Klaim Dirinya Korban Trafficking, Warga Uighur Bantah Terlibat Terorisme
2016.08.10
Jakarta
Nur Muhammet Abdullah alias Ali, seorang warga etnis Uighur, membantah terafiliasi dengan Bahrun Naim-pemimpin ISIS asal Indonesia, dalam persidangan terhadap dirinya di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Rabu, 10 Agustus 2016.
"Ali tidak tahu apa-apa," ujar kuasa hukumnya, Arman Remy kepada BeritaBenar usai persidangan pertama terhadap kliennya itu.
Menurut Arman, Ali adalah korban perdagangan manusia. Kedatangan pria 30 tahun itu ke Indonesia semata-mata dikecoh oleh Muhammad, seorang warga etnis Uighur lain di Malaysia.
Awalnya, kata Arman, Ali bermaksud meninggalkan kediamannya di Provinsi Xinjiang, China, menuju Turki. Ia transit di Vietnam dan membuat paspor palsu Kirgistan. Paspor inilah yang digunakan Ali untuk masuk ke Turki.
Namun imigrasi Turki mengetahui trik Ali. Ia dideportasi ke negara keberangkatannya, Vietnam. Lantaran berpaspor Kirgistan, Pemerintah Vietnam berencana memulangkan Ali ke negara bekas Uni Soviet itu.
Hanya saja, Ali dipulangkan tanpa pendampingan. Walhasil, saat pesawatnya transit di Malaysia, Ali memutuskan kabur dan bertemu koleganya sesama Uighur, Muhammad.
"Muhammad itulah yang mungkin terafiliasi dengan Bahrun," ujar Arman. Bahrun Naim yang diyakini berada di Suriah dituding kepolisian RI sebagai dalang teror Jakarta Januari lalu.
"Kalau Ali tak tergabung ke kelompok manapun. Termasuk kelompok Uighur yang pernah disidangkan di Pengadilan Jakarta Utara dulu,” katanya merujuk pada empat orang etnis Uighur yang dituntut pada pertengahan tahun 2015 atas tindak pidana terorisme.
Ditampung teroris
Bantahan tersebut disampaikan Arman, menyusul pembacaan dakwaan yang menyebutkan Ali tergabung dalam jaringan Bahrun Naim.
Seperti termaktub dalam berkas dakwaan, keterkaitan Ali dengan jaringan Bahrun Naim diketahui karena Ali dijemput Nur Rohman di Bandara Soekarno Hatta, usai terbang dari Batam, Kepulauan Riau.
Ali memang kabur ke Batam setelah mendarat di Malaysia, dari Vietnam. Adapun Nur Rohman adalah pelaku bom bunuh diri di Markas Kepolisian Resor Kota Solo, 5 Juli lalu.
Sesaat setelah mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Nur Rohman membawa Ali ke rumah kos di kawasan Bekasi, Jawa Barat. Kos-kosan ini dibayarkan Arif Hidayatullah, terdakwa teroris yang ditangkap di Bekasi, Desember 2015.
Interaksi inilah yang kemudian membuat Ali dijerat melakukan dugaan pemufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme seperti yang tertuang Pasal 15 juncto Pasal 7 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002, Pasal 15 juncto Pasal 9 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002, dan Pasal 5 juncto Pasal 4 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Dakwaan itu mengada-ada," tegas Arman, "buktinya, tak pernah ada yang melihat Ali bersama dengan kelompok itu. Bagaimana ia bisa membuat rencana serangan bersama yang lain?"
Merujuk keterangan lima ahli yang dihadirkan jaksa penuntut umum di persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Rabu siang, memang tak seorang pun dari mereka yang mengaku pernah berinteraksi, bahkan sekedar melihat Ali.
Salah seorang saksi, Taufik, mengaku tak pernah melihat Ali di rumah kos. Taufik adalah penjaga rumah kos yang disewakan Arif.
"Saya tidak pernah melihat (Ali)," kata Taufik, saat ditanya hakim ketua Surung Simanjuntak persidangan. Taufik mengulangi jawaban sama saat ditanya pertanyaan serupa oleh jaksa penuntut dan Arman Remy.
Jawaban serupa juga terlontar dari saksi lain, Nur Rahmad, penjaga vila Chandra yang disebut dalam dakwaan pernah ditempati Arif dan kawan-kawan saat di Cisarua sebagai lokasi perumusan serangan dan perakitan bom.
"Tidak pernah melihat (Ali)," ujar Rahmad.
Sasar Kapolri dan Gubernur DKI
Dalam dakwaan, jaksa menyebut Ali bersama Arif, Nur Rohman, dan Andika Bagus Setiawan (yang telah divonis lima tahun penjara) bersiap melakukan aksi teror dan telah menyiapkan sasaran spesifik.
Dalam dakwaan disebutkan mereka menyasar Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Kepala Kepolisian Republik Indonesia ketika itu - Jenderal Badrodin Haiti, Kepala Polda Metro Jaya saat itu Inspektur Jenderal Tito Karnavian -- kini Kapolri, mantan Kepala Badan Narkotika Nasional Goris Mere, seorang petinggi Densus 88 Ibnu Mahendra, mantan Kepala Polda Jawa Tengah Nur Ali, dan warga negara asing.
Selain itu, kelompok Arif Hidayatullah juga menyasar kelompok Yahudi dan masjid Syiah di Bogor, Jawa Barat.
Sidang lanjutan kasus ini dijadualkan diselenggarakan pada 24 Agustus 2016.