Rupiah terpuruk, masyarakat kencangkan ikat pinggang

Menurut ekonom, konsumsi rumah tangga akan terpukul karena hampir semua produk industri mengandung komponen impor.
Nazarudin Latif
2024.06.21
Jakarta
Rupiah terpuruk, masyarakat kencangkan ikat pinggang Teller memperlihatkan uang dolar AS dan rupiah di penukaran mata uang PT Ayu Masagung di Jakarta, 21 Juni 2024
Eko Siswono Toyudho/BenarNews

Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat mulai terasa dampaknya pada kehidupan sehari-hari dengan naiknya harga-harga barang, sehingga memaksa masyarakat untuk lebih mengencangkan ikat pinggang, kata warga dan pengamat Jumat.

Rupiah, yang dibuka pada hari Jumat di Rp16.440 terhadap dolar AS, berada pada titik terlemahnya sejak awal pandemi COVID-19 pada tahun 2020.

Seorang ibu rumah tangga di Bogor, Daswati, mengungkapkan kenaikan harga bahan pokok memaksanya berhemat dengan mengurangi jumlah belanjaan kebutuhan dapur seperti telur dan bawang putih.

“Harus benar-benar memutar otak untuk mengatur keuangan keluarga,” ujar Daswati, 55, kepada BenarNews. “Kebutuhan rumah tangga ini harus tetap dibeli, tapi sedikit-sedikit saja.”

Pelemahan rupiah ini tidak hanya berdampak pada konsumen, tetapi juga pada sektor industri yang bergantung pada bahan baku impor. Kenaikan biaya produksi dan distribusi dapat menyebabkan kenaikan harga barang, yang pada akhirnya akan semakin menekan daya beli masyarakat, kata pengamat ekonomi.

“Pada akhirnya daya beli konsumen akan terpengaruh dan kinerja perusahaan-perusahaan yang terdaftar di bursa juga akan terpengaruh,” kata Josua Pardede, kepala ekonom Bank Permata, pada BenarNews.

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto mengatakan pelemahan rupiah ini akan memukul konsumsi rumah tangga karena hampir semua produk industri di Indonesia mengandung komponen impor yang tinggi.

Karena itu jika rupiah melemah terus menerus, akan menambah ongkos baik produksi maupun distribusi.

Dia menduga saat ini sudah terjadi inflasi di level produsen, yaitu kenaikan harga-harga bahan baku produksi. Namun, kenaikan harga ini belum dikonversi menjadi harga pada konsumen.

“Saat ini produsen mungkin masih bisa menahan, tapi jika rupiah terus menerus melemah, mau tidak mau produsen harus menaikkan harga, itu jadi tekanan daya beli bagi konsumen,” ujar dia.

foto 2.jpeg
Ibu rumah tangga Daswati, 55 tahun, mengaku harus mengurangi jumlah belanja untuk menyiasati kenaikan harga kebutuhan pokok. [Nazarudin Latif/BenarNews]

Nilai tukar rupiah masih terus berpotensi tertekan meski Bank Indonesia mengumumkan akan mempertahankan suku bunga acuan (BI Rate) di level 6,25% untuk menjaga inflasi dan stabilitas nilai tukar, kata ekonom.

Bhima Yudhistira, direktur eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) mengatakan trend pelemahan rupiah ini diperkirakan akan berlanjut dalam kurun waktu yang cukup lama.

Hal ini menurutnya terjadi karena kondisi ekonomi global dan sentimen investor yang lebih berhati-hati saat masuk ke negara berkembang.

Menurut Bhima, pelemahan rupiah berdampak pada industri yang yang bergantung pada bahan baku dan mesin-mesin impor. Kondisi ini bisa mengakibatkan pemecatan massal, terutama pada sektor-sektor yang sensitif pada fluktuasi rupiah.

Efek lain, kata Bhima adalah potensi pelebaran subsidi energi hingga penyesuaian harga bahan bakar yang akan memicu inflasi dan mengganggu stabilitas ekonomi nasional. 

“Jika tidak segera ditangani dengan berbagai kebijakan, baik moneter maupun fiskal, akan berisiko sistemik pada sektor keuangan, baik di pasar modal sektor pembiayaan perbankan,” ujar dia pada BenarNews.

Diah Wimas Intan, seorang guru dan ibu empat anak di Jakarta Selatan, mengeluh harga telur yang biasa ia beli melonjak dari Rp21.000 menjadi Rp31.000 per kilogram. Begitu pula dengan beras, yang kini harus dibeli dengan harga Rp13.000 per liter, naik dari Rp10.000 sebelumnya.

"Saya kira kebutuhan pokok ini naik karena dulu dekat Ramadan dan Lebaran, tapi sampai sekarang harganya masih mahal," keluhnya.

Defisit APBN 2025

Menurut Bhima Indonesia juga sedang menghadapi ancaman defisit anggaran yang melebar karena program-program ekspansif seperti makan siang gratis, dari presiden terpilih Prabowo Subianto.

“Ini harus dijawab dengan ketegasan dari pemerintah mendatang bahwa APBN 2025 itu tidak mengakomodir kenaikan belanja yang berlebihan. Ini untuk meyakinkan sektor keuangan bahwa APBN dikelola secara disiplin,” ujar dia.

“APBN 2025 mendatang ini sepertinya masih belum mengakomodir disiplin fiskal, dan menjaga pengelolaan anggaran tidak terlalu ekspansif dari sisi belanja,” ujar dia.

Ibrahim Assuaibi, direktur PT. Laba Forexindo Berjangka, salah satu perusahaan pialang berjangka, mengatakan pasar khawatir dengan proyeksi defisit anggaran sebesar 2,8 persen dari produk domestik bruto (PDB), mendekati batas atas 3 persen.

Selain itu sikap Prabowo yang permisif dengan utang, bahkan sempat dikabarkan berencana menaikkan rasio hingga 50 persen PDB, memicu kekhawatiran.

“Pemerintah mendatang harus secepatnya menyampaikan komitmennya terhadap disiplin fiskal, agar naiknya risiko fiskal dapat ditekan dan tidak menciptakan sentimen negatif terhadap rupiah,” ujar dia.

foto 1.jpeg
Diah Wimas Intan, 40 tahun, merasakan kenaikan harga kebutuhan pokok, terutama beras dan telur belakangan ini. [Nazarudin Latif/BenarNews]

Fundamental ekonomi kuat

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa pelemahan rupiah terjadi karena tekanan global, bukan fundamental ekonomi nasional.

Faktor global yang memengaruhi rupiah adalah ketidakpastian dari kebijakan suku bunga acuan AS dan ketegangan geopolitik.

Sedangkan faktor dalam negeri menurut dia tidak ada yang menjadi penyebab lemahnya pergerakan kurs rupiah, karena angka indeks penjualan riil masih kuat, demikian juga angka Mandiri Spending Index, Indeks Keyakinan Konsumen, konsumsi semen, listrik, hingga Purchasing Manager's Index masih ekspansif.

Dalam APBN 2025 yang kini sedang disusun bersama DPR, Menteri Sri Mulyani juga memastikan rentang defisit sebesar 2,21 - 2,8 persen, untuk mengakomodir kebijakan Presiden terpilih melaksanakan program-programnya.

“APBN tetap dijaga secara hati-hati karena ini adalah instrumen penting bagi pemerintahan siapa saja ke depan juga,” kata Sri Mulyani, seperti dikutip oleh CNBC Indonesia usai rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSKK) dengan Presiden Joko “Jokowi” Widodo.

Pizaro Gozali Idrus berkontribusi dalam artikel ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.