Ketika Ketenangan Warga Adat Terusik Kepentingan Bisnis
2016.04.07
Balikpapan
Arbain HJ (45) termenung lesu. Warga Dusun Adat Muara Lambakan, Kecamatan Long Ikis, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, itu tak tahu apa harus dikerjakannya. Hutan yang menjadi gantungan hidup warga tradisional suku Paser sudah tidak asri lagi.
Sekitar 1.300 hektare dari total keseluruhan 5.300 hektare hutan terbabat sudah. Padahal, sejak ratusan tahun silam, hutan Lambakan merupakan lokasi berburu dan meramu kehidupan 150 kepala keluarga (KK) suku Paser, yang jauh dari pengaruh kemajuan zaman.
“Sekarang tak ada yang bisa dilakukan. Semuanya serba susah di sini,” tutur Arbain kepada BeritaBenar, akhir Maret 2016.
Komunitas kecil suku terasing asli Kalimantan terlanjur nyaman dengan rutinitas keseharian seperti ladang berpindah, berburu hewan hingga memancing ikan di sungai Lambakan.
Seluruh kebutuhan terpenuhi dengan mudah tanpa memerlukan uang, dari sekedar keperluan bumbu dapur hingga pendirian bangunan fisik rumah warga. Semuanya tersedia di hutan Lambakan yang mengalir sungai jernih.
“Semuanya diatur dalam tradisi adat baik saat menebang pohon maupun berladang padi dengan cara berpindah-pindah,” paparnya.
Warga adat sangat paham arti penting pelestarian hutan bagi kehidupan. Menebang pohon hingga ladang berpindah tak dilakukan secara serampangan.
“Berladang berpindah dilakukan setiap enam bulan di lokasi yang sudah ditentukan. Menebang pohon harus seizin musyawarah desa untuk keperluan mendesak. Setelah itu, diakhiri dengan ritual adat Belian berupa sesaji bagi hutan,” ungkap Arbain merujuk pada ritual suku setempat.
Warga Muara Lambakan diyakini sebagai keturunan Kesultanan Paser Belengkong yang jadi penguasa Balikpapan, Penajam dan Paser tahun 1800-an. Runtuhnya kesultanan saat penjajahan kolonial Belanda, membuat sebagian rakyatnya mengasingkan diri dalam hutan yang kini dikenal dengan Desa Muara Lambakan.
“Anak keturunan Kesultanan Paser Belengkong jaman dulu. Bahkan sisa kuburan kerajaan masih ada di sana,” jelas Arbain.
Seorang warga memperhatikan alat berat yang sedang menumbangkan pepohonan di tanah adat Dayang Modang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, 26 Mei 2015. (Gunawan/BeritaBenar)
Masuknya perusahaan
Ketenangan warga Desa Muara Lambakan mulai terusik setelah masuknya PT Fajar Surya Swadaya yang mengantongi izin usaha pemanfaatan hutan untuk keperluan tanaman industri seluas 61.300 hektare dari Kementerian Kehutanan.
Izin penanaman pohon akasia perusahaan yang bernaung dalam kelompok Djarum Grup ini, membentang luas di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Paser.
“Perusahaan itu sudah beroperasi sejak 2007 dengan menguasai Penajam, Muara Toyu, Muara Pias, Perkuin dan sekarang mengincari Muara Lambakan,” jelas Rusli dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Timur.
Seluruh hutan adat Muara Lambakan masuk dalam rencana kerja tahunan PT Fajar dalam pengembangan tanaman industri. Keberadaan warga adat Muara Lambakan “dianggap masalah” dalam pelebaran kawasan hutan tanaman industri PT Fajar.
“Kementerian Kehutanan mengeluarkan izin tanpa melihat kondisi di lapangan. Warga adat sudah ratusan tahun menetap dan menggantungkan hidupnya di situ,” ujar Rusli kepada BeritaBenar, 2 April 2016.
Menurut dia, perusahaan tidak bisa serta mengubah fungsi hutan adat menjadi hutan tanaman industri. Perubahan fungsi hutan dipastikan akan berdampak negatif bagi kelangsungan nasib ratusan warga adat Muara Lambakan.
“Negara sudah mengakui keberadaan hutan adat, namun pelaksanaan di lapangan masih abu-abu ketika dihadapkan kepentingan komersial,” ujar Rusli.
Akhir 2015 lalu, PT Fajar membuka pintu dialog dengan warga Muara Lambakan. Saat itu, perusahaan menjanjikan pencairan dana tali asih senilai Rp 700 juta agar warga merelakan hutan adat dikuasai PT Fajar.
“Perwakilan warga dan tokoh Muara Lambakan menolak tawaran itu. Malah, mereka meninggalkan pertemuan tanpa ada hasil,” ujar Rusli yang mengaku sempat diancam karena membela kepentingan warga suku Paser.
Tapi tatkala warga menggelar ritual adat Belian usai panen raya awal Februari lalu, mereka baru tahu sekitar 1.300 hektare lahan sudah dibabat. Tanpa pemberitahuan, PT Fajar ternyata mengerahkan alat berat untuk meratakan hutan adat itu menjadi tanah lapang yang siap ditanami bibit akasia.
Kerusakan hutan adat memicu kemarahan warga. Mereka sempat menduduki area PT Fajar dan menahan aktivitas 34 peralatan berat seperti excavator, buldozer dan berbagai jenis alat berat lain yang digunakan perusahaan.
Aktivitas perusahaan praktis terhenti hingga akhir Maret. Warga bertekad menuntut ganti rugi kerusakan lingkungan sebesar Rp 200 juta atas lahan seluas 1.300 hektare area hutan Muara Lambakan.
Perwakilan PT Fajar, Mesiran Sisrowi saat dikonfirmasi BeritaBenar menyatakan ada kesalahpahaman antara perusahaan dan warga dalam pengelolaan area hutan itu. Menurutnya, ada dua kelompok warga bersilang kata soal kesepakatan besaran nilai tali asih yang harus diberikan perusahaan.
Mesiran memastikan aktivitas perusahaan kini sudah kembali berjalan normal berkat “sosialisasi kekeluargaan yang mereka tempuh.” Ia memastikan hanya sebagian kecil warga yang masih mempersoalkan keberadaan aktivitas hutan tanaman industri.
“Lokasi Muara Lambakan menjadi rencana kerja tahunan terakhir perusahaan kami. Di lokasi lain seluruh wilayah perusahaan sudah berjalan dengan lancar,” jelasnya.
Meski pihak perusahaan mengklaim aktivitas sudah normal, tetapi ketegangan masih terlihat di lapangan. Masyarakat adat Paser tetap berusaha mempertahankan hutan yang telah memberikan mereka kehidupan yang kini diambang kehancuran.