Terbukti Berbuat Mesum, Seorang Ulama Dicambuk di Aceh

Wakil Bupati Aceh Besar menyebutkan eksekusi cambuk atas MM menunjukkan bahwa penegakan syariat tidak pandang bulu.
Nurdin Hasan
2019.10.31
Banda Aceh
191931_ID_flogged_1000.jpg Algojo dari petugas Wilayatul Hisbah menghunus rotan ke punggung MM saat eksekusi cambuk terhadap pelaku pelanggaran syariat Islam itu di Banda Aceh, 31 Oktober 2019.
Nurdin Hasan/BeritaBenar

Seorang ulama di Aceh dicambuk di depan umum, Kamis (31/10), setelah dinyatakan terbukti berbuat mesum dengan perempuan yang bukan istrinya, menjadikannya tokoh agama pertama yang menerima hukuman berdasarkan Syariah Islam itu.

Laki-laki yang telah beristri tersebut, MM (46), yang juga adalah anggota Majelis Permusyarawatan Ulama (MPU) Kabupaten Aceh Besar mendapat 28 kali sabetan rotan di punggungnya. Sedangkan perempuan yang diajak berselingkuh, NA (33), yang merupakan istri orang lain, menerima 23 kali cambukan.

Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa mereka telah terbukti melakukan ikhtilath atau perbuatan bercumbu antara pria dan perempuan tanpa ikatan pernikahan.

Sebenarnya, MM divonis 30 kali cambuk dan NA dihukum 25 kali cambukan oleh majelis hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh pada Rabu pekan lalu, tapi hukuman tersebut dikurangi dua kali karena mereka telah ditahan dua bulan.

MM adalah oknum ulama pertama dicambuk di Aceh, satu-satunya provinsi di Indonesia yang memberlakukan syariat Islam secara parsial sejak tahun 2002.

Disaksikan sekitar 100-an warga dan pejabat pemerintah, MM berusaha menutup wajah dengan tangannya, ketika dibawa ke panggung oleh dua petugas Wilayatul Hisbah (WH) atau polisi syariah untuk dicambuk di Taman Bustanussalatin, pusat Kota Banda Aceh,

Hal yang sama juga dilakukan NA ketika dinaikkan ke panggung. Sambil duduk, dia menerima 23 sabetan rotan dengan menundukkan wajahnya.

Selain MM dan NA, pada kesempatan itu juga dicambuk seorang perempuan 18 tahun dengan inisial RN yang tamat Sekolah Menengah Atas (SMA) karena berbuat mesum dengan seorang anak di bawah umur.

“Karena pasangannya anak di bawah umur, maka yang laki-laki tak dicambuk. Dia hanya dibina untuk tidak mengulangi perbuatannya,” kata Mursyid, jaksa penuntut umum yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan eksekusi cambuk tersebut.

Wali Kota Banda Aceh, Aminullah Usman dalam sambutan tertulis yang dibacakan oleh Asisten II Pemerintah Kota Banda Aceh, Bachtiar, menyatakan pelaksanaan hukuman cambuk itu adalah bentuk komitmennya untuk menegakkan syariat Islam di ibu kota Provinsi Aceh tersebut.

“Kepada Saudara-saudara yang dicambuk hari ini, marilah introspeksi diri dan bertaubat kepada Allah. Sedangkan yang belum agar berjaga diri dan tak berdua-duaan di tempat sepi kalau tidak didampingi keluarga,” katanya.

Menurutnya, petugas WH akan terus melakukan pemantauan siang dan malam hari, terutama di tempat-tempat wisata, guna menghindari warga melanggar syariat Islam.

Anggota MPU

Menurut dakwaan jaksa penuntut umum yang diperoleh wartawan, MM dan NA ditangkap oleh petugas WH saat berada dalam mobil di kawasan wisata Pantai Ulee Lheue, pinggiran Banda Aceh, pada 9 September lalu.

Dari hasil interogasi petugas WH, keduanya mengakui telah berciuman padahal MM telah memiliki istri yang sah, sementara NA juga telah punya suami.

Wakil Bupati Aceh Besar, Husaini Abdul Wahab, saat dikonfirmasi wartawan menyatakan bahwa hukuman cambuk terhadap MM menunjukkan penegakan syariat tidak pandang bulu dan siapa pun yang melanggar harus dihukum.

“Hukum cambuk berlaku untuk seluruhnya, kalau pun itu anggota MPU tetap harus dicambuk,” tegasnya.

Husaini yang juga seorang ulama menegaskan pihaknya akan mengeluarkan MM dari MPU Aceh Besar karena telah merusak citra lembaga ulama setempat.

“Yang bersangkutan pasti akan dipecat dari anggota MPU, karena moralnya sudah rusak dan itu sesuai dengan aturan,” pungkasnya.

MPU tingkat provinsi Aceh adalah salah satu lembaga, disamping pemerintah daerah, DPRD setempat dan para pakar, yang mempersiapkan Qanun (peraturan daerah) tentang Jinayat atau hukum pidana Islam yang berlaku di provinsi “Serambi Mekah” itu.

Di tempat terbuka

Hukum cambuk di Aceh dilakukan di tempat terbuka dan menjadi tontonan ratusan orang termasuk anak-anak, meskipun ada peraturan yang melarang orang yang berusia di bawah 18 tahun untuk melihatnya.

Pada April 2018, Irwandi Yusuf, yang saat itu menjadi gubernur Aceh, mengeluarkan peraturan gubernur tentang hukuman cambuk untuk dilakukan di tempat tertutup yaitu di lingkungan penjara.

Irwandi mengatakan langkah itu diambil untuk mengurangi kecaman internasional atas hukuman yang dinilai pegiat hak asasi manusia (HAM) sebagai tidak manusiawi dan untuk mencegah hukuman tersebut dilihat oleh anak-anak.

Sementara aktivis HAM mendukung rencana Irwandi itu, kelompok Muslim konservatif mengecam hal itu.

Para pejabat mengatakan rencana pemindahan hukuman cambuk ke penjara belum dibahas kembali sejak Irwandi ditangkap karena dugaan terlibat kasus korupsi pada Juli 2018, setelah ia mengeluarkan peraturan tersebut.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta menjatuhkan hukuman tujuh tahun penjara kepada Irwandi pada bulan April. Pengadilan Tinggi Jakarta meningkatkan hukumannya menjadi delapan tahun pada bulan Agustus.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.