Akademisi, aktivis, kecam warga yang hakimi terduga pelanggar syariat Islam di Aceh
2024.04.17
Banda Aceh
Akademisi dan aktivis Aceh pada Rabu (17/4) mengutuk penyiraman air comberan yang dilakukan sejumlah warga terhadap pasangan tidak menikah yang diduga melakukan tindakan mesum, sebelum diserahkan ke polisi Syariah yang menegakkan hukum Islam di wilayah itu.
Jika terbukti bersalah pasangan tersebut bisa dikenai hukuman cambuk di provinsi satu-satunya di Indonesia yang menerapkan hukum Islam tersebut.
Tindakan main hakim sendiri oleh warga di kawasan Banda Sakti, Lhokseumawe, pada hari Senin itu dikecam oleh Sosiolog Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Ahmad Humam Hamid.
“Itu biadab. Pemerintah daerah dan otoritas moral, termasuk ulama, gagal mendidik masyarakat untuk bersikap yang benar terhadap hukum. Itu hukum rimba namanya,” kata Humam kepada BenarNews, Rabu.
Menurutnya, tindakan sejumlah warga itu tidak mencerminkan nilai-nilai Islami, dimana di satu sisi ingin menegakkan syariat Islam, tetapi malah dilakukan dengan cara melanggar syariat.
“Ini bentuk sick society. Masyarakat sakit yang tak Islami. Big shame. Apakah begini masyarakat Islami? Orang salah pun, ada tata krama untuk dihukum. Setelah 20 tahun perdamaian (antara pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka) dan 25 tahun pelaksanaan syariat Islam, kita lebih parah sakitnya,” ujarnya kepada BenarNews.
“Kalau ini dibiarkan, besok akan macam-macam. Bisa saja dibunuh,” tambah guru besar Fakultas Pertanian itu.
Sebuah video viral di media sosial yang juga diunggah di akun Instagram Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilaytul Hisbah (Satpol PP dan WH) Aceh – yang juga dikenal sebagai polisi syariah, memperlihatkan seorang perempuan berjilbab diguyur dengan air got hitam, sedangkan pasangannya seorang lelaki mengguyur dirinya sendiri dengan air comberan, pada Senin dini hari setelah warga mendapatkan keduanya - yang tidak dalam hubungan keluarga itu - berduaan di sebuah rumah.
Dalam qanun atau hukum Islam, keberadaan keduanya itu bisa disebut melanggar peraturan terkait khalwat (mesum), yang diancam dengan hukuman cambuk paling banyak 10 kali atau denda maksimal 100 gram emas atau penjara paling lama 10 bulan.
Saat air comberan diguyur ke tubuh perempuan yang jongkok, terdengar cemoohan beberapa warga yang mengelilinginya.
Humam menilai kasus itu bukan sepenuhnya kesalahan masyarakat, tetapi bentuk nyata gagalnya otoritas formal baik pemerintah, polisi syariah, pemangku adat dan pemimpin agama.
“Masyarakat adalah pantulan kecil dari sebuah persoalan besar. Ini adalah indikator bahwa kita gagal mendidik masyarakat. Tindakan masyarakat begitu adalah refleksi dari kegagalan otoritas moral dan otoritas resmi,” tegasnya.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja, Wilayatul Hisbah dan Perlindungan Masyarakat (Satpol PP, WH dan Linmas) Kota Lhokseumawe, Heri Maulana, mengatakan tindakan mengguyurkan air comberan kepada terduga pelanggar syariat Islam memang berlaku di kota yang pernah dikenal sebagai“Petro Dolar” tersebut.
“Rata-rata di Lhokseumawe seperti itu. Itu memang adat di gampong. Malah sebagian berat lagi. Misalnya beberapa hari lalu, kepala pecah (dipukul). Tidak tahu kita, itu tindakan masyarakat,” katanya.
Menurutnya, perempuan itu adalah seorang janda berumur 40 tahun, sedangkan pasangannya berusia 25 tahun yang berprofesi sebagai nelayan. Pasangan itu ditangkap warga di dalam sebuah rumah pada Senin dinihari.
"Saat petugas WH datang untuk melakukan pemeriksaan, pasangan yang diduga mesum tersebut sedang dimandikan air got. Setelah itu baru, diberikan ke petugas untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut," ujarnya.
Wilayatul Hisbah ialah polisi syariah yang bertugas mengawasi pelaksanaan syariat Islam di Aceh, sejak diberlakukan pada tahun 2000 silam.
Heri menambahkan apabila terbukti melanggar qanun (peraturan daerah) tentang hukum jinayat, pasangan tersebut terancam dihukum cambuk di depan publik setelah adanya putusan mahkamah syari’yah (semacam pengadilan negeri di daerah lain di Indonesia).
“Bukan Adat Aceh”
Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Teungku Faisal Ali, mengatakan tindakan mengguyur dengan air comberan terhadap terduga pelanggar syariat Islam itu bukan adat Aceh dan tidak dapat dibenarkan.
“Sebenarnya sudah ada fatwa MPU yang melarang tindakan main hakim sendiri terhadap pelaku pelanggaran syariat Islam sebab itu tak sesuai dengan adat dan kearifan lokal masyarakat Aceh,” katanya saat diminta tanggapannya.
Faisal berharap kepada tokoh-tokoh adat dan agama di seluruh Aceh untuk menyampaikan pada masyarakat bahwa apabila menemukan terduga pelanggar syariat untuk menyerahkan ke petugas WH biar diproses sesuai hukum yang berlaku.
“Pelaksanaan syariat Islam tidak boleh meruntuhkan martabat manusia. Memandikan dengan air got tentu bertentangan dengan syariat karena hal itu telah menghilangkan nilai kemanusiaan seseorang,” ujarnya.
“Sanksi adat”
Hal sedikit berbeda disampaikan antropolog Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, Reza Idria, yang menyatakan adat adalah klaim dari masyarakat setempat yang tidak tertulis, tetapi memiliki sanksi yang jelas.
“Kalau kita bilang itu bukan adat, tapi orang di satu tempat mengatakan itu adat karena berlaku di situ, sementara kita tidak melakukan verifikasi karena tidak tinggal di situ. Jadi tidak bisa juga kita katakan bukan adat,” katanya seraya menambahkan bahwa dalam pelaksanaan hukum adat, ada otoritas.
“Yang paling tidak sesuai dengan adat dan syariat adalah tindakan memviralkan itu karena akan memberikan efek membunuh karakter orang yang masih memiliki kemungkinan untuk bertobat.”
Menurut Reza, tindakan dengan dalih untuk membela nama baik desa, Aceh atau bahkan Islam, ketika video itu viral ditonton oleh masyarakat dunia malah efeknya memberikan dampak negatif terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
Sementara hukum di Aceh sudah jelas mengatur pelaksanaan syariat Islam yaitu ditegakkan oleh otoritas yang diakui negara, seperti polisi syariah dan Dinas Syariat Islam. Selain itu sanksi bagi pelaku pelanggaran syariat juga sudah jelas diatur dalam qanun.
Sedangkan, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) Aceh, Azharul Husna, menyebutkan otoritas setempat terkesan melakukan pembiaran, sehingga justru menjadi preseden buruk bagi penerapan syariat Islam di mata publik.
“Pemerintah seharusnya tidak membiarkan praktik main hakim sendiri. Dan jika ada dalih 'adat setempat', tugas pemerintah adalah mengedukasi masyarakat tentang adat sesuai dengan syariat dan yang bertentangan,” katanya.