Pimpinan Gafatar Tolak Dakwaan Makar dan Nodai Agama
2017.02.16
Jakarta
Yudi terlihat gelisah menanti persidangan yang tak kunjung dimulai. Berulang kali, ia membolak-balik kertas di tangannya. Sesekali, ia berbicara dengan rekan-rekan di sebelahnya.
Pria 33 tahun itu sudah hadir ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur, sejak pagi. Namun hingga sekitar pukul 14.00 WIB, penantiannya masih berlanjut.
“Selalu telat (persidangan)," katanya saat ditemui BeritaBenar.
Meski begitu, semangatnya tak kendur. Ada hal lebih penting yang membuatnya tetapi bertahan: mendukung pimpinannya di kelompok Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), Ahmad Musadeq.
Hari itu, Kamis, 16 Februari 2017, Musadeq dan dua terdakwa lain: Mahful Muis Tumanurung dan Andry Cahya, menjalani persidangan ke-23 dengan agenda membaca pembelaan atau pledoi.
Bersama seratusan pengikut Gafatar lain, Yudi datang memberi sokongan moril untuk ketiganya. Salah satu bentuknya, mereka kompak mengenakan kemeja putih.
"Ini wujud perlawanan," kata Yudi, menjelaskan makna pakaian putih yang mereka kenakan.
Musadeq Cs didakwa akumulatif melanggar Pasal 156a KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP juncto Pasal 64 KUHP tentang penistaan agama. Mereka juga didakwa melanggar Pasal 110 ayat 1 juncto Pasal 107 ayat 2 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP tentang makar dan penggulingan pemerintahan.
Ancaman hukuman maksimal dakwaan pertama adalah lima tahun penjara. Sedangkan dakwaaan kedua mencapai 20 tahun penjara.
Tapi oleh jaksa, ketiganya dituntut berbeda dalam persidangan, Rabu pekan lalu. Musadeq dan Mahful Muis dituntut 12 tahun penjara karena pernah dihukum penjara atas kasus dugaan penistaan agama.
Keduanya sempat mendekam empat tahun penjara pada 2006 setelah mendirikan gerakan Al-Qiyadah al-Islamiyah. Dalam gerakan yang dianggap wujud sinkretisasi tiga ajaran agama Abrahamik, yaitu Islam, Kristen, dan Yudaisme itu, Musadeq juga mengaku sebagai nabi.
Sedangkan Andry Cahya, yang merupakan putra Musadeq, dituntut 10 tahun penjara. Dalam struktur organisasi Gafatar, Andry menjabat “presiden”. Adapun Mahfud sebagai Wakil Presiden Gafatar dan Musadeq sebagai penasihat spiritual.
Perihal dugaan penodaan agama dan makar yang dialamatkan pada para terdakwa, jaksa penuntut umum (JPU) Abdul Rauf menilai semua unsurnya telah terpenuhi.
Berdasarkan keterangan saksi dan ahli sepanjang persidangan --total 50 saksi, kata Rauf, ditemukan fakta bahwa Gafatar telah memiliki struktur menyerupai sebuah negara, semisal presiden, wakil presiden, atau gubernur.
"Mereka juga sudah dilantik sehingga terpenuhi unsur makar," kata Rauf, "unsur penodaan agama terlihat dari ajaran Gafatar yang mencampurkan tiga agama."
Bukan sinkretisasi
Lewat pledoi berjudul “Konsistensi Millah Abraham Sebagai Jalan Kebenaran Tuhan Yang Maha Esa” yang dibacakan di persidangan, Andry menepis penilaian bahwa Gafatar dan pengikutnya sebagai penoda agama. Pledoi dibacakan bergantian oleh ketiga terdakwa.
Menurutnya, Gafatar yang berhulu pada ajaran Abraham tak berlawanan dan melenceng dari ajaran Islam.
"Sudah sangat jelas bahwa Nabi Muhammad adalah penerus dan pengikut misi risalah Millah Abraham yang merupakan jalan kebenaran Tuhan Yang Maha Esa," kata Andry dalam pledoinya.
Maka, tambahnya, jika Majelis Ulama Indonesia (MUI) memfatwakan aliran dan paham Abraham sesat dan menyesatkan, sama saja artinya “MUI memfatwakan Rasulullah Muhammad dan para sahabatnya adalah komunitas yang sesat.”
"Karena mereka pengikut Millah Abraham," ujarnya, "mereka yang ingin secara sungguh-sungguh mengikuti sunnah Rasulullah tidak boleh dihakimi dan dituduh sesat.”
Musadeq menyampaikan hal tak jauh berbeda. Ia menyangkal penilaian yang menyebut bahwa ajaran Gafatar menodakan agama serta bermaksud makar.
Menurutnya, pelantikan pengurus organisasi yang dilakukan Gafatar bukan sebuah pemufakatan jahat untuk makar atau menjatuhkan pemerintahan Joko Widodo.
“Justru kami mencintai negeri ini. Kami mengakui pemerintahan yang ada dan ingin turut mengabdi dan membangun bangsa ini melalui program kedaulatan pangan yang juga bagian Nawacita Presiden Joko Widodo,” katanya.
"Millah Abraham juga bukan bentuk sinkretisasi. Sesungguhnya ketiga agama tersebut telah menyimpang dan Millah Abraham atau Islam yang murni," tambah Musadeq.
Berat sebelah
Berbeda dengan Andry dan Musadeq, Mahfud menyoroti sikap pemerintah yang dianggapnya berat sebelah karena tidak memproses hukum kelompok-kelompok yang menyerang pengikut Gafatar.
"Kenapa masyarakat yang telah mengusir secara paksa serta melakukan pembakaran dan penjarahan aset kami tidak dilakukan upaya hukum sedikitpun?" katanya.
"Padahal sudah sangat jelas bahwa mereka yang mengusir dan membakar adalah orang-orang yang terorganisir."
Sekitar 1.000 pengikut Gafatar terusir dari kediaman mereka di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, Januari tahun lalu. Mereka lantas dievakuasi ke kompleks perbekalan dan angkutan Kodam XII/Tanjung Pura di Pontianak dan dipulangkan ke daerah masing-masing.
Penolakan bermula dari laporan hilangnya seorang perempuan bernama Rica dan anaknya di Yogyakarta, sebulan sebelum pengusiran. Polisi menyatakan Rica dan anaknya dilarikan anggota Gafatar.
Kuasa hukum ketiga terdakwa, Pratiwi Febry, berharap majelis hakim bisa bersikap adil dengan membebaskan ketiga terdakwa.
"Karena perbedaan pandangan dan cara berpikir tidak dapat dihukum karena bukanlah tindakan pidana," katanya. "Kami memohon kepada majelis hakim untuk membebaskan kami dari segala tuntutan."
Sidang dilanjutkan Senin pekan depan dengan agenda replik atau jawaban dari JPU atas pembelaan para terdakwa.
Yudi dan seratus rekannya telah bertekad selalu datang ke persidangan untuk memberi dukungan moral bagi pemimpin mereka.