KSAU: Indonesia Batal Membeli Sukhoi Su-35 dari Rusia, Pilih Jet Tempur Prancis dan AS
2021.12.22
Jakarta
Indonesia membatalkan rencana membeli pesawat tempur Sukhoi Su-35 dari Rusia dan mengincar sebagai gantinya pesawat F15 dari AS dan Dassault Rafale buatan Prancis, kata Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo, Rabu.
Pada 2018 Indonesia menyepakati pembelian 11 unit Sukhoi Su-35 senilai total U.S.$1,14 miliar melalui sistem barter dengan Rusia, namun transaksi tak kunjung terwujud di tengah kekhawatiran Indonesia bisa terancam sanksi dari AS karena membeli senjata dari Moskow.
“Mengenai Sukhoi Su-35, dengan berat hati, ya, kita harus sudah meninggalkan perencanaan itu. Kembali lagi dari awal kita sebutkan pembangunan kekuatan udara sangat bergantung dari anggaran, kalau yang bayar tidak mau kesana, kita tidak bisa nyebut-nyebut terus,” kata Fadjar kepada wartawan.
Fadjar mengatakan pihaknya telah mengerucutkan pilihan pada dua merek jet tempur yakni F-15EX buatan Amerika Serikat (AS) dan Dassault Rafale dari Prancis.
Kementerian Pertahanan beberapa kali menolak memberikan jawaban yang terang ketika ditanyakan kelanjutan rencana akuisisi Sukhoi Su-35.
Begitu pula ketika Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto berkunjung ke Rusia untuk membahas sejumlah kerja sama bilateral pada Maret 2021. Pernyataan bahwa Prabowo membahas kelanjutan pembelian Sukhoi Su-35 hanya muncul dari pihak Rusia.
Pada 2017, Presiden AS waktu itu Donald Trump menandatangani undang-undang Undang-undang Melawan Musuh Amerika Melalui Sanksi (CAATSA), yang menjatuhkan sanksi terhadap Iran, Rusia, dan Korea Utara.
Dengan legislasi itu, pemerintah yang membeli senjata dari Iran, Korea Utara dan Rusia dapat juga dikenakan sanksi.
Fadjar menambahkan, keputusan memilih F-15EX dan Rafale juga karena pertimbangan proses pengadaan yang tidak memakan waktu lama dibandingkan Sukhoi Su-35.
“F-15 EX timnya sudah datang ke saya, saya tanya kalau hari ini kita tanda tangan sepakat, unit awal pertama yang akan kita terima kira-kira kapan, jawabannya ya kira-kira tahun 2027,” kata Fadjar.
TNI AU mengajukan penambahan maksimal tiga skuadron jet tempur baik dari F-15EX maupun Rafale untuk mengganti pesawat lama serta berusia pakai panjang hingga 30-40 tahun ke depan.
“Kita mesti realistis. Di Laut China Selatan itu sebetulnya ancamannya buat siapa, wong kita juga bersahabat dengan China. Jadi itu yang selalu kita hitung terus, dengan resources yang ada, kita berupaya yang terbaik untuk rekan-rekan yang berdinasi di AU,” kata Fadjar.
Pejabat di Kementerian Pertahanan tidak memberikan respons saat BenarNews mencoba meminta komentar terkait pernyataan KSAU ini.
Pada awal tahun, TNI AU mengungkap rencana akuisisi 36 pesawat tempur Dassault Rafale dan delapan F-15EX buatan Boeing, kemudian 15 pesawat angkut C-130J, dan dua unit multi-role tanker transport (MRTT).
Selain itu, juga terdapat rencana akuisisi 30 radar ground-controlled interception (GCI) dan 3 unit pesawat tanpa awak (unmanned combat aerial vehicle/UCAV) dengan kemampuan ketinggian medium.
Sepanjang 2020, Menhan Prabowo menjalin diplomasi pertahanan ke berbagai negara mitra, termasuk AS, Rusia dan Prancis, dengan misi kerja sama pengadaan pesawat tempur untuk TNI AU.
Sebelumnya, Indonesia berencana mengakuisisi jet tempur F-35 buatan Lockheed Martin tetapi dinilai tak cukup layak karena belum memiliki seri 4 dan 4,5 dari pesawat generasi ke-5 ini, kata mantan Duta Besar Indonesia untuk AS Muhammad Lutfi pada akhir tahun lalu.
