Ditahan, Sekjen PA 212, Tersangka Penganiayaan Relawan Jokowi
2019.10.08
Jakarta
Kepolisian Daerah Metro Jaya menetapkan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PA 212 Bernard Abdul Jabbar sebagai tersangka penganiayaan relawan Joko "Jokowi" Widodo, Ninoy Karundeng.
Ia pun telah ditahan oleh kepolisian untuk mendalami kasus kekerasan yang terjadi di sela-sela demonstrasi berujung kericuhan di kawasan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 30 September lalu.
"Tersangka BD (Bernard) diketahui berada di lokasi penganiayaan dan turut melakukan intimidasi," kata juru bicara Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono kepada BeritaBenar, Selasa, 8 Oktober 2019.
"Ia (Bernard) juga dijerat Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena turut menyebarkan video saat Ninoy diinterogasi."
Bernard merupakan tersangka ke-13 dalam kasus penganiayaan terhadap Ninoy.
Namun Argo belum mau merinci detail pasal yang disangkakan kepada Bernard dan tersangka lain.
Dari keseluruhan tersangka, tiga di antaranya adalah perempuan yakni Yusi Yuswianti (54), Anne Ratna Suminar (52), dan Tuty Reni Iswanizar (58).
Mereka dijerat UU ITE karena menyebarluaskan video penganiayaan Ninoy yang disertai ujaran kebencian ke sejumlah grup percakapan WhatsApp.
Mengenai kemungkinan penambahan tersangka, Argo tak menampik.
Menurutnya, kepolisian sampai saat ini masih mengumpulkan keterangan dari sejumlah saksi seperti Ketua Media Center PA 212 Novel Bakmumin dan Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI) Munarman pada Kamis nanti.
Saat dikonfirmasi, Novel membantah telah terjadi penganiayaan terhadap Ninoy.
Menurutnya, Ninoy justru sudah dalam kondisi lebam sebelum memasuki masjid.
"Pengurus masjid hanya menginterogasi, seperti yang ada di rekaman video. Tidak ada kekerasan yang dilakukan," ujar Novel.
"Wajahnya babak belur di luar masjid karena merekam aksi unjuk rasa dan melontarkan kata-kata provokatif ke arah massa sehingga akhirnya ia menjadi bulan-bulanan massa."
Adapun Ketua Divisi Hukum PA 212 Damai Hari Lubis menilai kepolisian terlalu dini menetapkan Bernard sebagai tersangka penganiayaan.
"Menurut saya masih sangat prematur karena keterangan Ninoy mestinya harus didalami lagi. Ia tentu syok sehabis dihakimi massa, jadi tidak bisa mengenali orang-orang di sekitarnya," kata Damai.
Kronologi penganiayaan
Dikutip dari laman Detik, penganiayaan terhadap Ninoy terjadi sekitar pukul 20.00 WIB, saat ia ingin mendokumentasikan kericuhan di daerah Pejompongan yang berjarak sekitar 300 meter dari gedung DPR.
Saat tengah merekam video, ia dibentak seseorang tak dikenal sehingga memancing perhatian sejumlah orang yang berada di lokasi. Mereka kemudian mengerubuti dan memukuli Ninoy.
Tak lama, ia dibawa ke Masjid Jami' Al-Falaah yang berjarak sekitar 50 meter dari lokasi awal. Di sini, identitasnya dan isi komputer jinjingnya diperiksa.
Saat itulah, massa mendapati bahwa dirinya merupakan relawan Jokowi, lewat kartu pers bertuliskan "Relawan Jokowi App".
Kemarahan massa kian menjadi setelah mengetahui ihwal ini. Ia pun diancam, dipaksa mengakui orang yang mengirim dirinya ke lapangan.
Sejumlah intimidasi diterima, termasuk ultimatum dari seseorang yang dipanggil "habib" yang mengancam akan membelah kepalanya dengan kapak menjelang subuh.
Belakangan, hingga dibebaskan sekitar pukul 07.00 WIB, ancaman pembunuhan itu tak terwujud.
Beberapa jam setelahnya, video interogasi Ninoy --dengan kondisi muka lebam-- beredar di media sosial.
BeritaBenar mencoba menghubungi Ninoy, untuk mengonfirmasi beragam ancaman tersebut, tapi tak beroleh balasan.
Ninoy melaporkan penganiyaan dirinya ke kepolisian pada Rabu, 2 Oktobr 2019.
Kasus lain
Sementara itu, kepolisian juga telah menetapkan 12 orang tersangka dalam kasus grup WhatsApp siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang berisi ajakan berdemonstrasi pada 30 September.
Unjuk rasa tersebut adalah rangkaian dari demonstrasi yang dimobilisasi oleh para mahasiswa menuntut penolakan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan pengesahan Rancangan KUHP. Namun unjuk rasa itu berujung ricuh yang diwarnai bentrok antara pendemo dan polisi. Kepolisian total menangkap 1.365 orang, dengan 380 di antaranya disematkan status tersangka.
Argo tak memerinci mengenai identitas ke-12 tersangka tersebut, apakah terdiri dari siswa atau kalangan umum.
"Saya baru diberitahu bahwa mereka disangkakan Pasal 160 KUHP, soal barang siapa yang di muka umum baik secara lisan atau tulisan menghasut orang lain untuk melakukan tindak pidana atau perbuatan melawan hukum," kata Argo.
"Dengan ancaman maksimal enam tahun penjara.'
Mengenai dalil jeratan berupa ajakan demo sebagai bentuk pengekangan kebebasan berekspresi yang dijamin undang-undang, Argo memberi alasan.
"Persoalannya adalah bahwa di grup tersebut ada percakapan yang berisi ajakan berbuat kerusakan dan kerusuhan atau melakukan tindak pidana. Ini tidak perkara melarang orang berunjuk rasa atau menyuarakan pendapat," lanjutnya.
Perihal grup WhatsApp siswa SMK ini sempat ramai seusai unjuk rasa 30 September di media sosial.
Pasalnya, sejumlah foto grup --setelah ditelusuri warganet lewat aplikasi TrueCaller-- diketahui berisi anggota kepolisian.