TNI AL Periksa Pesawat Air Tanpa Awak, Belum Pastikan Asalnya
2021.01.04
Jakarta
Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Laut akan meneliti pesawat bawah laut nirawak yang juga disebut underwater glider yang ditemukan di perairan Selayar, Sulawesi Selatan, pada pekan lalu, dan belum bisa memastikan dari negara mana benda itu berasal, demikian dikatakan Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Yudo Margono, Senin (4/1).
Yudo mengatakan informasi tentang alat itu mungkin dapat diketahui dalam sebulan setelah pemeriksaan oleh Pusat Hidrografi dan Oseanografi (Pushidrosal) TNI Angkatan Laut dan Kementerian Riset dan Teknologi.
"Saya memberikan waktu satu bulan kepada Pushidrosal untuk menentukan atau membuka hasilnya, biar ada kepastian," kata Yudo.
"Alat itu kan ada GPS-nya. Nanti akan dicek dan mudah-mudahan bisa dilacak di mana titik pertama, terus ke mana saja."
Sejumlah pihak sebelumnya sempat menduga bahwa underwater glider atau seaglider tersebut milik Pemerintah Cina, seperti diutarakan peneliti Australian Strategic Policy Institute, Malcolm Davis, di situs berita ABC.
Otoritas Indonesia sebelumnya juga menemukan Unmanned Underwater Vehicles (UUV) Sea Wing milik Cina pada Maret 2019 di perairan Kepulauan Riau dan satu alat serupa di perairan Jawa Timur pada Januari 2020.
Terkait hal tersebut, Yudo enggan berspekulasi dengan mengatakan, "Tidak ditemukan ciri-ciri tulisan negara pembuat. Tidak ada tulisan apapun di sini (seaglider)."
Sampai saat ini, lanjut Yudo, belum satu negara pun yang mengklaim memiliki pesawat nirawak tersebut. Untuk itu, TNI AL selanjutnya akan melaporkan peristiwa ini ke Kementerian Luar Negeri.
"Nanti kami tunggu, apakah ada melalui Kementerian Luar Negeri yang mengeklaim ini," lanjut Yudo, seraya menambahkan, "Tapi tentunya kita patut waspada dengan alat-alat seperti ini. Berarti ada yang mengendalikan."
Bisa untuk keperluan militer
Glider berbahan alumunium sepanjang 225cm, dua sayap berukuran 50cm, propeller 18cm, dan antena sepanjang 93cm tersebut ditemukan seorang nelayan pada 20 Desember 2020 sekitar pukul 07.00 waktu setempat, namun baru dilaporkan ke otoritas keamanan sepekan setelahnya.
Ditambahkan Yudo, glider biasanya digunakan untuk keperluan survei di industri perikanan dan perminyakan karena mampu mengumpulkan data hidro oseanografi di sebuah perairan seperti temperatur, kedalaman, metan, hingga sumber daya di bawah laut.
Namun tak menutup kemungkinan pula bisa digunakan untuk pertahanan dan militer lantaran dengan mengetahui kedamalam suatu perairan, seaglider dapat membantu menyusun rute kapal selam agar tidak dapat terdeteksi sonar.
"Mereka (kapal selam) bisa melalui rute (hasil amatan glider) di lapisan yang paling pekat. Intinya, alat ini bisa digunakan untuk data militer dan industri," terang Yudo.
Hukum Indonesia dan internasional sendiri sampai kini belum memiliki regulasi terkait izin operasional kendaraan bawah air nirawak. Aturan yang ada baru mengatur perihal izin peralatan perang seperti kapal.
Maka, Yudo pun berharap pemerintah dapat menerbitkan beleid semacam peraturan presiden (Perpres) yang mengatur izin operasional benda asing di Indonesia.
"Lebih baik ada Perpres yang mengatakan bahwa sea glider harus diatur izinnya di Indonesia, karena alat itu tidak punya identitas. Identitas yang tidak jelas itu juga yang membuat seaglider ditemukan di perairan banyak negara," katanya.
Juru bicara Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak, dalam keterangan tertulisnya meminta masyarakat tidak berspekulasi dan menyerahkan pengusutan ke TNI Angkatan Laut.
"Menteri Pertahanan Prabowo Subianto berharap masyarakat terus mendukung TNI bekerja keras," kata Dahnil.
‘Tak anggap remeh’
Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat, Sukamta, dalam keterangan tertulisnya meminta pemerintah dan TNI AL serius mengusut tuntas temuan alat nirawak di perairan Sulawesi Selatan, dengan menyebutnya sebagai sinyal bahaya bagi kedaulatan negara.
"Dengan masuk sangat dalam ke wilayah Indonesia, itu menjadi sinyal bahwa selama ini wilayah laut kita sangat mudah diterobos pihak asing," ujar Sukamta.
Pengamat militer Susaningtyas Nefo Handayani meminta pemerintah tidak menganggap remeh temuan itu dengan segera membuat regulasi ketat terkait operasional alat nirawak di wilayah hukum Indonesia dan menyiapkan langkah antisipasi.
"Penemuan ini menunjukkan bahwa penggunaan UUV telah dilakukan banyak negara maju di laut. Maka kita harus waspada dan bersiap-siap," ujar Susaningtyas saat dihubungi.
"Pemerintah harus pula memasang underwater detection device di seluruh alur laut kepulauan Indonesia untuk memantau lalu lintas bawah laut."
Mengenai dugaan sejumlah pihak yang menyebut glider yang ditemukan diduga milik Pemerintah Cina, Susaningtyas tak mau berspekulasi lebih lanjut dengan mengatakan, "Intinya, temuan ini menunjukkan bahwa perairan Indonesia kini telah menjadi lahan unjuk kekuatan militer pihak-pihak yang punya kepentingan, salah satunya Cina."
Adapun pengamat militer dan intelijen Connie Rahakundi Bakrie, dikutip dari Metro TV, meminta semua pihak menahan diri dengan tak menuduh alat tersebut milik Cina.
"Hati-hati menuduh suatu negara. Bisa saja buatan Cina atau Inggris, tapi apakah penggunanya adalah negara tersebut?" ujar Connie.
Serupa dengan Susaningtyas, Connie mengatakan peristiwa ini semestinya juga menjadi pengingat bagi pemerintah bahwa penggunaan UUV telah jamak di masa sekarang.
Maka pemerintah dan TNI semestinya juga harus mengubah perspektif bahwa perang tidak lagi bentrok fisik, melainkan lewat alat-alat canggih.
"Ada flying radar atau satelit. Apakah kita bisa counter? Kalau kita menunggu 'barang' (seperti seaglider) datang, tertangkap, lalu diserahkan kepada TNI, itu artinya kita tidak siap," pungkas Connie.