Enam Terdakwa Kasus Kerusuhan Mako Brimob Dijatuhi Hukuman Mati
2021.04.22
Jakarta
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur menjatuhkan hukuman mati kepada enam terpidana terorisme yang terlibat dalam kerusuhan di Markas Komando Brimob Kelapa Dua Depok pada Mei 2018 lalu, kata pejabat pengadilan, Kamis (22/4).
Vonis terhadap Wawan Kurniawan (45), Syawaludin Pakpahan (46), Anang Rahman (55), Handoko (36), Suyanto (44), dan Suparman (38) dibacakan majelis hakim pada Rabu, kata pejabat Humas Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Alex Adam.
“Semua terdakwa menyatakan menerima dan tidak menyatakan banding,” kata Alex kepada wartawan.
Mereka dinyatakan terbukti bersalah terlibat penyerangan dan menjadi dalang kerusuhan itu, yang menyebabkan tewasnya lima polisi dan seorang tahanan.
Lima terdakwa dinyatakan terbukti melanggar Pasal 15 juncto Pasal 6 Undang-undang antiterorisme. Sementara terdakwa Wawan, dijerat Pasal 14 juncto pasal 6 tentang Undang-Undang Antiterorisme.
Dalam putusan terhadap keenam terdakwa, hakim menyatakan perbuatan mereka “sangat sadis dan tidak berperikemanusiaan,” kata Alex.
Laporan identifikasi terhadap para korban pasca serangan tersebut menyebutkan bahwa jasad kelima polisi yang tewas disebut dalam keadaan mengenaskan, menandakan mereka mendapat perlakuan yang sangat kejam sebelum meninggal.
Lima orang anggota Detasemen khusus 88 Polri yang tewas itu adalah Bripda Wahyu Catur Pamungkas, Bripda Syukron Fadhli Idensos, Ipda Rospuji, Bripka Denny, dan Briptu Fandi. Selain itu seorang napi teroris bernama Benny Samsutrisno juga tewas.
“Tidak ada hal yang meringankan terdakwa yang menjadi pertimbangan hakim,” tegas Alex.
Vonis yang dibacakan majelis hakim ini sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum pada sidang sebelumnya yang digelar secara virtual pada 17 Maret.
Kerusuhan Mako Brimob terjadi pada 8 Mei 2018, sekitar pukul 21.00 WIB di Blok C.
Aksi tersebut telah direncanakan sebelumnya sejak Januari tahun itu, dimana para tahanan membuat kunci palsu dan bahkan melakukan latihan penyerangan kepada petugas, demikian menurut pejabat pengadilan, seperti dikutip Kyodo News.
Dalam kerusuhan yang melibatkan lebih dari 150 narapidana dan tahanan terorisme itu, para kriminal tersebut berhasil menyandera dan merebut senjata api milik petugas serta menguasai semua ruang tahanan.
Polisi baru bisa mengendalikan keadaan setelah 40 jam melakukan pengepungan.
Sepanjang “menguasai” rumah tahanan Mako Brimob, para tahanan dan narapidana mengajukan sejumlah permintaan kepada polisi. Salah satunya adalah berkomunikasi dengan pemimpin JAD Aman Abdurrahman yang juga ditahan di rumah tahanan itu.
Dampak dari peristiwa itu, 155 napi terorisme yang tadinya ditahan di Rutan Mako Brimob kemudian dipindahkan ke tiga rutan di Nusakambangan, yang memiliki pengamanan lebih ketat.
Wawan yang disebut sebagai otak dari kerusuhan tersebut, merupakan pimpinan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Pekanbaru yang menjadi narapidana terorisme karena kasus penyerangan kantor polisi di kota tersebut, pembuatan bom, kepemilikan senjata api, dan pelatihan militer di Air Terjun Gema Pekanbaru. Wawan sebelumnya divonis 11 tahun untuk rangkaian tuduhan tersebut.
Sedangkan Syawaludin merupakan terpidana 19 tahun penjara untuk pembunuhan seorang anggota polisi di Mapolda Sumatra Utara pada 25 Juni 2017.
Sementara Suyanto adalah narapidana yang sebelumnya dihukum sembilan tahun penjara; Anang dan Suparman masing-masing lima tahun penjara; dan Handoko dihukum empat tahun penjara.
Terkait dengan kerusuhan itu, Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 2019 juga telah menjatuhkan vonis 2 tahun 8 bulan untuk Dita Siska Millenia, perempuan simpatisan ISIS yang mendatangi Mako Brimob untuk membantu para perusuh, tak lama usai kabar keributan di rumah tahanan menyebar lewat media massa dan media sosial.
Mabes Polri kala itu menyatakan menangkap delapan orang —termasuk Dita— yang hendak membantu tahanan dan narapidana terorisme di Mako Brimob.
Tambah daftar
Vonis terhadap perusuh tersebut menambah daftar teroris yang divonis hukuman mati.
Pada 22 Juni 2018, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan hukuman mati terhadap Aman Abdurrahman, yang terbukti bersalah dalam kasus bom Sarinah, bom gereja Samarinda, hingga penusukan polisi di Bima, Nusa Tenggara Barat, serta sejumlah kasus teror lainnya.
Hingga kini Aman masih mendekam di penjara khusus terorisme di Nusakambangan, Jawa Barat dan belum dieksekusi.
Jauh sebelum Aman, tiga pelaku bom Bali 2002 juga dijatuhi hukuman mati.
Amrozi bin Nurhasyim, Imam Samudra dan Ali Gufron – ketiganya anggota kelompok militan regional Jemaah Islamiyah yang terafiliasi dengan al-Qaeda - divonis hukuman mati pada Agustus 2003, karena bersalah terlibat dalam aksi penyerangan yang menewaskan 202 orang itu.
Ketiganya dieksekusi mati pada November 2008 di Nusa Kambangan.
Penolakan hukuman mati
Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Jakarta, Sidney Jones menilai vonis mati terhadap enam terpidana teoris yang terlibat penyerangan Mako Brimob tidak akan memicu kemarahan kelompok teroris lainnya untuk melakukan serangan.
“Saya kira kemungkinannya tidak begitu besar karena kalau kita lihat, tidak ada reaksi setelah vonis hukuman mati terhadap Aman Abdurrahman, dan saya kira pengawasan napi lain kelompok yang mungkin bereaksi sudah diawasi oleh polisi,” kata Sidney saat dihubungi, BenarNews.
Sidney menolak hukuman mati yang dijatuhkan kepada para terpidana terorisme itu.
“Saya tidak setuju hukuman mati diterapkan kepada siapa saja. Itu hukuman yang tidak manusiawi yang seharusnya dilakukan hanya oleh Tuhan. Jauh lebih baik mereka mendapatkan hukuman seumur hidup,” ujarnya.
Kemarin, Amnesty International melansir laporannya yang menyebut bahwa tren vonis hukuman mati di Indonesia meningkat 46 persen sepanjang 2020 lalu.
Terdapat 117 terdakwa kasus narkoba dan pembunuhan yang dijatuhkan hukuman mati pada tahun lalu. Sementara pada tahun 2019, Amnesty mencatat ada 80 vonis hukuman mati.
“Dalam situasi di mana negara seharusnya membantu menyelamatkan nyawa sebanyak mungkin dari kematian akibat virus Corona, negara malah menambah vonis mati bagi semakin banyak orang. Ini menurunkan kredibilitas Indonesia di mata dunia,” ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.