Pejabat: Lone Wolf atau Uang, Belum Jelas Motif Serangan atas Pastor di Medan
2016.08.29
Jakarta & Padang
Sehari setelah terjadinya serangan terhadap pastor di sebuah gereja Katolik di Medan, motif dibalik aksi tersebut belum diketahui. Pihak berwenang mengatakan lone wolf (pelaku sebagai pemain tunggal), atau karena disuruh oleh orang lain dengan iming-iming uang, bisa menjadi faktor penyebab.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang sedang berada di Padang, Sumatera Barat, mengatakan pihaknya masih mendalami motif serangan itu, namun ia meyakini pelaku sebagai pemain tunggal – yang merupakan fenomena baru dalam dunia terorisme.
"Dalam dunia terorisme disebut lone wolf, artinya serigala sendiri. Ini sebenarnya merujuk kepada sistem radikalisasi yang dilakukan sendiri. Namanya self radicalization. Ini muncul setelah merebaknya dunia internet,” katanya kepada wartawan.
Sementara itu, juru bicara Mabes Polri, Brigjen Agus Rianto dalam keterangan pers di Mabes Polri, Senin, mengatakan pelaku mengaku ditawari imbalan Rp10 juta oleh seseorang yang tak dikenalnya untuk melakukan aksinya. Dia diminta membeli alat peledak dan merakitnya.
Pelaku dengan inisial IAH (18) berusaha menikam Pastor Albert Pandiangan dengan pisau ketika pastor itu memimpin ibadah misa Minggu, 28 Agustus 2016, di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep, Medan. Albert mengalami luka di tangan setelah jemaah gereja meringkus pelaku.
Saksi mata mengatakan IAH sempat duduk di antara jemaah. Saksi Nana Manullang yang duduk di sebelah pelaku menuturkan kepada polisi bahwa dia sempat melihat sejumlah batere, kabel, dan pipa yang dicurigainya sebagai bom buatan dalam tas ransel pelaku.
Pelaku tiba-tiba berdiri dan dari dalam tasnya mengeluarkan asap serta letusan ringan seperti kembang api, namun hal itu tidak membuatnya berhenti untuk berlari ke arah altar dan menyerang pastor.
Terinspirasi ISIS?
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengatakan dari hasil pendalaman aparat keamanan, pelaku tidak masuk jaringan teroris manapun.
Kepada wartawan di kompleks Istana Kepresidenan, Senin, Wiranto mengatakan pelaku terobsesi jaringan Abu Bakar al-Baghdadi dan aksinya sebagai bentuk dukungan kepada pemimpin Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) tersebut.
"Di tasnya ditemukan tulisan ‘I Love Al Baghdadi’. Ada juga video-video," ujar Wiranto seperti dikutip Tempo.co.
Foto yang disediakan Polda Sumatra Utara pada media memperlihatkan kertas kecil seukuran kartu kredit dengan gambar mirip bendera ISIS di antara barang pelaku yang disita.
Polisi juga menemukan jejak di ponsel pelaku yang memperlihatkan ia kerap menonton video terkait gerakan ekstrim itu.
Namun pengamat terorisme dari Indonesia Intelligence Institute, Ridlwan Habib, tidak sependapat dengan keterkaitan pelaku dengan ISIS, karena menurutnya aksi IAH terkesan sangat amatir dan tak terlihat motif kuat ideologi dalam serangan itu.
“Pelaku ini berada dalam kendali seseorang dengan motif dendam atau lain, namun kemungkinan besar bukan karena terpapar pengaruh ISIS,” ujarnya kepada BeritaBenar di Jakarta, Senin 29 Agustus 2016.
Barang bukti berupa pisau dan gambar menyerupai bendera ISIS yang disita polisi dari pelaku. (Dok. Polda Sumut)
Cyber jihad
Kapolri mengatakan kalau dulu terorisme menjalankan tugas bersama berbentuk jaringan. Tapi dalam perkembangannya, terorisme muncul melalui website, chatting yang menyebarkan paham radikal, cyber training, online training, recruitment, dan lain sebagainya. “Bahkan ada yang disebut sebagai cyber jihad,” tegasnya.
"Pola seperti ini membuat aparat sulit mendeteksi karena dilakukan tanpa pemimpin. Ini kan masih di bawah umur,” ujar Tito, “kita akan menangani dengan UU Perlindungan Anak. Kita anggap masih pelaku tunggal.”
Belum terpapar BNPT
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Pol. Hamidin mengatakan masyarakat seperti IAH belum terpapar program BNPT, yang selama ini lebih terfokus pada deradikalisasi narapidana terorisme, mantan narapidana terorisme, anggota keluarga mereka, serta lingkungan terdekatnya.
Kepada masyarakat umum, katanya, program yang dilaksanakan ialah kontraradikalisasi dengan melakukan kontranarasi dan dilakukan oleh para ulama, bila narasi itu terkait agama.
Ridlwan mengatakan materi program hendaknya disesuaikan dengan sasaran. “Materi untuk kalangan pesantren tidak bisa digunakan untuk anak sekolah menengah pada umumnya. Harus sesuai dengan khalayak yang ditargetkan,” tambahnya.
Sementara Hamidin menegaskan pentingnya peran media. “Radikalisasi sudah ada di tengah kita. Itu tidak bisa disangkal. Tidak hanya ulama yang berperan (melawan radikalisasi), namun media juga bisa membantu,” ujar Hamidin kepada BeritaBenar.
Sekretaris Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Wali Gereja Indonesia, Benny Susetyo, yang akrab dipanggil Romo Benny, mengatakan masyarakat harus lebih mewaspadai munculnya propaganda paham intoleransi dan menjadikan generasi muda sebagai sasaran.
“Mereka punya idealisme berlebihan sehingga gampang dimanipulasi. Fenomena ini ada di semua agama, sehingga perlu kesadaran bangsa untuk melakukan aksi bersama mencegahnya,” ujarnya kepada BeritaBenar.