2 Lagi Pengungsi Rohingya Meninggal
2020.09.11
Jakarta
Aktivis hak asasi manusia (HAM) mendesak Pemerintah Pusat untuk memastikan terpenuhinya layanan kesehatan di lokasi pengungsian setelah dua orang Rohingya kembali dilaporkan meninggal dunia di rumah sakit Aceh karena sesak napas pada Jumat (11/9).
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan insiden kematian ini menambah daftar panjang penderitaan yang dialami orang Rohingya yang dipersekusi dari kampung halaman sendiri di Provinsi Rakhine, Myanmar, dan kelaparan selama perjalanan laut.
“Situasi lapangan berubah dengan cepat. Saya pikir pemerintah harus bergerak lebih cepat dalam mengambil peran memastikan layanan kesehatan terpenuhi,” kata Usman kepada BenarNews, Jumat.
Senuwara Begum (19), perempuan pengungsi Rohingya, meninggal pada Jumat dini hari setelah menjalani perawatan intensif di ruang paru Rumah Sakit Cut Mutia Lhokseumawe, Aceh, sebut laporan pemerintah setempat.
Satu hari sebelumnya, Muhamad Khelal (22), dan pada Selasa, Mushalimah (21), meninggal karena sesak napas. Khelal meninggal di rumah sakit sementara Mushalimah tutup usia di lokasi penampungan sementara di Balai Latihan Kerja (BLK) Lhokseumawe.
Usman mengatakan, pada Rabu, pihaknya telah mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko “Jokowi” Widodo mendesak perhatian lebih dengan mendukung pemerintah daerah dalam memastikan pemenuhan hak-hak dasar pengungsi Rohingya yang sejalan dengan standar HAM internasional dan aturan nasional.
Salah satu aturan yang dirujuknya adalah Pasal 27 UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang kewenangan Presiden terhadap kebijakan untuk pengungsi dan Pasal 40 Perpres Nomor 125 Tahun 2016 tentang sumber pendanaan penanganan pengungsi yang berasal dari APBN.
“Dari pejabat pemerintah yang kami komunikasikan, mereka mengakui bahwa pemerintah pusat memang punya tanggung jawab. Dengan dasar Perpres 2016 itu mereka sedang coba ambil peran,” kata Usman, Jumat, tanpa merujuk pejabat mana yang dimaksud.
Sementara itu Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), sebuah lembaga think tank yang berbasis di Jakarta, dalam laporan terbarunya tentang Rohingya di Aceh mengimbau Jokowi menunjukkan kepemimpinan dengan merevisi keputusan presiden tentang pengungsi untuk mengambil sebagian dari beban keuangan pemerintah daerah dan memberikan dukungan yang lebih aktif.
"Orang Aceh memberikan bantuan kepada para pengungsi, tetapi ini adalah masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh komunitas lokal yang bersimpati," kata peneliti IPAC Deka Anwar.
"Kita membutuhkan tanggapan regional bersama, dengan tidak terlalu memfokuskan pada repatriasi ketika repatriasi bukanlah alternatif yang layak, tapi lebih memfokuskan pada pemikiran opsi pemukiman kembali regional dan penuntutan terhadap pihak yang mendapatkan untung dari jaringan penyelundupan ini," demikian laporan itu.
Merujuk laporan PBB untuk Pengungsi, UNHCR, dari total 296 pengungsi yang mendarat di Aceh pada Senin dini hari, sekitar 183nya adalah anak-anak dengan perincian 169 anak berusia 10-18 tahun dan 14 lainnya berusia di bawah sepuluh tahun.
Ratusan pengungsi tersebut kini ditempatkan di BLK Lhokseumawe bersama dengan 99 orang Rohingya yang tiba di Aceh pada akhir Juni lalu.
Kementerian Luar Negeri mengatakan pemerintah saat ini masih mengkategorikan mereka sebagai imigran ilegal sampai verifikasi status mereka selesai dilakukan UNHCR.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyebut atas nama kemanusiaan, pemerintah akan membantu keperluan mereka seadanya termasuk memperhatikan kesehatan mereka. Sementara, kebutuhan logistik dan penanganan lanjutan mereka berada di bawah tangung jawab UNHCR.
