Keluarga dan mantan pekerja migran yang disekap di Kamboja klaim ada penyiksaan
2022.08.01
Jakarta
Keluarga warga Indonesia yang diperdagangkan ke Kamboja untuk bekerja di perusahaan investasi yang diduga terlibat penipuan mengatakan bahwa mereka disiksa dan dipaksa bekerja belasan jam tanpa atau dengan upah yang sedikit.
Kementerian Luar Negeri Indonesia mengatakan polisi di Kamboja telah menyelamatkan 62 warga negara Indonesia delama akhir pekan lalu setelah muncul laporan bahwa mereka disekap setelah ditipu untuk bekerja di Sihanoukville.
Kakak dari salah satu yang berangkat ke Kamboja pada Juli mengatakan adiknya sempat disekap dua hari tanpa diberi makan karena dianggap melakukan kesalahan dalam pekerjaan.
“[Dia] tidak sanggup dengan beban kerja, maka sakit,” ujar pria asal Sumatra Utara yang hanya bersedia disebut sebagai YT demi alasan keamanan, dalam konferensi pers yang diadakan oleh Migrant Care.
“Maka dia tidak masuk dan esoknya ketiduran, mungkin karena kecapekan karena ia bisa kerja 16 jam sehari. Lalu, ia dihukum dan disekap beberapa hari,” ujarnya.
YT mengatakan bahwa adiknya baru diberi makan pada hari ketiga penyekapan, itu pun hanya sekali sehari.
YT juga mengaku dia kemudian ditelpon perusahaan yang memperkerjakan adiknya dan diminta untuk menasehatinya.
“Saat bertelepon, saya malah disuruh bilang ke adik, ‘kerja betul-betul’,” katanya.
Kekerasan fisik termasuk pemukulan dan penyetruman menimpa para pekerja jika perusahaan menilai mereka gagal mencapai target, kata salah seorang mantan pekerja di Kamboja asal Sumatra Utara yang meminta identitasnya disembunyikan atas alasan keamanan.
“Jika tidak mencapai target, dipukul dan disetrum. Paspor juga dibakar,” kata pekerja yang berhasil pulang ke Indonesia bersama dua orang lain pada Mei.
“Masih trauma pokoknya (kalau) membayangkan kerja di sana,” katanya dalam konferensi pers yang sama.
I, yang suaminya hingga kini masih di Kamboja, mengaku suaminya berangkat ke negara itu dari Jawa Tengah bulan lalu bersama sepupunya karena iming-iming gaji besar.
“Ternyata sampai di sana berbeda. Saya berharap ada tindakan pemerintah karena belum ada penjemputan untuk mereka sampai saat ini,” ujar I, yang juga mengatakan ada penyiksaan kepada suaminya.
Adik YT beserta suami I tidak termasuk ke dalam 62 orang warga negara Indonesia yang menurut Kementerian Luar Negeri di Jakarta telah diselamatkan polisi Kamboja pada akhir pekan kemarin.
Koordinator Bantuan Hukum Migrant Care Indonesia, Nur Harsono, memperkirakan jumlah warga Indonesia yang menjadi korban perdagangan manusia bermodus lowongan pekerjaan perusahaan di Kamboja bisa lebih dari 200 orang, tak hanya 62 orang sudah dievakuasi Kementerian Luar Negeri.
“Berpijak lebih dari 100 orang yang telah pulang tahun lalu serta yang belum berhasil diselamatkan sampai sekarang, estimasi kami bisa lebih dari 200 orang,” kata Harsono kepada BenarNews.
Harsono pun mendesak pemerintah lebih serius menangani masih buruh migran, mulai dari kampanye bahaya perdagangan manusia lewat beragam media sosial serta tatap muka hingga penegakan hukum yang tegas.
“Kalau tidak diusut tuntas, pelaku akan mencari mangsa baru dan akan ada korban baru lagi sehingga merepotkan pemerintah di masa mendatang,” kata Harsono.
Migrant Care menyatakan bahwa perusahaan bahkan meminta tebusan US$3.000 kepada keluarga untuk memulangkan mereka.
Direktur Eksekutif Migrant Care Indonesia, Wahyu Susilo, mendorong pemerintah membawa isu ini ke ranah regional Asia Tenggara, mengingat Kamboja menjabat Ketua ASEAN 2022.
“Ini harus jadi call bersama karena korban tidak hanya dari Indonesia, tapi negara ASEAN lain. Butuh keseriusan mendalam sehingga ASEAN harus menjadi salah satu saluran untuk menyelesaikan masalah ini secara politik,” kata Wahyu.
Kepala Pusat Studi Migrasi Migrant Care, Anis Hidayah, dalam keterangan pers menambahkan, perusahaan-perusahaan di Kamboja mencari pekerja Indonesia dengan mencantumkan lowongan sebagai administrator atau petugas call center bergaji US$1.000-1.100 per bulan lewat media sosial Facebook.
Selain itu, adapula pendekatan langsung kepada calon korban, terutama yang berdomisili di pelosok-pelosok daerah.
“Pendekatan mereka adalah online (Facebook) dan offline,” kata Anis.
Namun sesampai di Kamboja, mereka justru diinstruksikan bekerja di perusahaan penipuan daring, alih-alih seperti yang dijanjikan di iklan.
Gaji yang diberikan pun jauh dari janji di awal yakni US$500, bahkan kerap tidak digaji sama sekali, lanjut Anis.
Para pekerja pun bakal didenda yakni US$300 jika perusahaan gagal mencapai target, dan akan didenda US$11.000 jika mengundurkan diri.
Manakala dinilai bermasalah seperti membantu pegawai lain yang disika atau membocorkan kondisi perusahaan ke pihak luar, pegawai berpotensi dijual ke perusahaan lain senilai US$2.000.
“Ada kekerasan fisik yang menyebabkan lebam dan berdarah. Kondisinya sudah serupa praktik perbudakan,” kata Anis.
Mengenai pekerja migran yang masih disekap, Kementerian Luar Negeri mengatakan akan terus mengupayakan evakuasi bersama kepolisian Kamboja.
Adapun 62 pekerja yang telah berhasil diselamatkan, kementerian belum memastikan kepulangan mereka.
“Kapannya (pemulangan) belum ada informasi,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan dia berencana bertemu dengan pejabat Kamboja di sela-sela pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN pekan ini, termasuk dengan kepala kepolisian negara itu, untuk membicarakan masalah perdagangan manusia.
“Rencana pertemuan saya ini telah saya komunikasikan kepada Menlu (Menteri Luar Negeri) Kamboja untuk dapat difasilitasi. Dan Menlu Kamboja telah menyampaikan kesediaan untuk memfasilitasi pertemuan,” ujarnya dalam konferensi pers.
Retno mengatakan bahwa masalah itu harus diselesaikan dari akarnya.
Terkait perantara yang mengirim pekerja migran ke Kamboja, kepolisian Indonesia menyatakan bakal mengusutnya. “Pasti didalami,” ujar Juru Bicara Kepolisian Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan tanpa merinci perkembangan penyelidikan yang telah dilakukan.
Pejabat protokol kedutaan besar Indonesia di Kamboja, Teguh Adhi Primasanto, pada Kamis pekan lalu mengatakan bahwa perusahaan penipuan online yang mempekerjaan warga itu adalah milik pengusaha China.
Kasus ini bermula dari laporan seorang pengguna media sosial yang meminta tolong kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo terkait apa yang dia sebut penyekapan puluhan orang Indonesia di Kamboja terkait penempatan kerja.
Laporan tersebut kemudian ditanggapi Dinas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Tengah, sampai akhirnya berkembang hingga sekarang.