Resmikan gedung dakwah anti-Syiah, walikota Bandung tuai kecaman
2022.08.30
Jakarta
Sejumlah aktivis pada Selasa (30/8) mengecam keras partisipasi Walikota Bandung dan jajarannya dalam peresmian Gedung Dakwah Aliansi Nasional Anti-Syiah (ANNAS), menyebut tindakan tersebut sebagai sikap intoleransi atas kerukunan beragama dan berkeyakinan.
Akhir pekan lalu, Walikota Bandung Yana Mulyana menghadiri peresmian Gedung ANNAS di Bandung dan dalam sambutannya menyatakan bahwa pemerintah kota Bandung mengapresiasi pembangunan gedung tersebut.
Apresiasi Walikota Bandung tersebut memicu protes dari kalangan aktivis hak asasi manusia (HAM) karena dinilai akan mendorong sentimen anti pada keyakinan tertentu di kalangan penganut Islam terutama pada kelompok Syiah yang merupakan Muslim minoritas di Indonesia yang mayoritas beraliran Sunni.
“Apa yang dilakukan oleh Walikota Bandung dan aparat pemerintah di Kota Bandung jelas merupakan keberpihakan nyata dan fasilitasi aktif kepada ANNAS,” demikian disampaikan Halili Hasan, Direktur Riset SETARA Institute, organisasi pelindung hak asasi manusia, dalam pernyataan yang diterima BenarNews, Selasa.
Menurut data riset SETARA Institute, ANNAS kerap menjadi pelaku pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan, pada kategori aktor non-negara.
“Pernyataan Walikota dalam sambutannya, yang membingkai kelompok-kelompok yang menjadi objek gerakan ANNAS seakan “tidak diakui negara” merupakan pernyataan dan sikap intoleran,” kata dia.
“Kami mendesak pemerintah meninjau ulang penamaan organisasi ANNAS yang mengandung frasa ‘anti-Syiah’, dengan tetap menghormati hak berkumpul dan berorganisasi sesuai jaminan HAM dan hak konstitusional warga,” tambahnya.
Halili mengatakan tindakan walikota itu telah mencederai rasa keadilan korban intoleransi, terutama komunitas Syiah serta merusak agenda inklusi sosial dan penguatan kohesi sosial yang diupayakan jaringan masyarakat sipil dan komunitas lintas agama di Bandung.
Bandung merupakan salah satu kantong terbesar komunitas minoritas Syiah di Indonesia yang secara nasional jumlahnya tidak diketahui pasti.
Diperkirakan umat Syiah di Tanah Air setidaknya berjumlah 500 ribu orang dengan kemungkinan keseluruhan penganut bisa mencapai sekitar 2,5 juta lebih seperti pernah diungkapkan Jalaluddin Rakhmat, Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI), organisasi massa berhaluan Syiah yang berpusat di Bandung.
Maraknya tindak kekerasan terhadap minoritas
SETARA Institute, lembaga yang memonitor kasus-kasus intoleransi, melaporkan 180 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama tercatat sepanjang tahun 2020, menurun tipis jika dibandingkan tahun sebelumnya di mana sebanyak 200 pelanggaran terjadi.
Setidaknya 422 tindak kekerasan terjadi di 29 provinsi di Indonesia, lebih dari separuhnya dilakukan oleh pejabat negara terkait diskriminasi dan intoleransi beragama, dibanding 327 kasus tahun sebelumnya, menurut SETARA. Pelanggaran terbanyak terjadi provinsi Jawa Barat disusul Jawa Timur, Aceh dan Jakarta.
Sedikitnya 378 jiwa komunitas Syiah masih berdiam di Rusun Puspa Agro Sidoarjo, Jawa Timur, setelah rumah mereka dibakar dan mereka diusir dari kampung mereka di Sampang, Madura oleh kelompok anti-Syiah setempat pada tahun 2012. Sudah bertahun-tahun mereka tinggal di rusun itu tanpa kepastian kapan bisa kembali ke kampung mereka.
“Mereka tidak diizinkan untuk kembali ke kampung halamannya namun juga dilarang untuk menetap di tempat penampungan selamanya,” ungkap SETARA.
Pada November 2020, sekitar 270 pengungsi Syiah asal Madura itu menjalani pembaiatan menjadi Suni dengan harapan mereka bisa pulang kampung, namun pemerintah setempat tidak dapat menjamin keinginan itu karena masih ada penolakan dari warga Suni di wilayah itu demikian laporan media.
