Majelis PBB Adopsi Resolusi 'Cegah Masuknya Senjata' ke Myanmar
2021.06.18
Washington
Majelis Umum PBB pada Jumat (18/6) mengadopsi resolusi yang menyerukan militer Myanmar untuk memulihkan pemerintahan demokratis, dan mendesak negara-negara anggotanya untuk "mencegah aliran senjata" ke negara itu, di mana pasukan keamanan telah menewaskan lebih dari 800 orang - sebagian besar adalah warga sipil pengunjuk rasa - sejak kudeta awal Februari lalu.
Empat dari 10 anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara itu – Brunei, Kamboja, Laos dan Thailand – abstain dalam pemungutan suara, sekali lagi menunjukkan perpecahan di dalam blok tersebut tentang bagaimana menangani junta Burma yang menggulingkan pemerintah sah pada 1 Februari.
Resolusi tersebut “menyerukan kepada angkatan bersenjata Myanmar untuk menghormati kehendak rakyat melalui hasil pemilihan umum pada 8 November 2020, untuk mengakhiri keadaan darurat, untuk menghormati hak asasi rakyat Myanmar dan untuk memungkinkan transisi demokrasi berkelanjutan di negara tersebut.”
Selain itu, resolusi juga menyerukan pembebasan Presiden Win Myint, Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, dan "semua orang yang telah ditahan, didakwa atau ditangkap secara sewenang-wenang" - sekitar 4.880 orang, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik yang berbasis di Thailand.
Duta Besar Myanmar untuk PBB, yang berbicara mewakili pemerintah bayangan sipil, mengatakan resolusi itu “tidak sesuai harapan kami” karena “tidak termasuk pengenaan embargo senjata” di negara itu.
Sebanyak 119 negara memberikan suara mendukung resolusi tersebut. Tiga puluh enam negara anggota PBB abstain, dan 37 tidak hadir untuk pemungutan suara. Belarus adalah satu-satunya negara yang memilih tidak.
Cina abstain dari pemungutan suara itu, mengatakan resolusi itu bertentangan dengan sejumlah peraturan khusus di negara itu, sementara Rusia yang juga abstain, mengatakan resolusi itu tidak akan berkontribusi untuk menyelesaikan krisis di Myanmar.
Duta Besar Myanmar untuk PBB, Kyaw Moe Tun, mengatakan kecewa karena “dibutuhkan tiga bulan untuk mengadopsi resolusi yang diperingan ini.”
Namun, perwakilan sipil Myanmar “memilih setuju karena sampai batas tertentu akan menekan militer untuk menghentikan tindakan tidak manusiawi di Myanmar.”
'Risiko perang saudara skala besar' di Myanmar
Pemungutan suara pada resolusi tersebut, yang diinisiasi oleh Liechtenstein, ditunda bulan lalu, ketika badan PBB itu berusaha untuk menggalang lebih banyak dukungan untuk itu, terutama dari ASEAN, yang menginginkan klausul embargo senjata dicabut dari rancangan tersebut.
Draf itu kemudian direvisi dan versi inilah yang disahkan Jumat.
Sekarang, resolusi tersebut mendesak negara-negara anggota PBB “untuk mencegah aliran senjata ke Myanmar,” sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan dari Juli tahun lalu yang menyerukan gencatan senjata global dan penurunan eskalasi kekerasan di tengah pandemi COVID-19.
Walaupun tidak sempurna, pengesahan resolusi tersebut merupakan langkah signifikan, karena “mengirim pesan bahwa hubungan dengan junta militer yang membunuh rakyatnya sendiri tidak akan berlangsung seperti biasa,” kata Simon Adams, direktur eksekutif Global Center for the Responsibility to Protect melalui Twitter.
Sementara itu, Utusan Khusus PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener mengatakan kepada majelis bahwa “kesempatan untuk membalikkan pengambilalihan militer [di Myanmar] semakin sempit.”
Christine yang berbicara setelah dilakukannya pemungutan suara tersebut mengatakan “risiko perang saudara skala besar [di Myanmar] adalah nyata” dan memperingatkan bahwa setengah dari populasi negara itu dapat tenggelam dalam kemiskinan pada tahun 2022 jika kekerasan berlanjut.
Selain mendengar dari Schraner Burgener, Dewan Keamanan PBB pada hari Jumat itu juga dijadwalkan untuk mendengar salah satu dari dua pejabat ASEAN dari Brunei – ketua ASEAN tahun ini – yang mengunjungi Myanmar awal Juni.
4 negara anggota ASEAN abstain dari pemungutan suara
Resolusi itu mengatakan ASEAN memiliki peran penting untuk dimainkan dalam membantu Myanmar dalam transisinya menuju demokrasi.
Oleh karena itu, Majelis Umum PBB “menyerukan Myanmar untuk terus terlibat dengan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara itu dalam mencari resolusi damai yang berkelanjutan untuk krisis politik saat ini.”
Namun, negara-negara anggota ASEAN, Brunei, Kamboja, Laos, dan Thailand abstain dalam pemungutan suara, yang menunjukkan betapa terpecahnya blok regional tersebut.
Badan PBB di dalam resolusinya juga meminta Myanmar untuk “segera menerapkan” konsensus lima poin yang disepakati ASEAN dengan kepala junta Burma dalam KTT khusus di Jakarta pada 24 April lalu.
Namun demikian ASEAN tidak membuat kemajuan pada salah satu dari lima poin konsensus, salah satunya adalah penunjukan utusan khusus untuk Myanmar dan kunjungan delegasi ASEAN ke negara yang dilanda krisis, yang dipimpin oleh utusan itu.
Aung Thu Nyein, direktur Institut Strategi dan Kebijakan Myanmar, mengatakan bahwa negara-negara anggota ASEAN tidak memiliki posisi yang sama dalam masalah Myanmar, “mengingat fakta bahwa sebagian besar negara [anggota] bahkan bukan negara demokratis.”
Namun, blok regional itu dapat berperan, kata Aung Thu Nyein kepada Radio Free Asia (RFA), entitas saudara dari BenarNews.
“Saya kira ASEAN masih memiliki peran sentral dalam menangani krisis Myanmar. Banyak negara mendukung konsensus lima poin ASEAN itu,” kata Aung Thu Nyein kepada RFA.
Layanan Radio Free Asia Myanmar berkontribusi dalam laporan ini.