8 Tahun di Pengungsian, Warga Syiah Sampang Berharap Pulang
2020.05.19
Sidoarjo, Jawa Timur
Beberapa anak tampak asyik bermain pada sore itu di sekitar sebuah kompleks rumah susun di Sidoarjo, Jawa Timur, yang selama delapan tahun terakhir telah menjadi tempat tinggal warga Syiah asal Madura, korban kekerasan berlatar agama. Para orang dewasa bercengkrama dengan tetangga, sebagian lagi lesehan, dan ada yang tidur, saat menunggu waktu berbuka puasa.
Mereka yang tinggal di blok A dan B di rumah susun Jemundo adalah warga minoritas Syiah yang terusir dari kampung halamannya di Kabupaten Sampang, Madura, sejak 2012, setelah komunitas mereka diserang. Tragedi itu menewaskan satu orang.
Setelah sekian lama di pengasingan, sebanyak hampir 350 warga Syiah itu kini memiliki sedikit harapan untuk bisa kembali ke tanah dan rumah mereka tahun ini.
“Kami berharap jangan sampai lompat ke tahun depan, harus ada kejelasan dari Pemkab. Tidak lagi mengandalkan Pemprov,” kata pemimpin komunitas Syiah asal Sampang, Tajul Muluk, kepada BenarNews.
Tajul mengatakan komunitas terus berusaha menjalin silahturahmi dengan Bupati Sampang, Slamet Junaidi, yang sudah menunjukkan keinginan untuk menerima kembali warga Syiah di Sampang.
Pengungsi Syiah dari Sampang tinggal di rumah susun berukuran sekitar 30 meter persegi, dengan sekat-sekat yang mereka buat sendiri. Rata-rata satu unit diisi enam sampai delapan orang, namun ada juga keluarga yang anggotanya berjumlah 11 orang.
Sebanyak lima keluarga pengungsi belum mendapatkan fasilitas hunian.
Keadaan rumah susun itu tampak lebih baik setelah diadakan perawatan oleh pemerintah daerah awal tahun ini. Sebelumnya, para penghuninya mengatakan kondisinya kumuh dan tidak sehat.
Pada bulan Maret, perwakilan warga Syiah mendatangi Kantor Pemerintah Jawa Timur untuk bertemu Gubernur Khofifah Indar Parawansa untuk berbicara soal rencana kepulangan mereka, namun dia tidak ada di tempat dan sebagai gantinya, mengutus Kepala Bakesbangpol Jonathan Judyanto ke rumah susun Jemundo.
“Sampai sekarang tidak ada respons dari Gubernur. Pernah mengutus Bakesbangpol untuk menanyakan apa keperluan kami, dan dijanjikan disampaikan kepada Gubernur. Tapi sampai saat ini hilang tidak ada kabarnya,” ujar Tajul.
Tajul mengatakan selain ingin menyampaikan harapan untuk kembali ke kampung halaman mereka di Madura, mereka juga ingin Peraturan Gubernur Jawa Timur nomor 55/2012 terkait "Ajaran Aliran Sesat", dicabut. Peraturan itu melanggar kebebasan beragama dan memberi peluang kepada masyarakat untuk main hakim sendiri, kata Tajul.
Harapan dari Bupati
Bupati Sampang Slamet Junaidi telah bertemu langsung dengan Jamaah Syiah di rusun Jemundo, pada awal Mei 2020.
Dalam pertemuan itu, Slamet menegaskan tidak akan membedakan Jamaah Syiah dengan warga lainnya di Sampang dan ia berharap ada solusi terbaik untuk mereka, termasuk kemungkinan pulang dan tinggal di kampung halaman.
Komunikasi dengan Forum Pimpinan Daerah (Forpimda), tokoh masyarakat, dan agama di Sampang juga terus dilakukan.
“Kami tetap melakukan komunikasi terkait dengan jamaah Syiah. Bagaimanapun, kami akan tetap memantau perkembangan di rusun Jemundo,” ujar Slamet.
Anggota Komisi E DPRD Jatim, Hari Putri Lestari, mengatakan Gubernur harus segera turun tangan dalam mengatasi persoalan jamaah Syiah ini.
“Harusnya Gubernur tanggap,” ujarnya kepada BenarNews.
Kepala Bakesbangpol Jatim, Jonathan Judyanto, tidak memberikan tanggapan saat diminta.
