Aktivis Kecam Penetapan Robertus sebagai Tersangka atas Dugaan Hina TNI
2019.03.07
Jakarta
Kalangan aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil, Kamis, 7 Maret 2019, mengecam tindakan kepolisian yang menetapkan dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang juga anggota dewan pembina Yayasan Amnesty Internasional Indonesia, Robertus Robet, sebagai tersangka kasus ujaran kebencian dan penghinaan atas Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Potongan videonya menyanyikan lagu mars Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang dipelesetkan yang populer di kalangan aktivis pro-demokrasi pada pengujung pemerintahan Soeharto beredar viral beberapa hari lalu, saat ia melakukan orasi mengecam rencana penempatan perwira TNI di jabatan sipil dengan membandingkannya pada dwifungsi ABRI jaman Orde Baru.
"Ada pemotongan (video) yang membuat konteks berubah," kata Direktur Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, kepada wartawan.
"Kalau lihat versi lengkap akan dapat pemaknaan berbeda, karena Robertus justru mengatakan mencintai TNI dalam artian mendorong TNI yang profesional. Baginya, menempatkan TNI di luar fungsi pertahanan akan mengganggu profesionalitas seperti di Orde Baru."
Kepolisian menjerat Robertus dengan Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45a ayat 2 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juncto Pasal 207 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUPH), dengan ancaman maksimal enam tahun penjara.
Ia ditangkap, Kamis dini hari sekitar pukul 01.20 WIB, dijemput empat orang penyidik dari Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri.
Serupa dengan Asfinawati, Direktur Riset Setara Institute, Halili, menyebut kepolisian semestinya menilai orasi Robertus itu sebagai wujud kontrol masyarakat sipil dalam iklim demokrasi Indonesia.
"Yang ingin mengingatkan pentingnya supremasi sipil dalam tata kelola demokrasi, seperti yang diperjuangkan gerakan reformasi pada 1998," katanya.
Begitu juga pendapat sejawat Robertus di UNJ, Ubaidillah, yang mengatakan orasi sang rekan sejatinya tidak dalam konteks menghina TNI, tapi bentuk kritik dan dorongan agar TNI tetap profesional.
"Ia paham betul bahwa sudah ada reformasi di tubuh militer dan ia memandangnya sebagai hal yang sehat," ujar Ubaidillah.
"Robertus sekadar mengingatkan jika ada keinginan menghadirkan kembali tentara ke dalam kehidupan sipil. Karena prasyarat demokrasi adalah supremasi sipil."
Setelah diperiksa sekitar 12 jam, Robertus dipersilakan pulang.
Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo, hal ini disebabkan karena jerat utama yang dikenakan kepadanya adalah Pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa dengan ancaman maksimal 1,5 tahun penjara.
Sesuai aturan, seseorang boleh tidak ditahan jika ancaman kurang lima tahun penjara.
"Maka setelah proses administrasi dan penandatanganan beberapa berita acara, hari ini diperbolehkan pulang. Tapi proses penyidikan tetap berjalan," kata Dedi.
Kronologis kejadian
Kasus hukum menjerat Robertus bermula saat penggalan video dirinya menyanyikan plesetan mars ABRI dalam Aksi Kamisan, demonstrasi damai yang berlangsung saban Kamis di depan Istana Kepresidenan Jakarta untuk mendesak penuntasan pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, tersebar di media sosial.
Beberapa netizen mempertanyakan maksud lagu itu. Salah satunya akun Twitter J.S. Prabowo @marieteman yang menuliskan, "Bukankah ajakan menyanyikan lagu seperti ini sudah bisa dikategorikan sebagai tindak (pidana)?"
Menanggapi beragam reaksi, Robertus membuat video klarifikasi menjelaskan motifnya menyanyikan lagu tersebut serta mengatakan bahwa lagu itu bukan gubahannya, melainkan lagu yang populer tahun 1998.
"Lagu itu dimaksudkan sebagai kritik saya terhadap ABRI di masa lampau, bukan TNI di masa kini," ujarnya, “apalagi dimaksudkan untuk menghina profesi dan organisasi, institusi TNI."
Sebagai dosen, terang Robertus, ia mengklaim paham segala upaya reformasi yang sudah dilakukan TNI, bahkan mengapresiasinya.
"Semoga dengan penjelasan ini, saya bisa menjernihkan berbagai macam reaksi. Namun demikian, apabila ada yang menganggap itu merupakan kesalahan yang menimbulkan kesalahpahaman, saya memohon maaf," katanya.
Tapi Dedi Prasetyo mengatakan bahwa orasi Robertus itu sebagai perihal berbahaya, sehingga ia ditetapkan menjadi tersangka.
"Apa yang disampaikan tidak sesuai dengan data dan fakta yang sebenarnya. Itu berbahaya karena mendiskreditkan," ujarnya.
Dedi membantah tindakan kepolisian sebagai pengekangan kebebasan berekspresi.
"Dalam Pasal 6 UU Nomor 9 Tahun 1998 dikatakan bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka publik itu limitatif," terangnya.
Merujuk beleid dimaksud Dedi, poin batasan adalah menghormati hak orang lain, aturan moral yang diakui umum, menaati hukum dan perundangan, menjaga kehormatan dan keamanan, serta keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
"Kriteria itu tidak boleh dilanggar," tambahnya.
Mengenai pelapor dugaan pidana, Dedi menambahkan kasus ini bersifat pidana yang ditemukan sendiri oleh kepolisian tanpa memerlukan laporan dari masyarakat.
‘Penangkapan tak berdasar’
Sebelum meninggalkan Bareskrim Polri, Robertus tak berkomentar panjang, tapi hanya mengatakan dirinya diperlakukan baik selama pemeriksaan.
"Kelanjutan proses hukum saya serahkan kepada pihak Polri," tuturnya kepada wartawan.
Seorang kuasa hukum Robertus, Yati Andriyani mengatakan, jerat Pasal 207 terhadap Robertus merupakan draconian laws atau jerat karet yang bisa digunakan kepada siapa pun untuk mengekang kebebasan dan telah dilarang oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006.
"Dalam masyarakat demokratik modern, delik penghinaan tidak boleh lagi digunakan untuk pemerintah (pusat dan daerah)," kata Yati dalam keterangan tertulis.
"Berdasarkan hal tersebut, penangkapan Robertus tidak memiliki dasar dan mencederai negara hukum dan demokrasi."