Merespons Jokowi, TNI-Polri Siap Tindak Anggota Terkait Disiplin, Radikalisme

Pengamat menilai Presiden secara implisit meminta dukungan penuh otoritas keamanan.
Arie Firdaus
2022.03.02
Jakarta
Merespons Jokowi, TNI-Polri Siap Tindak Anggota Terkait Disiplin, Radikalisme Presiden Jokowi saat memberi pengarahan pada Rapim TNI-Polri Tahun 2022, pada 1 Maret 2022, di Plaza Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur.
BPMI Setpres

Tentara Nasional Indonesia dan Polri menyatakan akan menindak tegas anggotanya yang kedapatan mengundang penceramah yang menyebarkan paham radikal, sebagai respons atas teguran Presiden Joko "Jokowi" Widodo terkait kedisiplinan anggota dan keluarga kedua institusi keamanan itu. 

Pada Selasa, Jokowi meminta setiap anggota TNI dan Polri beserta keluarganya untuk tidak mengkritik kebijakan pemerintah dalam grup WhatsApp dan selektif dalam mengundang para penceramah agama karena aparat keamanan dan keluarganya tidak bisa bersikap bebas layaknya masyarakat sipil.

Juru bicara Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo menilai instruksi Presiden Jokowi sebagai perihal positif, demi kebaikan institusi kepolisian.

"Arahan Presiden menjadi pedoman karena untuk kebaikan bersama dalam memitigasi sebaran paham radikal," ujar Dedi kepada wartawan di Jakarta.

"Apabila terbukti ada yang melanggar, Propam (Divisi Profesi dan Pengamanan) akan menindak tegas anggota tersebut," ujarnya

Senada dengan Polri, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurachman mengatakan akan menginstruksikan bawahannya untuk lebih berhati-hati kala mengundang penceramah.

"Jangan sampai kita salah dalam memilih, mengundang penceramah yang rupanya orang itu sudah terpapar radikalisme," ujar Dudung.

"Jangan sampai pemahaman yang tidak bagus itu sampai ke keluarga kita."

Prajurit TNI berbaris dalam sebuah kegiatan pelatihan anti-terorisme di Banda Aceh, 2 Februari 2022. [AFP]
Prajurit TNI berbaris dalam sebuah kegiatan pelatihan anti-terorisme di Banda Aceh, 2 Februari 2022. [AFP]

“Tidak ada demokrasi”

Dalam pidato pada acara rapat pimpinan TNI dan Polri 2022, Jokowi menekankan bahwa di dalam militer tidak ada demokrasi.

"Di tentara itu enggak ada demokrasi. Enggak ada namanya itu bawahan merasa bebas, tidak sama dengan atasan. Enggak boleh," tutur Jokowi.

Dia mengatakan bahwa kebijakan selektif dalam mengundang penceramah dibutuhkan demi meminimalkan penyebaran paham-paham radikal.

"Hati-hati. Ibu-ibu [istri anggota TNI dan Polri] juga sama. Kedisiplinan kita harus sama. Enggak bisa ibu-ibu ngumpulin yang lain, manggil penceramah semaunya atas nama demokrasi," ujar Jokowi.

"Sekali lagi, di tentara dan polisi enggak bisa seperti itu. Harus dikoordinasikan oleh kesatuan. Tahu-tahu undang penceramah radikal."

Perdebatan IKN

Selain itu, Jokowi juga mewanti-wanti anggota TNI dan Polri untuk tidak terlibat dalam perdebatan soal pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan. 

Ia pun mengaku telah melihat percakapan berisi penolakan pemindahan ibu kota dalam grup WhatsApp anggota TNI dan Polri. Perihal yang menurut Jokowi semestinya tidak muncul dari tentara dan polisi karena sudah menjadi keputusan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Maka, ia pun menuntut para personel militer dan polisi untuk mematuhi dan berdisiplin kepada instruksi pimpinan serta mengingatkan keluarga masing-masing untuk selalu menaatinya.

"Kitab undang-undang disiplin tentara, intinya kalau kita liat adalah kesetiaan tegak lurus," ujar Jokowi.

Tak ketinggalan, Jokowi juga menuntut TNI dan Polri untuk melek teknologi karena ancaman kemanan telah bergeser dari konvensional menuju digital.

BenarNews menghubungi Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswati Pramodhawardani terkait pernyataan Presiden Jokowi, termasuk definisi radikal yang disampaikannya, tapi belum beroleh balasan.

Persaudaraan Alumni (PA) 212 yang merupakan salah satu penggerak dalam rangkaian demo ormas Islam konservatif menuntut proses hukum terhadap mantan Gubernur DKI Jakarta yang beragama Kristen dan keturunan Tionghoa, Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama setelah dituduh melakukan penistaan agama, mempertanyakan definisi radikal yang dimaksud.

Menurut Ketua PA 212 Slamet Maarif, pernyataan Jokowi tersebut berpotensi disalahartikan dan menjadi senjata politik karena bisa dipakai untuk meredam penceramah yang kerap mengkritik pemerintah.

"Radikal versi Jokowi itu seperti apa? Apakah yang kritis dan oposisi bisa dianggap radikal?" ujar Slamet saat dihubungi.

Kepada BenarNews, Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan menilai radikal yang disampaikan Jokowi jelas merujuk kepada paham yang mendorong laku ekstremisme dan terorisme.

Maka, terang Amirsyah, hal tersebut perlu didukung oleh semua pihak, terutama TNI dan Polri.

"Subyeknya jelas, para penceramah yang ceramahnya mengarah pada tindakan ekstremisme dan terorisme," ujarnya.

Dalam pernyataan pada sebuah diskusi daring pada 18 Februari lalu, Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris sempat menyatakan bahwa para teroris memang mulai menyusup ke dalam lembaga negara, termasuk TNI-Polri.

"Mohon maaf, TNI-Polri juga ada yang terpapar," kata Irfan kala itu, dikutip dari laman Tempo.co.

Sejumlah pengamat terorisme kepada BenarNews beberapa waktu lalu juga sempat mengatakan bahwa kelompok teror di tanah air telah berkamuflase demi mencapai tujuan.

Dari semula mengharamkan terlibat dalam proses demokrasi, mereka kini dipersilakan untuk aktif dalam kegiatan serta lembaga dan organisasi legal di Indonesia, salah satunya dijalankan Jemaah Islamiyah (JI), kelompok terafiliasi al-Qaeda yang telah dinyatakan terlarang oleh pemerintah pada 2008.

Hal itu terbukti dari penangkapan salah seorang anggota Komisi Fatwa MUI Ahmad Zain An-Najah pada 2021 serta dua anggota MUI Bengkulu pada Februari 2022.

“Pesan implisit”

Pengamat pertahanan Anton Aliabbas menilai beberapa poin instruksi Jokowi tersebut sejatinya memiliki pesan implisit, bahwa Presiden meminta dukungan penuh dari otoritas keamanan dan pertahanan.

"Pesan itu dapat diartikan bahwa Jokowi hendak memastikan dukungan penuh terkait kebijakan pemerintah yang masih kontroversial, terutama IKN (Ibu Kota Negara)," ujar Anton, dalam keterangan tertulis yang diterima BenarNews.

Anton menambahkan, pesan dalam grup percakapan berisi anggota TNI-Polri sendiri dapat berpotensi besar bocor dan disalahgunakan demi menggiring opini publik yang kontra terhadap pemerintah, sesuatu yang sangat ingin dihindari Jokowi.

"Jokowi mengantisipasi agar perdebatan di WAG (WhatsApp Group) tidak mengganggu kesetiaan TNI dan Polri pada pemerintah," pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.