Pada bulan Agustus tahun yang sama, ratusan massa intoleran datang membubarkan sebuah acara doa di Mertodranan, Pasar Kliwon, Solo, hingga menyebabkan tiga orang terluka
Walikota Bandung Yana Mulyana tidak merespons saat dihubungi BenarNews untuk diminta tanggapan atas kritik aktivis HAM.
Cederai kebhinekaan
Direktur Program MAARIF Institute, Mohammad Shofan, juga menyesalkan tindakan walikota Bandung yang justru memberikan tempat bagi kelompok intoleran.
“Secara tidak langsung pemerintah kota Bandung turut memberikan dukungan dan ini sangat berpotensi memunculkan kelompok identitas, gerakan populisme Islam yang tidak jarang meresonansikan kegaduhan karena mereka mengibarkan bendera intoleransi, sektarianisme, isu politisasi agama, yang justru akan mencederai kebhinekaan,” ujarnya kepada BenarNews.
Seharusnya, tambahnya, pemerintah menciptakan satu regulasi yang tidak mendiskreditkan golongan tertentu dengan menjunjung pluralisme, keberagaman, dan memberikan hak kebebasan agama tak terkecuali Syiah.
Kecaman juga datang dari Staf Khusus Menteri Agama Bidang Kerukunan Umat Beragama Nuruzzaman.
“Negara tidak semestinya memberikan dukungan, tapi memoderasi cara berpikir, sikap dan praktik keberagamannya. Bukan pada tempatnya Walikota memfasilitasi dan mendukung pandangan ANNAS,” tegasnya.
Dia mengatakan relasi Sunni dan Syiah perlu disikapi secara arif karena Organisasi Konferensi Islam (OKI) sendiri menyatakan bahwa Syiah adalah bagian dari Islam.
Bahkan, ujarnya, berdasarkan tokoh Grand Syekh Al Azhar, Prof. Dr. Syekh Ahmad Muhammad Ahmad Ath -Thayyeb, umat Islam yang berakidah Ahlussunnah bersaudara dengan umat Islam dari golongan Syiah.
ANNAS sebut paham Syiah berbahaya
Menanggapi kecaman tersebut, Ketua Umum ANNAS Pusat, Athian Ali, menyangkal jika organisasi yang dipimpinnya merupakan kelompok intoleran. Sebaliknya ia mengatakan ANNAS sangat toleran.
“Terhadap enam agama lainnya kami sangat toleran, tapi Syiah tidak bisa karena Islam harus dijaga kesuciannya,” katanya.
Dia mengatakan bahwa ANNAS selama ini terdaftar resmi dan selalu berkoordinasi dengan DPR, Kementerian Politik Hukum dan Keamanan, dan aparat keamanan karena menyadari Syiah itu sangat berbahaya karena banyak menimbulkan konflik.
“Kalau Syiah itu kan sudah melakukan pelanggaran, dia menghina kesucian agama Islam. Alquran mereka anggap bukan kitab suci, Allah dihina, Nabi Muhammad dikafirkan, istri Rasul dilaknat,” katanya, tanpa memberikan penjelasan atas klaimnya tersebut.
Negara harus tegas
Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Sana Jeffrey mengatakan impunitas bagi kelompok vigilantisme – atau pihak yang cenderung main hakim sendiri – sangat kuat karena adanya hubungan baik antara negara terhadap kelompok tersebut.
“Misalnya ada kalimat-kalimat dukungan seperti ‘dirangkul’ dan lainnya. Negara ini ada tapi mereka membantu kelompok vigilantisme itu untuk berlindung dibaliknya,” kata dia.
“Seharusnya pemerintah berani membubarkan karena mereka suka main hakim sendiri bukan karena hal lainnya. Untuk mengurangi kelompok semacam ini, negara harus lebih tegas,” tambahnya.
Hal senada disampaikan dosen Center for Religious and Cross-Cultural Studies (ICRS) Universitas Gadjah Mada Iqbal Ahnaf. Ia mengatakan kekerasan bernuansa intoleransi dimungkinkan oleh dukungan aktor dalam negara.
“Sasarannya biasanya orang yang bukan melanggar hukum seperti menyerang kaum minoritas seperti Ahmadiyah, Syiah,” ujarnya.