Pemerintah Didesak Revisi UU ITE Pasca Amnesti Baiq Nuril
2019.07.29
Jakarta
Presiden Joko "Jokowi" Widodo secara resmi telah menandatangani keputusan presiden (Keppres) tentang pemberian amnesti kepada Baiq Nuril Maknun, Senin, 29 Juli 2019.
Meski otomatis menggugurkan status terpidana pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) mantan guru honorer SMA Negeri 7 Mataram di Nusa Tenggara Barat tersebut, langkah Presiden Jokowi dinilai para pengamat dan aktivis tak menjamin kasus serupa tidak terulang lagi pada masa mendatang.
Mereka pun menuntut pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera merevisi UU ITE atau bahkan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) terkait ITE.
"Apa yang menimpa Baiq Nuril kan menunjukkan absurditas pasal-pasal UU ITE. Ia hanya membela diri, tapi malah dijerat hukum," kata Direktur LBH Asosiasi Perempuan untuk Keadilan (APIK) Siti Mazumah kepada BeritaBenar.
"Masih banyak perempuan yang sebenarnya menjadi korban kekerasan seksual tapi tidak berani melapor karena takut dijerat balik dengan UU ITE."
Baiq Nuril mulanya memang bermaksud merekam percakapan bernada melecehkan yang diutarakan mantan atasannya di sekolah.
Namun alih-alih diposisikan sebagai korban pelecehan seksual, ia malah dilaporkan balik atas pelanggaran UU ITE karena merekam dan mendistribusikan percakapan telepon.
"Karena undang-undang kita belum mengakomodir pelecehan seksual nonfisik. Jadi selama tidak ada aturan, kemungkinan korban pelecehan seksual terjerat UU ITE seperti Nuril masih akan terjadi," lanjut Mazumah.
Desakan sama disuarakan Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Mariana Amiruddin, yang menilai pemberian amnesti untuk Nuril hanya berefek singkat jika tidak dibarengi revisi aturan menyeluruh, terutama terkait ITE.
"Kalau ada kasus lain di masa mendatang, apa mau diamnesti presiden lagi?" katanya.
Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, setidaknya terdapat 3.000 kasus pelecehan terhadap perempuan sepanjang tahun 2018.
Dari jumlah itu, menurut Mariana, hampir seluruh korban justru balik disalahkan oleh lingkungannya.
"Makanya, yang paling efektif adalah segera merevisi UU ITE dan menyegerakan pengesahan RUU PKS (Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual) yang memang memuat definisi pelecehan lebih komprehensif, termasuk ujaran seperti yang dialami Baiq Nuril," ujar Mariana.
Desakan Perppu ITE
Merujuk data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), terdapat 292 kasus pemidanaan menggunakan UU ITE sepanjang 2018.
Angka ini meningkat dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya yang berjumlah 140 kasus.
Kasus terbanyak terkait pencemaran nama baik, sebanyak 149 kasus; ujaran kebencian sejumah 81 kasus; dan sisanya pelanggaran kesusilaan.
Sebagai langkah jangka pendek untuk mencegah berulangnya korban seperti Baiq Nuril di masa mendatang, Ketua Paguyuban Korban Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (PAKU ITE) Muhammad Arsyad mendesak pemerintah bergerak cepat dengan menerbitkan Perppu terkait ITE.
Penerbitan Perppu, terang Arsyad, menjadi perihal mendesak lantaran masa tugas DPR periode 2014-2019 akan segera berakhir, sedangkan pembahasan revisi sebuah beleid membutuhkan waktu lama.
"Sedangkan perlindungan agar tidak ada lagi korban (ketidakadilan UU ITE) dibutuhkan secepatnya," ujar Arsyad saat dihubungi.
Anggota Komisi I DPR, Charles Honoris tak mempermasalahkan jika pemerintah berniat menerbitkan Perppu terkait ITE.
Pasalnya, kata dia, revisi UU ITE tak termasuk dalam program legislasi nasional DPR yang harus segera dituntaskan parlemen periode 2014-2019.
"Tapi kalau pun tidak diterbitkan Perppu, bisa saja nanti diprioritaskan pada masa jabatan baru (DPR periode 2019-2024). Tergantung aspirasi," ujar Charles.
Sedangkan RUU PKS masih mandek di DPR lantaran Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dijadikan rujukan masih dibahas parlemen.
RUU PKS pun tidak bisa disahkan jika RUKHP belum selesai.
Layak terima amnesti
Kepastian penerbitan surat keputusan presiden disampaikan Jokowi pada Senin siang di Bandar Udara Halim Perdanakusumah, Jakarta.
"Tadi pagi Keppres untuk Ibu Baiq Nuril sudah saya tandatangani. Jadi, silakan Ibu Baiq Nuril kalau mau diambil di Istana, silakan. Kapan saja sudah bisa diambil," katanya.
Jokowi menambahkan bahwa dia tidak keberatan bila Nuril ingin bertemu dengannya setelah Keppres dikeluarkan.
“Diatur saja. Saya akan dengan senang hati menerima,” ujar Jokowi.
Sebelumnya, Baiq Nuril sempat mengutarakan keinginannya untuk bertemu langsung dengan Presiden Jokowi guna mengucapkan kasih karena perjuangannya dalam mencari keadilan akhirnya terwujud.
"Semoga amnesti bisa ditandatangani oleh Presiden dan saya ingin mengucapkan terima kasih langsung kepada Presiden,” kata Baiq Nuril setelah DPR menyetujui pertimbangan pemberian amnesti baginya pada Kamis pekan lalu.
Menanggapi terbitnya keputusan presiden, Aziz Fauzi selaku kuasa hukum Baiq Nuril mengutarakan syukurnya.
Menurutnya, Baiq Nuril memang layak mendapatkan amnesti lantaran ia adalah korban pelecehan seksual dalam kasus ini.
"Terima kasih sebesar-besarnya kepada Pak Presiden, DPR dan semua pihak yang menyuarakan keadilan untuk Ibu Nuril," kata Aziz.
Kasus Baiq Nuril bermula dari 2015, saat dirinya merekam percakapan telepon atasan yang bernada pelecehan.
Tak terima dengan tindakan Baiq Nuril, sang atasan melapor ke polisi.
Baiq Nuril ditetapkan sebagai tersangka UU ITE dan menjadi pesakitan di persidangan.
Namun Pengadilan Negeri Mataram kemudian memvonis bebas Nuril pada 27 Juli 2017.
Jaksa mengajukan banding hingga kasasi atas putusan tersebut.
Mahkamah Agung mengabulkan kasasi yang diajukan jaksa dan menghukum Baiq Nuril dengan hukuman enam bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan, sebelum kemudian atas desakan aktivis hak asasi dan masyarakat luas, presiden akhirnya memberikan amnesti.