Revisi UU Terorisme: Rencana Perpanjangan Masa Penahanan Dikecam

Arie Firdaus
2016.02.04
Jakarta
160204_ID_UU_1000 Pengamat kepolisian Alfons Loemau (kedua dari kiri) berbicara pada seminar nasional di Jakarta, 4 Februari 2016, bersama Komisi 8 DPR Maman Imanulhaq (kiri), Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti (dua dari kanan) dan Ketua AJI Jakarta Ahmad Nurhasyim (kanan).
BeritaBenar

Rencana memperpanjang masa penahanan terhadap terduga teroris oleh polisi dari tujuh hari menjadi 30 hari dikecam berbagai pihak. Beleid itu termaktub dalam draf revisi Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang terorisme yang sedang digodok pemerintah.

"Itu bukan penyelesaian masalah. Bukan itu solusinya," tegas pengamat kepolisian, Alfons Loemau dalam seminar nasional tentang Revisi UU Terorisme dan Keamanan Nasional di Jakarta, 4 Februari 2016.

Menurutnya, solusi penyelesaian masalah terorisme adalah dengan memperbaiki kinerja aparat kepolisian. Khususnya terkait pengamatan atau intelijen.

"Kalau intelijennya kuat, (penahanan) sehari juga sudah cukup. (Karena) bisa segera membuktikan seseorang terlibat atau tidak dalam terorisme. Enggak perlu sampai 30 hari," ujar Alfons, yang merupakan purnawirawan polisi.

"Makanya, intelijennya harus diperkuat. BIN (Badan Intelijen Negara) juga begitu."

Pendapat senada diungkapkan Direktur Eksekutif Lingkar Madani, Ray Rangkuti, yang juga menjadi pembicaraan dalam seminar yang digelar oleh Madjid Politika, sebuah lembaga kajian politik.

"Bukan kewenangan penahananannya yang ditambah. Tapi perbaikan institusi yang bersangkutan," ujar Ray.

"Bagaimana harusnya kepolisian bisa bekerja dengan baik. Selama ini, kan, itu masalahnya.

Menilik Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), masa penahanan bagi terduga teroris sebenarnya terhitung lebih panjang ketimbang tindak pidana lain. Terduga teroris bisa ditahan selama tujuh hari. Sedangkan terduga kasus pidana lain hanya boleh untuk ditahan 1x24 jam.

Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf beranggapan, perpanjangan masa penahanan ini justru berpotensi menimbulkan penyiksaan.

"Malah bisa muncul abuse of power saat penahanan dan interogasi," ujar Al Araf saat dihubungi BeritaBenar. "Jadi, tak perlu diperpanjang, lah sampai 30 hari."

Dukung pencabutan paspor

Akan tetapi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly yakin perpanjangan masa penahanan ini tak akan berujung pada penyiksaan terhadap terduga teroris.

"Kalau ada abuse of power pun, ya, kita tindak lanjuti nanti," katanya, seperti dilansir laman bisnis.com 3 Februari lalu.

Selain perpanjangan masa penahanan, beberapa poin revisi yang akan diajukan pemerintah untuk dibahas bersama DPR adalah perluasan definisi terorisme, yaitu sebagai kegiatan mempersiapkan, pemufakatan jahat, percobaan, pembantuan tindak pidana terorisme.

Dengan definisi ini, aparat kepolisian diharapkan sudah bisa menangkap dan menginterogasi orang-orang yang berkumpul dan merencanakan aksi-aksi teror.

Sebelumnya, polisi hanya bisa menangkap seseorang jika sudah ada tindak pidana yang dilakukan, seperti membeli bahan peledak atau survei lokasi.

Poin lain adalah berfokus pada deradikalisasi, pembedaan sel di penjara, penahanan dengan bekal minimal dua alat bukti, serta pencabutan paspor bagi warga negara Indonesia yang terlibat pelatihan militer di negara lain atau organisasi yang melakukan kegiatan terorisme.

Menyangkut poin pencabutan paspor, Ray Rangkuti yang berbicara pada seminar itu mendukung rencana pemerintah.

"Kalau itu, saya setuju. Itu perlu, lah," tegasnya.

Tapi tak demikian pendapat Alfons. Ia menilai, pencabutan paspor justru berpotensi menimbulkan masalah baru.

"Lalu, mereka mau ke mana?" ujar Alfons. "Apa ada planet yang bisa menampung mereka?"

Ditargetkan rampung pada Juli

Dikutip dari laman detik.com, juru bicara presiden Johan Budi menyatakan bahwa Presiden Jokowi telah memberikan catatan pada draf revisi UU Terorisme yang diajukan Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan. Rancangan itu selanjutnya bakal dibawa ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secepatnya untuk dibahas bersama.

Pengajuan draf revisi oleh pemerintah ini adalah tindak lanjut dari rapat khusus yang digelar Presiden Jokowi pada 19 Januari lalu mengenai perlunya peninjauan ulang terhadap  UU Anti Terorisme, pasca terjadinya serangan teror di Jalan Thamrin, Jakarta, 14 Januari.

Anggota Komisi VIII DPR Maman Imanulhaq, yang juga tampil sebagai pembicara pada seminar yang sama, mengatakan belum mengetahui secara mendetail poin-poin revisi UU Terorisme yang diajukan pemerintah. Namun ia berharap rancangan aturan itu bisa menekan aksi terorisme di Indonesia.

"Serta tak ada kewenangan terlalu jauh yang dimiliki suatu institusi," kata Maman, yang juga anggota Badan Legislasi DPR.

Revisi UU Terorisme termasuk dalam sepuluh besar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016 DPR. Itu artinya revisi UU tersebut menjadi salah satu aturan prioritas yang harus diselesaikan tahun ini.

Pemerintah berharap aturan ini bisa disahkan pada Maret mendatang. Tapi Maman menilai hal itu sulit terwujud.

"Agak sulit, sih. Kami ada reses 19 hari. Tapi setidaknya kami ada masa persidangan sampai 15 Maret. Mudah-mudahan Juni atau Juli sudah bisa (disahkan)," tuturnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.