Taiwan Bantah Mahasiswa Diperlakukan Buruk, Berharap Program Magang Berlanjut
2019.01.04
Jakarta
Taiwan berharap agar program kerja magang mahasiswa Indonesia dapat berlanjut, menyusul laporan bahwa 300-an mahasiswa Indonesia dipaksa bekerja kasar di sejumlah pabrik di negara itu.
Kementerian Luar Negeri Indonesia telah memutuskan untuk menghentikan sementara proses perekrutan dan pengiriman mahasiswa magang Indonesia ke Taiwan hingga masalah itu benar-benar tuntas.
“Kami berharap setelah semuanya jelas, program ini bisa dilanjutkan. Kami juga mengajak Kementerian Luar Negeri Indonesia untuk ikut menginvestigasi dan mengawasi jalannya program ini,” ujar kepala Kantor Dagang dan Ekonomi Taipei (TETO) di Jakarta, John C. Chen, dalam jumpa pers, Jumat, 4 Januari 2019.
TETO, yang merupakan de facto kedutaan Taiwan di Indonesia, membantah isu laporan bahwa mahasiswa magang Indonesia diharuskan bekerja sebagai buruh sepuluh jam sehari di sejumlah pabrik di Taiwan.
“Adanya laporan kerja paksa mahasiswa magang Indonesia di Taiwan adalah tidak benar. Itu adalah hoaks,” ujar Chen yang juga membantah kabar menyebutkan ke-300 mahasiswa ini terpaksa makan makanan mengandung babi, meskipun kebanyakan mereka Muslim.
Chen menegaskan bahwa wartawan media Taiwan yang pertama kali menulis berita itu belum mendatangi universitas tersebut dan mewawancarai para mahasiswa dimaksud.
Program kuliah magang yang dikenal sebagai New Southbound Policy (NSP), kata Chen, awalnya dibentuk untuk membantu perindustrian Indonesia yang mengalami kekurangan tenaga teknisi.
“Sehingga melalui program ini, sepulangnya para siswa ke Indonesia dapat mempraktikkan yang dia pelajari, terutama di bidang teknologi,” tukas Chen.
Dia juga berharap semua pihak terlibat memperbaiki sistem yang masih kurang dalam program itu, termasuk adanya kabar para siswa magang masuk melalui jalur ilegal.
“Jika ada siswa yang berangkat ke Taiwan melalui jalur ilegal, kita akan mencari cara untuk mengatasi situasi ini. Kita akan mengecek ulang. Jika memang benar ada kejadian seperti itu, bisa dilaporkan ke pemerintah Taiwan,” tegasnya.
Program ini tercatat mampu merekrut 872 pelajar di tahun perdana dan meningkat menjadi 1.231 siswa di tahun kedua.
Kerja paruh waktu
Menurut Chen, program NSP diawasi sangat ketat oleh pemerintah kedua negara, melalui kantor dagang masing-masing.
Setiap siswa yang masuk dalam program yang dimulai tahun 2017 diperbolehkan kerja paruh waktu maksimal 20 jam seminggu pada tahun pertama.
Namun tahun kedua dan seterusnya, mereka diwajibkan magang 20 jam seminggu selama empat hari di luar kerja paruh waktu.
“Bila siswa tersebut tidak cocok dengan kerja paruh waktu 20 jam itu boleh dan berhak tidak menerima tawaran tersebut. Tentu konsekuensinya tidak ada pemasukan tambahan,” tambah Chen.
“Namun jika ada yang mengatakan 10 jam kerja sehari, itu maksudnya termasuk dua jam istirahat. Jadi sebenarnya maksimum delapan jam kerja, dua jam istirahat, selama empat hari. Jika ada yang mempraktikkan lebih dari delapan jam kerja sehari, itu melanggar peraturan.”
Dia menambahkan, setiap siswa yang bekerja paruh waktu di Taiwan berhak mendapatkan gaji berdasarkan upah minimum regional sebesar USD750 per bulan.
Membantu siswa
Bagi beberapa alumni sejumlah perguruan tinggi negeri di Taiwan, program ini dinilai dapat membantu para mahasiswa Indonesia dalam memenuhi kebutuhan hidup di sana.
Presiden Alumni Mahasiswa National Taiwan University asal Indonesia, Josua Andreas, mengatakan kerja magang sangatlah bermanfaat selama dirinya kuliah di Taiwan.
“Program internship sekarang jauh lebih baik dibandingkan zaman kami dulu. Kalau dulu kami tidak ada program yang di-setting pemerintah dan universitas di Taiwan,” katanya dalam jumpa pers itu.
“Dahulu sebagian besar kami kuliah sambil bekerja. Tapi tentu secara pribadi, tidak dikoordinir. Jadi beban lebih berat dibandingkan dengan adanya program ini.”
Rudy Kianto, Ketua Alumni Mahasiswa Indonesia di Taiwan, menyatakan program ini juga dinilai bermanfaat karena banyak mahasiswa Indonesia yang kuliah di Taiwan berasal dari keluarga kurang mampu.
“Program ini dipantau terus oleh pemerintah Taiwan dan bersifat sukarela. Kalau ada komplain, bisa langsung menulis surat kepada TETO atau Kementerian Pendidikan agar bisa memperbaiki segala kekurangan,” ujarnya.
Diminta kritis
Pengamat Pendidikan, Darmaningtyas, meminta para mahasiswa bersikap lebih kritis terhadap isu dugaan kerja paksa.
“Ini kan mahasiswa, harusnya punya sikap melawan terhadap kebijakan yang tidak benar. Entah itu keluar dari kampus dan pulang ke kampung halaman atau mengajukan protes ke KBRI. Biar orang KBRI menindaklanjutinya menegur ke Universitas Hsing Wu,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Darmaningtias juga menyarankan agar para mahasiswa memanfaatkan kemajuan era digital dengan menggaungkan isu ini melalui media sosial.
“Masak tidak ada perlawanan sama sekali? Jangan-jangan rekuritmen mahasiswanya juga asal-asalan. Mereka diiming-imingi dapat memperoleh kerja sekaligus kuliah,” tukasnya.
“Zaman sekarang mudah sekali menyampaikan aspirasi atau minta tolong kepada pejabat berwenang dimana pun berada dengan bantuan media sosial. Tapi ini tidak ada kabarnya.”