Gagal Menang Oscar, “Senyap” Tetap Diapresiasi

Tia Asmara
2016.02.29
Jakarta
160229_ID_OSCARS_620.jpg Adi Rukin (kiri), Joshua Oppenheimer dan Signe Byrge Sorensen saat menghadiri resepsi untuk para pembuat film dokumenter di Academy of Motion Picture Arts and Sciences in Beverly Hills, California, Amerika Serikat, 24 Februari 2016.
AFP

Meski gagal memenangkan piala Oscar dalam perhelatan Academy Awards 2016, kalangan aktivis HAM tetap mengapresiasi film The Look of Silence atau “Senyap”, berkisah tentang sejarah kelam pembantaian orang-orang yang dituduh sebagai komunis di Indonesia pada 1965 dan 1966.

Sutradara film Senyap, Joshua Openheimer mengaku tidak kecewa gagal meraih piala Oscar karena tujuannya membuat film dokumenter itu untuk menunjukkan kepada publik bagaimana rasanya menjadi keluarga korban yang dipaksa terus membisu, tak bersuara, dan tidak bisa berduka selama berpuluh tahun.

“Saya telah menghabiskan lebih dari satu dekade di Indonesia untuk membuat film Jagal dan Senyap. Kedua film saya ini adalah sebuah surat cinta saya untuk rakyat Indonesia,” ujarnya dalam wawacara dengan BeritaBenar melalui surat elektronik, Senin 29 Februari 2016.

Joshua beralasan sengaja membuat film bertema sejarah pembantaian massal di Indonesia, karena hal itu bagian penting dari sejarah dunia dan punya dampak sangat kuat.

“Rekonsiliasi sangat penting dilangsungkan dan pengungkapan kebenaran. Saat kejahatan tonggaknya, pengungkapan kebenaran hanya mungkin dilakukan saat orang tidak lagi takut. Jadi, rekonsiliasi bukan hanya mungkin,” tuturnya.

Melalui film ini, dia berharap peristiwa pembantaian 1965 tidak terulang lagi di manapun dan atas siapapun. “Never again! Jangan terjadi lagi! Jangan sampai ada lagi impunitas yang dirayakan oleh para pelakunya. Ini adalah tugas kita,” ujarnya.

Mencari pembunuh kakaknya

Dalam Senyap dikisahkan seorang pria bernama Adi Rukun yang bekerja sebagai tukang kaca mata. Dia tinggal di Deli Serdang, Sumatera Utara. Ali berusaha mencari pembunuh kakaknya yang menjadi korban pembantaian 1965 setelah terjadi kudeta yang gagal oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).

Meski dilahirkan setelah era 1965, Adi ingin anaknya punya pandangan berbeda terhadap komunis. Setelah mencari tahu, ternyata pembunuh kakaknya adalah orang-orang di sekitar lingkungannya yang memiliki kekuasaaan. Dalam film itu juga terdapat kesaksian para pembunuh kakaknya yang tidak merasa bersalah atas perbuatan mereka.

Setelah terungkap dan bertemu dengan pembunuh kakaknya, Adi kini tinggal di tempat lebih baik, jaluh dari desa Deli Serdang yang dibayangi pelaku kejahatan pelanggar HAM. Tetapi, dia enggan menyebutkan dimana dia sekarang tinggal.

“Kami telah pindah dari desa kami, jauh dari pelaku yang terus membayangi 50 tahun. Kami sekarang sudah hidup aman dan bahagia,” ujar Adi saat dihubungi melalui surat eletronik. Saat ini, dia sedang berada di Califoria untuk ikut acara penganugerahan Oscar.

Adi juga berharap, film ini bisa meluruskan sejarah bagi generasi muda dan tidak menimbulkan dendam karena ia yakin Indonesia sedang dalam proses memulai pembenahan sejarah.

“Perjuangan HAM di Indonesia terus berlanjut. Ini baru awalnya saja,” katanya yang mengaku tidak mendapatkan ancaman setelah film itu diluncurkan tahun lalu.

Senyap dikerjakan hampir delapan tahun. Joshua dibantu sejumlah sineas asal Indonesia. Tapi mereka nyaman disebut dengan anonymous (tak mau disebutkan namanya).

Senyap masuk nominasi Oscar 2016 untuk kategori Best Feature Documentary Movie dan bersaing dengan beberapa film dokumenter lain yaitu Amy (karya sutradara Asif Kapadia), Cartel Land(Matthew Heineman),What Happened, Miss Simone? (Liz Garbus) dan Winter of Fire: Ukraine's Fight for Freedom (Evgeny Afineesky). Akhirnya Amy yang memenangkan Oscar.

Inspirasi penyelesaian kasus HAM

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar, menyatakan film Senyap punya visual dan narasi yang kuat untuk mengambarkan dampak buruk para korban kejahatan negara.

“Sangat menarik, saya kira sulit membantah film ini. Tidak banyak pembuat film seperti ini. Makanya banyak terjadi larangan menontonnya. Karena pelaku dan pengikut Orde Baru hari ini tidak bisa membuat film seperti ini,” ujarnya.

Film ini, kata dia, juga bercerita kisah pilu di balik fitnah Orde Baru yang belum terselesaikan. Namun sayang, film ini tidak dijadikan inspirasi oleh pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Hal senada dikatakan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Muhammad Nur Khoiron. Menurutnya, film ini patut diapresiasi karena menjadi sarana positif kampanye penyelesaian kasus HAM.

“Film ini sudah go internasional, dikenal banyak orang dan dapat mendorong pemerintah mempercepat proses penyelesaian HAM. Ini momen positif untuk mengajak semua elemen menyelesaikan kasus 1965,” katanya.

Dilarang tayang di Indonesia

Meski diapresiasi aktivis HAM, Senyap tak ditayangkan di bioskop di Indonesia. Film ini hanya diputar terbatas di kalangan komunitas karena tidak lulus sensor. Beberapa kali, pemutaran film bahkan sempat dibatalkan seperti di Malang dan Yogyakarta.

Anggota Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia, Syamsul Lussa mengatakan ada beberapa kriteria untuk menentukan lulus atau tidaknya sebuah film yang akan ditayangkan di bioskop. Hal tersebut diatur dalam UU yang berlaku.

“Harus jelas konteksnya seperti apa, tema utama apa, harus sesuai dengan peraturan. Jangan film tidak baik kita tayangkan,” ujarnya.

Pembuat film dokumenter dari Forum Lenteng, Andang Kelana mengaku kendati punya keinginan kuat untuk membuat film dokumenter bertemakan HAM, sineas perfilman Indonesia masih enggan melakukannya.

“Masalah HAM terutama kasus 1965 masih sensitif di sini, dari negara bahkan masyarakat secara umum. Apalagi kalau membuat sesuatu yang berbau ‘kiri’, represi dari pemerintah masih kuat,” jelasnya.

Menurutnya, untuk memfilmkan sejarah tentu punya tanggung jawab besar dari segi mengakses arsip hingga wawancara saksi hidup.

“Pelarangan penayangan dan diskusi melalui organisasi masyarakat masih terus terjadi. Hambatan akan terus ada dengan penolakan itu,” pungkas Andang.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.