Achsanul Habib, Direktur HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri, mengatakan saat ini pemerintah telah membentuk tim satuan tugas (satgas) pengungsi daerah di Lhokseumawe untuk menangani berbagai kebutuhan pengungsi, termasuk masalah kesehatannya.
“Setahu saya, semua tengah ditangani oleh Satgas Pengungsi Daerah di Lhokseumawe. Hal-hal lain, saran saya ditanyakan langsung ke Kemenko Polhukkam,” kata Achsanul melalui pesan singkat.
Hasil tes rapid non-reaktif
Juru Bicara Satgas Penanganan Pengungsi Rohingya di Aceh, Marzuki, menyebut kematian ketiga orang Rohingya tidak terindikasi karena terjangkit COVID-19 merujuk dari hasil tes cepat seluruh pengungsi yang non-reaktif.
“Semua hasilnya non-reaktif, kecuali ada kasus positif akan dites swab,” kata Marzuki melalui sambungan telepon dengan BenarNews, Jumat.
Kendati demikian, untuk memastikan penyebab kematian serta langkah antisipasi untuk pengungsi lainnya, pihak RS Cut Mutia telah mengambil sampel milik Senuwara Begum untuk dilakukan tes swab COVID-19.
“Informasi dari rumah sakit sudah diswab, tapi hasilnya baru keluar Senin nanti,” katanya.
Juru bicara UNHCR untuk Indonesia, Mitra Suryono, mengatakan sampai saat ini UNHCR masih bekerja sama dengan pihak otoritas dan mitra kerja di lapangan untuk memprioritaskan kesehatan pengungsi dalam beberapa hari ke depan.
“Kami memang sangat mengkhawatirkan kesehatan para pengungsi yang tiba awal minggu ini dalam kondisi buruk,” kata Mitra kepada BenarNews.
“Pihak otoritas (dinkes) juga saat ini menjalankan screening kesehatan tambahan di lapangan dan UNHCR memastikan para pengungsi dapat memperoleh yang mereka butuhkan, termasuk untuk perbaikan gizi,” tambahnya.
Tanggung jawab bersama
Dalam Pertemuan Menteri ASEAN ke-53, Indonesia mendorong negara-negara anggota di kawasan untuk menyelesaikan masalah pengungsi Rohingya dengan fokus pada akar masalahnya, yakni penyelundupan serta perdagangan orang.
Hal serupa juga disampaikan Malaysia yang menekankan bahwa krisis Rohingya memiliki implikasi regional bagi anggota ASEAN juga.
Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia mengatakan meski saat ini sebagian pengungsi berada di teritori Indonesia dan Malaysia, namun semua anggota ASEAN memiliki tanggung jawab yang setara dalam memastikan terpenuhinya HAM.
“Di bawah hukum internasional, pemerintah di negara ASEAN harus segera melakukan pencarian dan penyelamatan bersama bagi para pengungsi yang masih bertahan di laut, mengizinkan semua kapal yang mengangkut pengungsi dan imigran untuk berlabuh dengan selamat di negara terdekat,” katanya kepada BenarNews.
Juru Bicara Organisasi Migrasi Internasional (IOM), Paul Dillon, menyebut seluruh pengungsi Rohingya yang tiba di Aceh kemungkinan berasal dari satu kapal induk yang membawa lebih dari 500 penumpang menuju Malaysia.
“Satu perahu lainnya, yang membawa 296 warga etnis Rohingya telah berlabuh di Langkawi, Malaysia pada 8 Juni,” kata Dillon dalam keterangan persnya di Jenewa, Selasa.
Dari kesaksian seorang penyintas Rohingya, ratusan pengungsi itu berasal dari kamp di Cox’s Bazar di Bangladesh dan mereka telah setuju untuk membayar penyelundup ribuan dolar untuk mencapai Malaysia.
Mereka berganti-ganti kapal sejak pertama kali berlayar, tujuh bulan silam, sebelum berlabuh di Aceh. Mereka sempat terjebak di Laut Andaman dan ujung Selat Malaka selama berbulan-bulan. Selama periode waktu itu juga, sekitar 30 pengungsi, termasuk anak-anak, meninggal dunia karena beragam kondisi kesehatan.
“Sulit dibayangkan, tak ada yang menyadari keberadaan mereka di sana selama tujuh bulan,” kata Dillon.
Ahmad Syamsudin turut berkontribusi dalam laporan ini.