Lagi, Seorang Sandera Abu Sayyaf Dibebaskan
2019.01.16
Jakarta

Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI, pada Rabu, 16 Januari 2019, mengkonfirmasi telah dibebaskannya warga Indonesia, Samsul Saguni, setelah ia sempat ditawan oleh kelompok militan Abu Sayyaf selama empat bulan di Filipina selatan.
"Saat ini mesih berada di Pangkalan Militer Westmincom di Jolo, Filipina Selatan, guna pemeriksaan kesehatan dan menunggu diterbangkan ke Zamboanga City," kata Direktur Perlindungan WNI Kemlu, Lalu Muhammad Iqbal, di Jakarta.
Samsul dibebaskan sehari sebelumnya oleh Abu Sayyaf di Jolo. Ia kemudian dijemput oleh militer dan pejabat lokal di bawah pimpinan gubernur setempat, Abdul Sakur Tan, demikian kata juru bicara militer regional Filipina, Letkol. Gerry Besana.
"Dia dibawa ke kediaman Tan, dan setelah mendapat pemeriksaan medis, ternyata fisiknya cukup sehat," kata Besana. Samsul kemudian diterbangkan ke sebuah kamp militer di Kota Zamboanga untuk ditanyai, katanya.
Samsul, nelayan asal Majene, Sulawesi Barat diculik pada 11 September tahun lalu bersama rekannya Usman Yunus saat melaut di perairan pulau Gaya, Semporna, Sabah, Malaysia
Usman telah lebih dahulu bebas pada tanggal 7 Desember 2018.
"Setelah diserahterimakan secara resmi kepada KBRI Manila, Samsul Saguni akan diproses pemulangannya ke Indonesia,” ujar Iqbal.
Iqbal juga mengkonfirmasi bahwa Samsul adalah orang yang ada di video yang sempat viral di sosial media awal bulan ini. Dalam video tersebut seorang laki-laki dengan tangan terikat bersimpuh menangis agar nyawanya diselamatkan, sementara beberapa orang berdiri di belakangnya dengan menodongkan senjata api.
"Video semacam itu selalu keluar di setiap batch sandera ketika tuntutan mereka tidak dipenuhi," ujar Iqbal.
Berbagai media melaporkan adanya permintaan uang tebusan senilai Rp2 miliar. Namun Iqbal membantah adanya uang tebusan dalam pembebasan Samsul.
"Tidak ada tebusan," kata dia, menambahkan bahwa keselamatan sandera selalu menjadi perhatian utama.
Pernyataan sedikit berbeda disampaikan peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, yang mengatakan hidup kelompok Abu Sayyaf digantungkan pada uang tebusan dari penyanderaan dan hasil sitaan kapal.
"Mereka akan terus cari celah dan kelengahan untuk itu. Sulit membayangkan pembebasan sandera tanpa tebusan kecuali punya akses komunikasi kuat dengan ASG (Abu Sayyaf Group)," kata Khairul, ketika dihubungi BeritaBenar.
"Mungkin saja ada komunikasi mengenai tebusan yang dilakukan perusahaan kapal dengan mediasi pemerintah. itu bisa saja," lanjutnya.
‘Kerjasama Filipina-Indonesia’
Iqbal menyebut pembebasan sandera kali ini merupakan kerjasama pemerintah Indonesia dan Filipina.
"Pemerintah Filipina banyak memberikan dukungan dalam upaya pembebasan sandera," kata Iqbal.
"Para sandera diculik di wilayah Malaysia, tapi dalam proses pembebasannya tidak ada kontribusi pemerintah Malaysia sama sekali," paparnya.
Khairul mengatakan implementasi kerjasama trilateral menjadi sulit karena Indonesia lebih banyak menjadi target penculikan sementara Malaysia dan Filipina menjadi lokasi penculikan.
"Pemerintah harus berani bersuara kepada Malaysia karena selama ini penyanderaan ini terjadi di kawasan perairan Malaysia atau berdekatan Malaysia. Nampaknya Malaysia kurang serius menjaga kawasan perairannya," kata dia.
Menurutnya, Abu Sayyaf bisa masuk dan menyandera WNI karena lemahnya pengawasan wilayah perairan Malaysia. "Ini perlu dibahas serius, di forum pemerintah trilateral supaya tiap negara lebih serius agar ke depan mempersempit ruang gerak Abu Sayyaff," ujarnya.
Ia mengatakan dari sisi nelayan banyak yang kurang paham mengenai kerawanan kawasan laut Filipina Selatan. "Banyak kapal yang nekat berlayar di jalur bahaya karena menghindari biaya tinggi akibat memutar atau pengawalan otoritas keamanan di laut yang memunculkan biaya besar," ujarnya.
Teruskan patrol trilateral
Meskipun kembali terjadi penculikan di perairan antara ketiga negara, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan bahwa patroli trilateral Indonesia, Malaysia dan Filipina yang diluncurkan Juni 2017 telah berhasil menjaga keamanan wilayah tersebut.
“Patroli terus menerus sampai sekarang. Kalau tidak dijaga lautnya, (kapalnya) tidak sampai, sudah dibajak,” ujar Ryamizard kepada wartawan di sela-sela Rapat Pimpinan Kementerian Pertahanan (Kemhan) dan TNI di kantor Kemhan, Rabu.
Laporan yang dikeluarkan oleh oleh lembaga kajian Institut Analisis Kebijakan Konflik (Institute for Policy Analysis of Conflict/IPAC) minggu lalu menyebutkan bahwa kerja sama keamanan trilateral yang mencakup patroli laut dan udara tidak akan menghentikan ancaman terorisme dan penculikan di lokasi tersebut. Kajian itu menyatakan hal ini dikarenakan kebijakan yang dihasilkan berupa respons militer untuk mengatasi masalah yang pada dasarnya bukan masalah militer.
Menanggapi hal itu, Ryamizard membantah bahwa patroli bersama itu tidak bermanfaat untuk menjaga keamanan perairan Sabah, Sulu dan Sulawesi.
“Buktinya perdagangan jalan terus. Kalau tidak patroli, sudah dibajak, disandera dan (pembajak) minta uang,” ujarnya.
Berdasarkan catatan pemerintah, sejak 2016, sebanyak 36 WNI disandera di selatan Filipina. Sebanyak 34 diantaranya sudah bebas. sementara dua orang lainnya masih dalam upaya pembebasan.
Jeoffrey Maitem di Cotabato, Filipina, dan Ismira Lutfia Tisnadibrata di Jakarta turut berkontribusi dalam artikel ini.