Umar Patek Diminta Bantu Bebaskan Sandera Abu Sayyaf

Tia Asmara
2016.04.08
Jakarta
160408_ID_Umar_1000.jpg Umar Patek (tengah) meminta maaf kepada korban serangan bom Bali tahun 2002 usai persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, 7 Mei 2012.
AFP

Para mantan teroris yang telah dideradikalisasi ikut membantu melakukan negosiasi dalam upaya pembebasan 10 anak buah kapal (ABK) warga negara Indonesia (WNI) yang disandera kelompok militan Abu Sayyaf di kawasan Filipina Selatan.

Staf ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bidang pencegahan, Wawan Purwanto mengatakan salah satunya adalah Umar Patek yang saat ini masih menjalani hukuman 20 tahun penjara di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Sidoarjo, Jawa Timur.

“Segala opsi dilakukan. Kami upayakan dari siapapun. Tidak hanya Umar Patek saja, ada beberapa lainnya. Namun saya tidak bisa ungkap namanya,” ujar Wawan ketika dikonfirmasi BeritaBenar, Jumat, 8 April 2016.

Wawan mengatakan bahwa Umar dan beberapa mantan teroris sudah berubah dan bisa menjadi negosiator karena punya kedekatan khusus dengan kelompok militan di Filipina Selatan seperti Moro Islamic Liberation Front (MILF) dan Moro National Liberation Front (MNLF).

Umar alias Hisyam bin Ali Zein ditangkap aparat keamanan di Abbottabad, Pakistan, 25 Januari 2011. Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 2012 memvonis hukuman 20 tahun penjara karena Umar terbukti terlibat peristiwa kasus bom Bali I tahun 2002.

Setelah bom Bali I, Umar langsung pergi ke Filipina Selatan dan dikabarkan sempat bergabung dengan Abu Sayyaf. Ia berada di Filipina hingga tahun 2009 sebelum kembali ke Indonesia awal 2010 dan kemudian ditangkap di Pakistan setahun kemudian.

Menurut Wawan, pimpinan faksi Abu Sayyaf yang menyandera 10 WNI diketahui bernama Al-Habsi Misaya dan Jim Dragon alias Junior Lahab.

Ketika masih bergabung dengan Abu Sayyaf, Umar mengungkapkan, Jim dianggap sebagai tokoh senior yang setara dengan dirinya, sedangkan Al-Habsi masih anggota yunior.

“Pengalaman mereka dulu diharapkan bisa berlaku di Sulu (lokasi penyanderaan) dan bisa mempercepat penanganan, bagaimana memberikan masukan-masukan dan bisa menekan kelompok Abu Sayyaf untuk membebaskan sandera,” ujar Wawan.

Dia menjelaskan negosiasi yang dilakukan Umar hanya berkomunikasi dari penjara dengan menggunakan HP dan alat-alat komunikasi lain.

“Semua celah jadi strategi untuk atur waktu yang tepat. Masih perlu ada satu pembicaraan lagi, dalam upaya (negosiasi),” ujar dia.

Masih Hidup

Wawan memastikan ke-10 ABK WNI masih hidup dan dalam keadaan sehat fisik dan jasmani. Seperti diketahui bahwa 8 April 2016 adalah batas akhir yang diberikan militan Abu Sayyaf untuk pembayaran tebusan 50 juta peso atau sekitar Rp14,3 miliar.

“Korban masih berhubungan dengan keluarga, mereka masih ada komunikasi, ada jaminan mereka masih hidup. Semoga tenggat waktu diperpanjang,” ujar Wawan.

Tetapi, juru bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Nasir membantah adanya batas waktu yang diberikan Abu Sayyaf kepada pemerintah untuk memberikan uang tebusan.

“Wah saya tidak tau tuh deadline dari siapa...,” ujarnya melalui pesan singkat kepada BeritaBenar.

Menurut Wawan, pemerintah Filipina mungkin kesulitan melakukan negosiasi karena  diketahui sejak dulu memiliki hubungan buruk dengan militan di wilayah selatan negara itu.

“Mereka terus melawan Pemerintah Filipina dan sandera belum juga bisa dibebaskan,” katanya.

Meskipun begitu, ujar Wawan, pemerintah Indonesia sudah mengambil keputusan untuk tidak memberikan uang tebusan kepada kelompok tersebut.

“Memang posisinya sulit. Ini (lokasi penyanderaan) merupakan wilayah kepulauan dan Filipina tidak izinkan tentara kita untuk ke sana jadi masih kita upayakan dulu melalui dialog,” jelasnya.

Juru bicara Kepresidenan, Johan Budi menekankan Presiden Joko “Jokowi” Widodo tetap mengupayakan penyelamatan ke-10 WNI dengan terus memonitor setiap perkembangan proses negosiasi.

“Presiden monitor terus secara langsung dan Menlu diminta untuk melaporkan setiap perkembangan keadaan. Presiden sangat concern dengan mengutamakan keselamatan WNI,” ujar Johan.

Beri uang tebusan

Pakar terorisme dari The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya, menyebutkan jika prioritasnya adalah 10 nyawa WNI, maka secara teknis tidak ada pilihan kecuali memberikan uang tebusan.

“Tentu ini akan berefek secara psikis kepada 10 sandera WNI. Secara teknis pihak perusahaan 10 WNI sudah siap menebus, dan pemerintah bisa memediasi untuk realisasinya,” katanya.

Harits menambahkan Pemerintah Filipina sudah menutup rapat opsi operasi militer Indonesia sementara fakta di lapangan pemerintah Manila juga mengalami kendala untuk melakukan operasi.

“Maka pilihannya harus maksimal negosiasi dan persuasi bawah tanah kepada para penyandera. Operasi bawah tanah dengan dominan persuasif ini bisa menggunakan jalur tokoh kunci MILF dan MNLF yang pernah berhutang budi pada pemerintah Indonesia,” jelasnya.

Harits mendorong pemerintah mengerahkan dan memberdayakan semua potensi untuk membebaskan WNI secepatnya. Jika tidak, akan menjadi preseden buruk bagi Pemerintahan Jokowi.

“Jika pembebasan sandera ini gagal dan bahkan memakan waktu yang relatif lama, menunjukkan kepada publik gagalnya diplomasi Indonesia kepada negara tetangga dan kedaulatan yang tidak bisa ditawar,” ujarnya kepada BeritaBenar.

Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq, sepakat dengan usul Harits. "Keselamatan 10 WNI menjadi prioritas bagi Indonesia. Indonesia sudah serahkan segala opsi kepada Pemerintah Filipina. Semoga proses negosiasi berjalan dengan baik," harap politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.