Ratusan pengungsi Rohingya melarikan diri dari tempat penampungan di Aceh
2024.06.03
Banda Aceh
Ratusan pengungsi Rohingya yang ditampung sementara di beberapa lokasi di Provinsi Aceh telah melarikan diri dan diduga melibatkan kelompok penyeludup manusia untuk membawa mereka ke Malaysia, kata para pejabat terkait dan pengamat, Senin (3/6).
Juru bicara PBB untuk urusan pengungsi - UNHCR Indonesia, Mitra Salima Suryono, menyebutkan bahwa sejak November tahun lalu, sekitar 2.000 pengungsi Muslim Rohingya mendarat di beberapa pantai di Aceh dan Sumatra Utara (Sumut) dalam 14 gelombang kedatangan setelah mengarungi Samudera Hindia dengan perahu kayu dari Bangladesh.
“Saat ini di Aceh terdapat sekitar 1,000 pengungsi Rohingya, dan di Sumut ada sekitar 170 orang,” katanya kepada BenarNews.
Kasus terbaru kaburnya pengungsi Rohingya dari tempat penampungan terjadi Sabtu dinihari lalu, dimana 27 orang melarikan diri dari komplek Kantor Bupati Aceh Barat di Meulaboh.
Kepala Dinas Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Satpol PP dan WH) Aceh Barat, Azim NG, menjelaskan pengungsi Rohingya melarikan diri ketika hujan lebat menjelang subuh dan petugas jaga sedang tertidur pulas.
"Para imigran diketahui melarikan diri saat petugas hendak mengecek ke kamp, dan ditemukan kamp dalam kondisi kosong,” katanya, “saat ini, tidak ada lagi pengungsi Rohingya di Aceh Barat. Semua sudah kabur.”
Sehari sebelumnya, 16 pengungsi juga kabur dari tempat penampungan itu. Pelarian dalam jumlah kecil telah terjadi beberapa kali sebelumnya.
Malah, petugas Satpol PP pernah menangkap seorang supir minibus yang hendak mengangkut 12 pengungsi Rohingya ke Sumatra Utara pada 25 Mei lalu. Dia mengaku dibayar Rp1 juta setiap pengungsi.
Mereka adalah bagian dari 75 pengungsi yang diselamatkan nelayan bersama tim SAR Aceh setelah boat kayu yang mengangkut 151 warga Rohingya terbalik di Samudera Hindia, Maret silam. Hanya belasan jenazah Rohingya yang berhasil ditemukan beberapa hari kemudian, sementara sisanya hilang.
Kapolres Aceh Barat, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Andi Kirana menduga para pengungsi dibawa lari ke Sumatra Utara dan polisi sudah berusaha untuk melacak keberadaan mereka.
“Kita memonitoring kemana larinya. Informasi ke Sumatra Utara. Tetapi belum ada fakta-fakta (tentang keberadaan pengungsi Rohingya),” katanya seraya menyebutkan pengamanan Rohingya dilakukan Satpol PP Aceh Barat.
“Tren kabur” bukan hal baru
Muhammad Riza Nurdin, peneliti senior International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS) meyakini pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari tempat-tempat penampungan di Aceh memanfaatkan jasa kelompok penyeludup manusia karena ketidakpastian nasib mereka di Indonesia.
“Ini bukan hal baru karena sebelumnya pengungsi Rohingya yang pernah terdampar di Aceh juga melarikan diri ke Malaysia setelah beberapa waktu berada di lokasi pengungsian,” katanya kepada BenarNews.
Tren kaburnya pengungsi Rohingya dari tempat penampungan sudah terjadi sejak tahun 2015 saat hampir 1.000 warga Muslim minoritas yang dipersekusi militer Myanmar terdampar di Aceh.
Kala itu, agen-agen baik warga Indonesia maupun etnis Rohingya yang menetap di Medan datang ke lokasi-lokasi penampungan untuk menjemput mereka dan dibawa keluar dari Aceh.
“Kita harus akui bahwa pasti itu ada Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan penyeludupan manusia karena Rohingya menganggap Aceh sebagai daerah aman dan buat sindikat ini dianggap sebagai potensi,” ujar Riza yang pernah meneliti masalah Rohingya di Aceh.
