentukan kota aglomerasi dalam UU DKJ, Faisal berpendapat bahwa Jakarta secara de facto telah berperan dalam konsep tersebut.
Dia merujuk fenomena orang-orang yang berbisnis dan bekerja di Jakarta, tapi justru tinggal di kota-kota satelit Jakarta. Begitu pula perihal lingkungan, di mana penanganan banjir Jakarta bergantung kepada Bogor dan pembuangan sampah yang bergantung dengan Bekasi.
“Secara fakta, peran aglomerasi Jakarta sudah berjalan, hanya administrasi saja yang terkotak-kotak,” kata Faisal.
Sementara itu, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho menilai Jakarta tidak akan kesulitan menghadapi perubahan status sebagai kota aglomerasi.
“Yang menjadi pertanyaan adalah kesiapan wilayah sekitarnya. Bagaimana kesiapan dari mapping kota? Anggaran saja, DKI Jakarta jauh lebih besar dibanding kota sekitarnya.”
“Untuk diperluas, dibutuhkan kesiapan anggaran yang perlu disesuaikan. Kalau dilihat, anggaran di kota penyangganya kan jomplang banget,” kata Faisal.
Oleh karena itu, baik Faisal maupun Andry menilai perwujudan Jakarta sebagai kota aglomerasi akan membutuhkan waktu.
“Menurut saya, akan ada proses dan tidak bisa dicapai dalam waktu lima tahun atau satu masa pemerintahan,” kata Faisal.
Sementara Andry menilai penerapan konsep tersebut akan bergantung pada sejauh mana peran dan wewenang yang dimiliki ketua dewan aglomerasi.
“Seberapa tinggi jabatannya – apakah hanya memberi imbauan atau bisa menurunkan regulasi?” tanya dia.