Merawat Kebhinekaan di SMA Selamat Pagi Indonesia
2016.11.17
Batu
Sekolah yang terletak di lereng Gunung Arjuna, Kota Batu, Jawa Timur itu, memiliki mushalla, pura, gereja, kapel, dan vihara. Lokasinya saling berdekatan.
Begitu adzan subuh berkumandang, seluruh siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) Selamat Pagi Indonesia itu beranjak dari tempat tidur. Setelah merapikan tempat tidur, mereka membersihkan ruangan sekitar asrama.
Setelah itu, tanpa menghiraukan udara dingin yang menusuk tulang, siswa beragama Islam segera berwudhu, untuk melaksanakan shalat subuh.
Sementara siswa Kristen, Katolik, Buddha, dan Hindu, juga melaksanakan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Mereka khusyuk, larut dalam doa.
Erna Reti Welerubuni (18), seorang siswa kelas 12 asal Nabire, Papua, bergabung dengan siswa beragama Katolik untuk bersembahyang.
“Saya juga mengingatkan teman Muslim untuk tak lupa shalat,” tutur Erna kepada BeritaBenar, Kamis, 16 November 2016.
Suasana toleransi dan kerukunan lintas iman terjaga. Mereka dilatih untuk saling menghormati agama, keyakinan, budaya, dan suku yang berbeda.
Sekolah yang didirikan sembilan tahun lalu itu hanya menerima siswa yatim piatu, dari keluarga miskin, dan berasal dari agama dan suku berbeda.
Erna bersekolah di SMA itu berkat rekomendasi suster dari keluarga tak mampu, ia bertekad melanjutkan sekolah.
Semua biaya pendidikan, asrama, pakaian, dan buku disediakan Yayasan Selamat Pagi Indonesia.
Tiga gedung tiga lantai jadi ruang kelas belajar dan asrama. Sejumlah ruangan semi permanen dengan ornamen dan hiasan aneka warna menjadi sarana aktivitas siswa. Mereka serius belajar, menggapai asa.
Kewirausahaan
Sistem pembelajaran menggunakan moving class. Tak hanya dalam kelas persegi empat, tetapi juga menggunakan sejumlah ruangan berbentuk oval dan bulat. Tujuannya agar para siswa tak terkungkung dalam sebuah ruangan.
Waktu belajar mulai pukul 07.00 sampai 15.00 WIB. Di sela istirahat makan siang, para siswa melihat hewan ternak dan tanaman sayuran yang mereka pelihara dan tanam.
Siswa dilatih wirausaha. Pembelajaran kewirausahaan dilakukan langsung dalam kampoeng succezz.
Unit usaha yang dikelola para alumni, mempekerjakan sejumlah pegawai. Mereka memiliki 16 divisi meliputi biro perjalanan, peternakan, pertanian, event organizer dan usaha lain.
Erna bersama Ani Mariam asal Wamena, Papua, Tirtha Claudia Elfira dari Toli-Toli, Sulawesi Tengah, kompak menyapa setiap pengunjung. Mereka mencium tangan orang yang lebih tua.
“Kami belajar salim di sini, kebiasaan orang Jawa menghormati orang tua,” kata Ani.
Siswa beragama Katolik berdoa bersama di gereja SMA Selamat Pagi Indonesia di Batu, Jawa Timur, 16 November 2016. (Heny Rahayu/BeritaBenar)
Berawal dari keprihatinan
Ketua Yayasan Selamat Pagi Indonesia, Sendy Fransiscus Tantono, menyebutkan ide sekolah gratis itu muncul dari seorang pengusaha, Julianto Eka Putra, untuk membantu sesama.
“Dia dulu bilang tahun 2010 mau bangun sekolah, tapi ternyata lebih cepat, pada 2007 sudah berdiri,” katanya.
Julianto, kata Sendy, terketuk hatinya setelah membaca pemberitaan sejumlah media, ada anak bunuh diri karena keluarga tak mampu membiayai pendidikan.
Lalu, dia berinisiatif bangun sekolah gratis untuk siswa miskin berlatar belakang multikultural, multietnis, dan multireligi.
Julianto adalah Presiden Komisaris kelompok Binar Grup, yang memiliki 22 anak perusahaan terdiri dari usaha penerbitan, event organizer, biro perjalanan dan lembaga motivasi. Seluruh biaya sekolah didanai dengan menyisihkan keuntungan Binar Grup.
“Juga ada donatur,” jelas Sendy.
Wakil Kepala SMA Selamat Pagi Indonesia Didik Tri Hanggono, menyatakan sekolah yang berdiri di lahan 15 hektare menghabiskan biaya operasional Rp700 juta, setiap bulan.
Para siswa diseleksi secara administrasi dengan komposisi sesuai demografi Indonesia terdiri dari 40 persen Islam, 20 persen Kristen, 20 persen Katolik, Hindu 10 persen dan Buddha 10 persen.
Sebanyak 200 siswa dari seluruh wilayah Nusantara. Tujuannya untuk membangun toleransi dan merawat kebhinekaan.
“Sekolah ini didirikan karena keprihatinan atas konflik yang dipicu masalah suku, ras dan agama di Indonesia,” tuturnya.
Praktik langsung
Tangan Sri Wahyuni, siswa kelas 11, lincah di atas keybord komputer jinjing. Sesekali tangannya meraih kertas kwitansi pembayaran, matanya tajam melihat tiap angka dan memasukkan dalam tabel laporan keuangan.
Dia tak hanya belajar teori akuntansi, tapi langsung praktik mengerjakan laporan keuangan.
“Dapat uang saku, ditabung untuk membantu orang tua,” kata siswa asal Malang, Jawa Timur itu.
Kadang dia menjadi pemandu wisata berkeliling ke wahana permainan, lahan pertanian, dan peternakan di sekolah multikultural dan multiagama itu.
Penganut Hindu ini mengaku rajin berdoa di pura saat pagi dan sore sejak sekolah di situ.
“Kalau di rumah hanya pagi saja,” katanya seraya menambahkan, usai lulus, ingin tetap tinggal dan bekerja di Kampoeng Succezz.
Sebanyak 42 alumni bertahan dan mengembangkan usaha yang dirintis bersama sejak enam tahun lalu.
Gracia Sakwalubun, alumni asal Halmahera, Maluku Utara, menjadi koreografer. Ia menciptakan gerakan tarian yang dipertunjukkan kepada pengunjung. Salah satunya seni teatrikal berjudul Pesona Sang Garuda.
Seni teatrikal menceritakan konflik dan kekerasan yang terjadi di tanah air. Lantas, para pemuka agama hadir, membangun dialog demi menjaga persatuan. Mereka yang datang dari berbagai suku berkomitmen merawat keberagaman.