Dia memastikan bahwa tujuan utama para pengungsi Rohingya itu bukan ke Indonesia, melainkan ke Malaysia karena di negara jiran tersebut lebih menerima keberadaan mereka ditambah lagi bisa bekerja meskipun secara ilegal.
“Apalagi anggota keluarga sebagian pengungsi Rohingya itu sudah lebih dulu berada dan bekerja di Malaysia,” ujar Riza.
Sirajul Mustafa (18), seorang pengungsi Rohingya yang ditemui BenarNews beberapa waktu lalu mengaku bahwa dia bosan berada di tempat penampungan karena tidak ada kegiatan, kecuali tidur dan makan.
“Saya ingin bekerja. Saya ingin bisa kirim uang untuk orang tua di Cox’s Bazar, Bangladesh, karena mereka sudah bayar agen senilai 100.000 taka Bangladesh (sekitar Rp14juta),” katanya, merujuk pada kamp penampungan pengungsi Myanmar di Bangladesh.
Terpaksa memanfaatkan penyeludup
Mitra Salima mengaku UNHCR selalu memberikan edukasi kepada pengungsi tentang resiko bahaya yang mungkin timbul dalam penyelundupan manusia seperti penculikan, kekerasan seksual, dan lainnya apabila mereka melanjutkan perjalanan tidak resmi.
Tetapi, “perlu diingat bahwa pengungsi Rohingya mungkin telah terpisah dari keluarga bertahun-tahun sehingga mereka memiliki keinginan kuat untuk bertemu keluarganya kembali. Ini sering kali menjadi motivasi kuat bagi mereka untuk melakukan perjalanan lanjutan meski mereka telah mengetahui bahayanya menggunakan perjalanan tidak resmi,” jelasnya.
Pengungsi yang terusir dari tanah kelahirannya dan tidak diakui kewarganegaraannya oleh Pemerintah Myanmar tak punya opsi lain karena mereka tidak punya dokumen perjalanan resmi seperti paspor, sehingga mereka tak mungkin dapat menempuh perjalanan antar negara dengan cara resmi seperti kebanyakan orang, tambah Salima.
“Berdasarkan kejadian di masa lalu, para pengungsi tidak menginformasikan kepada kami kemana tujuan mereka selanjutnya. Tujuan mereka secara umum ialah untuk mencari kehidupan yang baik, damai dan dekat dengan orang yang mereka cintai,” ujarnya.
Mitra Salima menambahkan, 75 persen pengungsi Rohingya adalah perempuan dan anak-anak sehingga mereka sangat rentan menjadi korban penyeludupan dan perdagangan manusia.
“Namun karena putus asa dan tak ada jalan lain, mereka terpaksa menempuh jalur berbahaya ini,” katanya, seraya menambahkan UNHCR selalu bekerja sama dengan pihak terkait dengan memberi informasi kesaksian pengungsi yang menjadi korban penyeludup dalam perjalanan mereka untuk ditindaklanjuti otoritas berwenang.
Koordinator Proyek Jesuit Refugee Service (JRS) Indonesia Aceh, Hendra Saputra, menyatakan bahwa pengungsi Rohingya meninggalkan lokasi penampunga karena ingin berkumpul dengan keluarga di Malaysia.
“Mereka juga berupaya untuk mencari lokasi dimana mereka bisa mendapatkan martabat dan hidup layaknya manusia dalam jangka waktu yang panjang, meski bagi mereka opsi itu kecil dan harus selalu bertabrakan dengan regulasi yang belum mengakui mereka seutuhnya,” ujarnya.
Hendra yang melakukan pendampingan advokasi kepada pengungsi Rohingya menambahkan bahwa mereka terpaksa memanfaatkan penyeludup manusia karena jalur aman dan legal bagi warga Rohingya sangat terbatas, atau bahkan tidak ada.
“Pelaku yang mengeksploitasi pengungsi adalah pelanggar hukum. Sementara bagi pengungsi sendiri, umumnya adalah korban. Dalam prinsip HAM (hak asasi manusia), setiap orang bebas untuk berpindah,” ujarnya.