‘Belum dibatalkan’
Pada Senin (20/12), Duta Besar Rusia di Jakarta Lyudmila Vorobieva, mengatakan pihaknya belum menerima konfirmasi pembatalan rencana akuisisi Sukhoi Su-35 dari Indonesia.
Kendati demikian,Vorobieva mengingatkan bahwa Indonesia berpeluang kehilangan kesempatan untuk memiliki jet tempur bermesin ganda yang mampu melakukan manuver ‘kobra’ atau berbelok dengan sangat cepat.
“Sukhoi Su-35 saat ini sedang laku keras, banyak diincar oleh negara lain juga. Jadi, semakin lama implementasi kontrak ini terwujud, akan semakin sulit bagi kami untuk memastikan ketersediaannya,” kata Verobieva kepada jurnalis.
“Selain itu, kesepakatan ini sudah terjalin sejak tiga tahun lalu, kemungkinan besar harganya juga akan berubah,” katanya menambahkan.
Sukhoi Su-35 ditaksir dengan harga U.S.$83-85 juta atau sekitar Rp1,1-1,21 triliun per unitnya. Melansir Aircrafts Compare, harga Sukhoi Su-35 itu juga tidak berbeda jauh dengan F-15EX yang diperkirakan berkisar U.S.$87 juta (sekitar Rp1,28 triliun) per unitnya.
Sementara satu unit Rafale dipatok dengan harga yang lebih mahal yakni sekitar U.S.$115 juta atau setara Rp1,6 triliun.
Awal Juni 2021, Kementerian Pertahanan mengajukan anggaran belanja pertahanan hingga Rp1.760 triliun yang bakal dialokasikan hingga 2024, untuk memodernisasi pertahanan dalam upaya menghadapi ancaman militer seperti pelanggaran wilayah perbatasan dan intervensi asing.
Dalam salinan dokumen yang didapat BenarNews, disebutkan anggaran belanja bakal ditempuh melalui pinjaman yang lebih dari separuhnya bakal dialokasikan untuk pembelian alutsista, sisanya adalah anggaran pembayaran bunga dan pemeliharaan. Dokumen tidak memerincikan ke mana pinjaman akan diajukan.
Juli tahun lalu, Prabowo mengirimkan surat penawaran pembelian 15 unit jet tempur Eurofighter Typhoon milik Austria. Rencana itu menuai kritik dari dewan legislatif dan pakar militer lantaran jet tempur yang ditawar tersebut berstatus bekas dan diwarnai skandal dugaan suap.
Bulan lalu, Kementerian Pertahanan memesan dua unit pesawat Airbus A400M untuk memperkuat Angkatan Udara.
Kontrak pemesanan dua Airbus A400M itu ditandatangani di sela-sela Dubai Airshow, 14-18 November 2021, berlaku tahun 2022, dengan meliputi kesepakatan untuk perawatan serta pelatihan pesawat, ujar perusahaan pembuat pesawat Eropa itu dalam pernyataannya.
Media Korea Selatan pada November melaporkan bahwa proses negosiasi pembiayaan ulang proyek kerja sama pengembangan pesawat tempur generasi antara Indonesia dan Korea Selatan, KF-X/IF-X, menemukan titik terang setelah Seoul bersepakat untuk menurunkan porsi pembagian beban yang menjadi hambatan Jakarta untuk memenuhi kewajiban pembayaran.
Menurut Korea Times, Korea menyepakati negosiasi agar Indonesia memberikan pembayaran dalam bentuk barang untuk 30 persen dari beban biaya yang disepakati. Selain itu, Korea Selatan juga menggratiskan Indonesia dari pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk proyek tersebut.
Proyek pengembangan KF-X/IF-X memakan ongkos hingga 8,8 triliun Won ($7,4 miliar) atau setara Rp105,3 triliun. Dari angka itu, Indonesia harus menanggung 20 persen atau sekitar Rp19,2 triliun. Namun, dalam perjalanannya, Indonesia meminta adanya penurunan pembagian beban itu hingga 15 persen dengan alasan persoalan keuangan dalam negeri.