Toleransi Beragama Tetap Jadi Tantangan Presiden Terpilih
2018.11.16
Jakarta

Masih berulangnya kasus intoleransi beragama di Indonesia dinilai menjadi tantangan presiden terpilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Tren ini diprediksi akan terus terjadi terutama di tahun-tahun politik.
Mohamad Guntur Romli, anggota tim sukses pasangan calon presiden-wakil presiden Joko “Jokowi” Widodo-Ma'ruf Amin mengatakan isu intoleransi meningkat pada tahun politik karena sentimen agama masih digunakan dalam kampanye baik dalam bentuk positif maupun negatif.
Puncaknya terjadi tahun 2017 ketika mantan gubernur Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dijebloskan ke penjara terkait kasus penistaan agama, katanya dalam Diskusi Publik dalam rangka Peringatan Hari Toleransi Internasional bertajuk “Toleransi dan Kebebasan Beragama dalam Dinamika Pilpres 2019” yang digelar Setara Institute di Jakarta, Jumat, 16 November 2018.
"Sepanjang pemerintahan Jokowi, kami mendapat laporan terjadi beberapa kasus intoleransi. Laporan dari Setara, Wahid Foundation, dan Komnas Perempuan. Kami ingin laporan-laporan itu tak hanya sekadar laporan dan rekomendasi, tapi harus dilaksanakan," ujarnya.
Guntur membenarkan selama ini tak ada keberanian partai-partai pendukung Jokowi membahas secara serius isu-isu toleransi, apalagi semakin tipisnya batas antara partai nasionalis dan agama karena politik identitas.
Ke depan, lanjut Guntur, Jokowi yang menggandeng Ma'ruf memasukkan dua unsur toleransi ke dalam Program Nawacita Jilid II.
"Restorasi toleransi dan pengembangan pemikiran yang moderat. Itu ada di butir kelima dari sembilan butir Nawacita Jilid II," ujar politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu.
"Pertarungan di 2019 adalah bagaimana menghadapi isu-isu intoleransi yang diusung sejumlah pihak.”
Buka ruang diskusi
Menurut Faldo Maldini, anggota tim sukses Prabowo Subianto - Sandiaga Uno, saat ini ada beberapa regulasi yang dikeluarkan negara justru mencederai toleransi.
"Tentu ini jadi PR siapapun yang akan terpilih tahun depan," ujarnya.
Selain itu, menurut Faldo, ada hal-hal yang mendorong terjadinya konflik sektarian yang harus dibahas lewat diskusi.
"Saya Islam, saya ngak setuju dengan Ahmadiyah, tapi saya bisa berdiskusi dengan mereka. Beda-beda sekte kadang dipolisikan," katanya.
"Kalau bisa perdebatan-perdebatan teologis yang terjadi di negara ini, negara ambil tindakan ketika terjadi keributan. Hukum main di situ. Mari kita bahas isu-isu sensitif ini. Buka ruang-ruang diskusi."
Siti Ruhaini Dzuhayatin, aktivis pemikiran keagamaan internasional, menyatakan Indonesia seharusnya belajar dari konflik yang terjadi di Timur Tengah, khususnya Suriah.
“Saya mengikuti Suriah dari kecil sampai hancur. Suriah negara kecil yang damai. Penduduknya tak mau ikut hiruk pikuk global. Namun masalah Timur Tengah adalah warganya yang tak bisa menerima perbedaan, terutama di Saudi dan Iran,” kata mantan Ketua Komisi HAM Permanen Independen OKI itu.
“Indonesia sebenarnya mempunyai peluang untuk muncul sebagai representasi negara Muslim yang besar. Warisan toleransi yg kita miliki harus dijaga. Mahal harganya.”
Menurut Siti, isu toleransi beragama seharusnya jangan dikriminalisasi.
“Akan terlalu banyak luka-luka sosial. Sekarang cara kita bagaimana mencangkokkan upaya-upaya mediasi dan nonlitigatif di pengadilan. Itu banyak membantu proses penyelesaian secara win-win,” tegasnya.
Dia menyebutkan perbedaan persepsi sulit jika ditangani secara hukum.
“Forum Kerukunan Umat Beragama harus menjadi mediator ketegangan keagamaan sehingga penyelesaian berujung pada perdamaian. Proses-proses ini akan mendewasakan kita,” katanya
Pasal penistaan agama
Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos menilai pasal tentang penistaan agama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah menelan banyak korban, meski kasus penistaan agama lebih banyak berdasarkan pada prasangka daripada fakta.
“Motif tidak pernah diberikan. Ini karena adanya desakan massa yang kuat. Seharusnya negara memberikan warning, kalau suatu kejadian berpotensi menimbulkan penistaan agama. Tapi tidak dilakukan, malah membiarkan,” ujarnya.
Setara mencatat ada 109 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang tersebar di 20 provinsi hingga pertengahan tahun 2018.
Bonar berharap kasus yang terjadi pada Ahok tidak berulang di daerah-daerah lain.
“Kita berharap Pilpres dan Pileg tak seperti Pilgub. Ada kelompok-kelompok lain yg masih ingin memainkan isu seperti Pilgub Jakarta. Partai-partai politik sebaiknya meletakkan tolerance mainstreaming,” harapnya.
Bonar melihat pemerintah Jokowi enggan menyelesaikan kasus-kasus intoleransi, seperti kasus Ahmadiyah di Lombok, GKI Yasmin dan Philadelphia di Bogor.
“Belum ada solusi. Kita harus selesaikan isu-isu seperti ini. Menyelesaikan masalah intoleransi adalah menyelesaikan masalah bangsa,” pungkasnya.