Tito Karnavian Digadang sebagai Menteri, Siapa akan Jabat Kapolri?
2019.10.22
Jakarta
Diberhentikannya Tito Karnavian sebagai Kapolri karena disebut akan mengisi pos menteri dalam kabinet Presiden Joko Widodo periode kedua, menimbukan pertanyaan siapa yang akan mengisi jabatan puncak kepolisian yang menurut analis adalah juga alat politik pemerintahan Jokowi.
Pengamat politik Asia Tenggara dari International Institute for Strategic Studies, Aaron Connelly, menilai bahwa kepolisian masih menjadi kunci pemerintahan Jokowi dalam mengontrol politik.
Maka, kata Connelly, menjadi pekerjaan Jokowi untuk mencari sosok yang setara dengan Tito serta dengan tingkat kepercayaan serupa.
"Siapa yang menggantikan Tito adalah dia yang punya level kepercayaan yang sama dan kredibilitas dengan pasukan," ujar Connelly.
Lokataru Foundation, lembaga yang berfokus pada isu hak asasi manusia (HAM) dalam pernyataan pada Juli lalu sempat menyatakan saat masa kerjanya Tito masih belum mampu menjauhkan kepolisian dari posisi sebagai alat politik.
Indikasi itu terlihat dari banyaknya kasus hoaks dan makar yang dituduhkan kepolisian kepada kelompok oposisi, dimana menurut Lokataru, setidaknya terdapat 25 pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno --pesaing Jokowi dalam pemilihan-- dijadikan tersangka oleh kepolisian.
"Mereka melakukan penindakan hukum, tapi kepada golongan yang sama tidak ada penindakan," kata peneliti Lokataru, Anis Fahtarul Fuadah dikutip dari laman Katadata.
Tito diperkirakan akan diposisikan sebagai antara menteri koordinator bidang keamanan dan menteri dalam negeri.
Terkait kemungkinan ini, pungkas Connelly, "Saya pesimis kemampuannya untuk secara efektif menengahi polisi dan militer jika ditunjuk sebagai menteri koordinator, seperti yang dirumorkan."
"Ia (Tito) akan selalu sebagai polisi, dan militer tidak akan mau diperintah oleh kepolisian, sebagaimana dulu dirujuk bahwa kepolisian sebagai 'adik kecil' militer," lanjut Connelly.
Sementara pengamat intelijen dan keamanan Universitas Indonesia, Stanislaus Riyanta, menilai Tito cocok menduduki posisi menteri dalam negeri.
Stanislaus merujuk pada merebaknya radikalisme dan teroris di kalangan aparatur sipil negara (ASN). Berdasar survei Alvara Strategi pada Oktober 2017, setidaknya terdapat 19,4 persen ASN mendukung khilafah dan mereka tidak menerima Pancasila.
"Kepiawaian Tito di bidang radikalisme dan terorisme menjadi catatan khusus di tengah isu radikalisme yang menguat di Indonesia," tutur Stanislaus.
‘Kinerja baik’
Surat pemberhentian Tito ditandatangani Jokowi, Senin, hari yang sama saat dirinya dipanggil ke Istana Kepresidenan, Jakarta bersama sejumlah tokoh lain yang digadang-gadang menjadi menteri di kabinet pemerintahan Jokowi periode kedua.
Dengan pemberhentian Tito, Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Ari Dono Sukmanto kini resmi ditunjuk sebagai pelaksana tugas (Plt) kapolri.
"Presiden sudah menyampaikan bahwa yang akan menjadi pelaksana tugas adalah wakapolri sampai ditentukan pengganti," jelas Puan.
Jika akhirnya menduduki posisi menteri, Tito otomatis akan pensiun dini dari kepolisian padahal dia menyisakan tiga tahun masa tugas di kepolisian.
Indonesia Police Watch (IPW) memprediksi Ari Dono akan tetap menjabat Kapolri hingga pensiun pada Desember mendatang. Adapun Wakil Kapolri yang ditinggalkannya akan diisi Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Idham Aziz.
"Sementara Kabareskrim yang ditinggilkan Idham akan diisi Inspektur Jenderal Gatot Eddy yang kini Kepala Polda Metro Jaya," ujar Ketua IPW, Neta S. Pane.
Gatot Eddy pula, tambah Neta, yang kemungkinan besar bakal disiapkan sebagai Kapolri baru usai pensiunnya Ari Dono nanti.
"Rekam jejak Gatot cukup baik, saat berhasil mengamankan Jakarta sepanjang pemilihan legislatif dan presiden. Itu patut diapresiasi," kata Neta.
Sejak dilantik sebagai Kapolri pada Juli 2016, IPW menilai Tito sudah bekerja cukup baik terutama dalam menangani masalah terorisme.
"Pengalamannya kan memang di sana," lanjut Neta.
Tito pernah terlibat dalam operasi penangkapan otak Bom Bali, Dr. Azahari pada 2005 yang berbuah kenaikan pangkat luar biasa.
Ia juga pernah menjabat Kepala Detasemen Khusus Antiteror 88 Mabes Polri pada 2009-2010 dan Kepala Badan Nasional Penanggulan Terorisme (BNPT).
Mengenai penanganan terorisme selepas pemberhentian Tito, IPW menilai tidak akan berubah banyak karena Detasemen Khusus Antiteror 88 sudah memiliki sistem kerja yang baik.
Sesuai aturan, calon Kapolri akan digodok internal kepolisian lewat Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi Polri dan diserahkan kepada presiden.
Selanjutnya presiden akan menyerahkan nama tersebut kepada DPR untuk menjalani uji kepatutan dan kelayakan.