Ketidakadilan
Amnesty Internasional (AI) melaporkan bahwa sekitar 500 massa anti-Syiah melakukan pembakaran rumah, sekolah, dan tempat peribadatan Syiah di Sampang yang menyebabkan sekitar 300 orang terusir dari desa mereka pada Desember 2011.
Kemudian pada 26 Agustus 2012 puluhan rumah warga Syiah di sana kembali dibakar dan satu orang dilaporkan tewas.
Sementara para penyerang tidak pernah diadili, Pengadilan Negeri Sampang justru menjatuhkan hukuman dua tahun penjara bagi Tajul, yang didakwa menyebarkan ajaran sesat yang menyebabkan “keresahan masyarakat.”
Hukumannya ditingkatkan hingga empat tahun saat dia mengajukan banding.
Pada awal kedatangan mereka ke Sidoarjo, warga Syiah masih sulit diterima oleh penduduk yang mayoritas bermazhab Ahlussunnah, namun kini mereka mengatakan bisa hidup berdampingan dengan masyarakat sekitar.
“Selama ini tidak ada tindakan diskriminasi. Hanya pada awalnya saja. Sholat di masjid aman-aman saja,” ungkap Tajul.
Silahturahmi dengan warga Dusun Nangkernang, Desa Karanggayam, Kecamatan Omben, juga terjalin baik sampai saat ini.
Setiap Idulfitri, mereka juga saling anjangsana dan unjung-unjung (berkunjung) satu sama lain. Tajul mengatakan, masyarakat sudah sadar kalau saat itu terprovokasi oleh beberapa oknum di Sampang.
Sejak awal tahun 2017, jamaah Syiah ini, membuka sendiri usaha kupas kelapa sebagai mata pencaharian tambahan. Biaya hidup pemberian dari pemerintah sebesar Rp.709.000 per bulan untuk satu keluarga, tidak mencukupi.
Sebagian lainnya memelihara hewan ternak di sekitar komplek Puspa Agro seperti ayam, burung, dan bebek untuk diperdagangkan sebagai tambahan. Yang lainnya ada yang berwirausaha seperti penjual sate, sembako, tukang-kuli bangunan dan pangkas rambut.
“Kami itu gimana ya, tidak terbiasa berkeluh kesah kepada orang lain. Paling yang kami bicarakan adalah soal pulang yang memang itu adalah target kami agar bisa pulang kampung,” jelasnya.
Sementara itu, untuk pendidikan, ada 148 jamaah yang duduk di bangku sekolah dan kuliah.
Terhitung sejak Juli 2018, pemda Sidoarjo meniadakan TK dan PAUD bagi anak-anak jamaah Syiah, sehingga kebutuhan pendidikan anak usia dini diadakan secara swadaya.
Seluruh pengungsi yang sudah cukup umur telah melakukan perekaman data diri dan telah mendapatkan E-KTP dan Kartu Keluarga dengan alamat asal Sampang, hanya beberapa yang belum mendapatkan karena alasan kehabisan blanko.
Pemerintah telah memfasilitasi isbat nikah bagi puluhan pasangan suami-istri pengungsi pada Februari 2018. Hingga saat ini, semua pasutri telah memiliki buku nikah.
Pemerintah memproses sertifikasi tanah para jamaah melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) untuk 216 bidang tanah milik penyintas. Proses PTSL per Februari 2020 sudah sampai pada penandatanganan berkas untuk kelengkapan syarat sertifikat.
Ditanya tentang keadaan warga di tengah wabah COVID-19, Tajul mengatakan tidak jauh berbeda dengan ketika situasi “normal”.
“Jadi kami tidak terlalu termakan dengan isu COVID-19 sebetulnya. Kami semua tetap pemikiran tradisional, bahwa mati itu milik Allah. Jadi ya biasa saja,” ujar Tajul.
Selama masa pandemi dan penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Surabaya Raya, rusun yang ditinggali warga Syiah ini sempat mendapatkan penyemprotan disinfektan dari Pemprov Jatim dan Pemkab Sampang, kata Tajul.
“Pemkab Sampang juga membagi sembako dan masker untuk semua jamaah, sekitar satu minggu yang lalu. Itu saja. Alhamdulillah Bupati Sampang yang ini memang cukup perhatian kepada rakyatnya dan tidak membedakan antara kami dengan yang di Madura itu,” kata Tajul.