Tak Bisa Diajak Dialog Lagi, Separatis Dianggap Teroris
2016.02.05
Jakarta
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Luhut Binsar Pandjaitan menyebutkan bahwa Undang-Undang (UU) Antiterorisme yang segera direvisi akan dikenakan terhadap pelaku separatisme apabila mereka tak bisa diajak berdialog lagi.
"Tentu ada fase-fase prosesnya. Mereka, (yang) kami kenakan pasal UU Antiteorisme adalah orang-orang yang sudah tidak bisa kami ajak dialog,” katanya kepada BeritaBenar di kantornya di Jakarta, Jumat, 5 Februari 2016.
“Pastinya, dialog adalah pendekatan pertama kami kepada mereka. Jadi tidak sekonyong-konyong kami tindak dengan UU Antiterorisme," tambahnya.
Ketika ditanya apakah pemerintah berencana untuk melakukan dialog dengan kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM), Luhut menjawab, “Pokoknya segala masalah separatisme akan kami dahulukan dengan dialog.”
Dia menambahkan bahwa pihaknya baru saja menyelesaikan perbaikan UU tersebut dan sudah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo. Selanjutnya akan diserahkan kepada DPR RI untuk dibahas bersama pemerintah.
Tak hanya ISIS
Sebelumnya pada hari Senin Luhut menyatakan bahwa pelaku teror bukan saja yang mengatasnamakan agama, tetapi bisa juga dikategorikan kepada orang atau kelompok yang mengancam keamanan dan stabilitas nasional. Mereka bisa saja yang berasal dari kelompok separatis yang berada di seluruh wilayah Indonesia.
"Jangan Anda berpikir terorisme itu Islamic State (ISIS) saja, kalau di tanah Aceh, Papua atau Batak ada gerakan yang membahayakan. Kalau mereka menembaki orang-orang yang tidak berdosa dan menimbulkan ketakutan?" ujar Luhut kepada wartawan.
Dia menambahkan bahwa dalam draf revisi UU Antiterorisme yang disiapkan pemerintah juga termaktub penjelasan indikator terorisme. Ini bisa digunakan sebagai pedoman bagi polisi yang diberikan kewenangan menangkap terduga teroris.
"Semua ada di (draf revisi) UU (Antiterorisme), seperti definisi teroris, definisi kekerasan. Jadi, bisa kita kelompokkan kalau mereka (terduga teroris) masuk dalam kriteria itu," jelasnya.
Begitupun, Luhut mewanti-wanti agar polisi sebagai aparat yang berwenang untuk memberantas terorisme tidak akan menyalahgunakan kewenangan yang diberikan.
Mahfudz Siddiq, Ketua Komisi I DPR RI mendukung dimasukkannya separatisme pada revisi UU Antiterorisme.
"Separatisme itu menggunakan segala cara untuk mengganggu keutuhan NKRI, cara mereka sistematis," kata Mahfudz.
Ditambahkan bahwa selama ini polisi hanya bisa mengenakan pasal kejahatan umum kepada pelaku tindak kekerasan separatis. Kekerasan dan serangan bersenjata yang dilakukan terhadap aparat tidak diatur dalam UU yang mengatur pemberantasan tindak pidana terorisme yang ada selama ini.
Jangan sampai disalahgunakan
Tapi Haris Azhar, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) mengharapkan agar revisi UU Antiterorisme jangan sampai disalahgunakan untuk menumpas gerakan demokrasi.
"UU ini jangan sampai digunakan untuk memberangus kelompok atau orang-orang yang tidak sepaham dengan pemerintah. Terutama di daerah-daerah yang rawan separatisme seperti Papua dan mungkin juga Ambon," ujar Haris.
Sementara itu pengamat hukum dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan, masuknya pasal yang mengatur separatisme dalam revisi UU Antiterorisme akan memberi ruang lebih besar kepada polisi untuk bertindak terhadap kelompok separatisme.
"Dimasukkannya separatisme di UU Antiterorisme itu agar aparat mendapat legitimasi dari Negara untuk melakukan tindakan tegas di Papua, misalnya.Ini tentunya akan melindungi masyarakat dari tindak kekerasan dari pihak tertentu yang menimbulkan teror," katanya.
Sedangkan Poengky Indarti, peneliti senior Imparsial mengharapkan agar definisi teroris tertera jelas dalam UU yang akan direvisi tersebut.
"Separatis itu belum bisa digolongkan sebagai teroris. Kelompok-kelompok ini biasanya kecil, jumlahnya tidak banyak. Jadi kekuatan mereka jauh lah dibanding kekuatan dan jumlah aparat keamanan," kata Poengky.
Dia berharap agar pemerintah tak pernah lelah mencarikan solusi damai terhadap masalah separatisme dengan pendekatan melalui dialog.