Pekerja, pengusaha tolak iuran wajib tabungan perumahan
2024.05.29
Jakarta
Serikat pekerja dan asosiasi pengusaha menentang peraturan presiden baru yang mewajibkan pemotongan gaji pegawai negeri, swasta, dan pekerja lepas sebesar 3% untuk mendanai program perumahan nasional dengan alasan peraturan tersebut akan menambah beban keuangan yang tidak semestinya.
Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang ditandatangani Presiden Joko “Jokowi” Widodo” pada 20 Mei lalu, memotong 2,5% dari gaji karyawan dan kontribusi sebesar 0,5% dari pemberi kerja, akan membebani pekerja, kata serikat pekerja, Rabu (29/5).
Sekretaris Jenderal Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPEK Indonesia) Sabda Pranawa Djati mengatakan Tapera akan menjadi beban baru bagi pekerja di tengah melonjaknya harga kebutuhan pokok dan kenaikan upah minimum yang sangat kecil.
“Kami menyayangkan sikap pemerintah yang tidak peka terhadap penderitaan rakyatnya,” kata Sabda kepada BenarNews, Rabu, terkait peraturan yang akan berlaku mulai 2027 itu.
“Pemerintah tidak boleh menutup mata terhadap kondisi pekerja dan masyarakat yang banyak di antaranya masih masuk kategori miskin. Mereka akan semakin miskin dan terlilit utang jangka panjang,” ujarnya.
Oleh karena itu, ASPEK Indonesia mendesak pemerintah untuk segera membatalkan peraturan tersebut agar tidak memperburuk kepercayaan terhadap pemerintah.
“Menabung itu hak, bukan kewajiban, apalagi terpaksa,” kata Sabda.
Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak program tersebut.
Menurut Ketua Umum Partai Buruh Said Iqbal, belum waktunya pemerintah melaksanakan program tersebut karena tidak adanya jaminan bagi pegawai untuk mendapatkan rumah yang diinginkan.
“Dari akal sehat dan perhitungan matematis, iuran Tapera sebesar 3% tidak akan cukup bagi pekerja untuk membeli rumah di usia pensiun atau saat terkena PHK,” tegasnya.
Menteri PUPR: Tapera adalah tabungan
Merespons para pengecam, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menekankan bahwa Tapera sejatinya adalah tabungan.
"Tapera itu tabungan. Bukan (gaji) dipotong, terus hilang. Manfaatnya, bisa bikin rumah!” tegas Basuki di Jakarta, Selasa.
Peserta program Tapera adalah seluruh warga negara Indonesia dan juga warga negara asing yang memegang visa kerja yang berlaku minimal enam bulan, menurut Kementerian PUPR.
Mereka yang sudah bekerja minimal 10 tahun atau sudah menikah pada saat pendaftaran wajib menjadi peserta Tapera, sedangkan pekerja mandiri yang berpenghasilan di bawah UMR diperbolehkan menjadi anggota program tersebut.
Tapera bisa diambil ketika memasuki usia 58 tahun atau ketika pensiun.
Komisaris Badan Pengelola Tapera Heru Pudyo Nugroho mengatakan iuran yang dilakukan secara periodik dalam jangka waktu tertentu itu dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan setelah kepesertaan berakhir.
"Dana yang dikembalikan kepada peserta Tapera ketika masa kepesertaannya berakhir, berupa sejumlah simpanan pokok berikut dengan hasil pemupukannya,” kata Heru seperti dikutip Kumparan.
Terkait kritikan terhadap Tapera, Jokowi mengatakan, setiap kebijakan pasti ada pro dan kontra. Ia mencontohkan, BPJS Kesehatan awalnya juga ditolak masyarakat. Namun seiring berjalannya program, masyarakat merasakan manfaatnya, ujarnya.
Apindo mengecam
Senada dengan serikat buruh, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Shinta Kamdani, tidak setuju dengan program Tapera, apalagi memaksa pengusaha untuk mendaftar.
“Kami sejak awal sangat keberatan dengan berlakunya peraturan ini,” kata Shinta dalam siaran pers yang diterima BenarNews.
Shinta mengatakan Tapera menjadi beban baru tidak hanya bagi pekerja tetapi juga bagi pengusaha yang harus menanggung berbagai pungutan sebesar 18,24% hingga 19,74% dari pendapatan pekerja, seperti jaminan kesehatan sosial atau BPJS, dan pesangon.
Selain itu, terjadi depresiasi nilai tukar rupiah dan melemahnya permintaan pasar, ujarnya. “Ini semakin sulit bagi kami.”
Kebijakan tumpang tindih
Pakar ketenagakerjaan Timboel Siregar mengungkapkan kekhawatirannya bahwa aturan tersebut akan tumpang tindih dengan aturan yang sudah ada, seperti fasilitas perumahan bagi pekerja formal swasta dan BUMN di BPJS Ketenagakerjaan dengan manfaat yang sama seperti Tapera.
“Maksimalkan saja apa yang sudah ada untuk perumahan, sehingga pekerja dan pengusaha tidak perlu terbebani iuran lainnya,” ujar Timboel.
Jika pun Tapera tetap dilaksanakan, Timboel mengusulkan agar sifatnya tidak wajib karena ada beberapa perusahaan juga telah memiliki skema mencicil rumah sebagai bentuk apresiasi atas pengabdian pekerja.
“Ini akan mengganggu kebutuhan konsumsi buruh dan cash flow perusahaan. Pihak bank juga pasti tidak suka karena mereka juga menjadi pihak ketiga yang menyediakan kredit perumahan,” kata dia.
Andy Ahmad Zaelany, peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan tidak mungkin memiliki rumah dengan skema Tapera karena inflasi perumahan.
“Inflasi perumahan dan tanah di Indonesia sangat tinggi, apalagi tingginya permintaan menyebabkan harga tanah dan rumah terus melonjak, hal ini sudah tidak mungkin lagi dicapai oleh masyarakat kelas menengah ke bawah,” ujarnya.
Dia menambahkan bahwa kondisi perekonomian dunia sedang tidak baik di mana harga kebutuhan pokok mahal dan tidak diimbangi dengan kenaikan gaji yang tidak sesuai dengan inflasi, sehingga konsumsi masyarakat menjadi rendah.
“Masalah regulasi seperti ini juga akan membuat investor maju mundur. Investor selalu memerlukan kepastian hukum dengan regulasi yang jelas dan menguntungkan investor.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan kementeriannya akan mengkaji ulang program Tapera. Nanti akan kami periksa, kata Airlangga seperti dikutip kantor berita Antara.
“Ini nantinya menjadi acuan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk ditinjau,” ujarnya.