Reklamasi dan Kisah Pilu Nelayan Tradisional Teluk Jakarta
2016.04.13
Jakarta
Suhali bergerak lincah di atas perahu kayu sepanjang tiga meter miliknya. Tangannya cekatan menurunkan tumpukan jaring di badan perahu ke laut melalui sisi kanan.
Sesekali, lelaki 58 tahun itu memainkan kemudi di bagian belakang sambil menaik-turunkan mesin – yang lebih menyerupai pemotong rumput – di sisi kiri perahu.
"Buat ngatur (laju) kapal. Biar jaring enggak menumpuk," jelasnya kepada BeritaBenar, Jumat, 8 April 2015, yang ikut menemaninya menebar jaring sore itu.
Petang itu, ombak di Teluk Jakarta cukup ramah. Riak-riaknya hanya membuat perahu Suhali bergoyang pelan.
"Mudah-mudahan nanti ada ikan (yang terjaring)," ujarnya.
Pendapatan menurun
Suhali memang layak berharap lebih. Tiga hari dia tidak melaut karena ikut berpartisipasi dalam beberapa aksi demonstrasi menolak proyek reklamasi Teluk Jakarta.
Bersama rekan-rekannya di Serikat Nelayan Tradisional, dia gencar menolak rencana proyek menimbun laut itu.
"Karena proyek ini jelas-jelas tak berpihak kepada nelayan tradisional, seperti saya," katanya dengan suara tinggi.
"Kami yang paling menderita akibat reklamasi ini."
Penderitaan mereka, lanjut Suhali, tercermin dari merosotnya jumlah tangkapan ikan sejak reklamasi dimulai, khususnya setelah proyek Pulau F dan G berjalan.
Kedua pulau buatan itu berjarak sekitar 300 meter dari daratan Muara Angke, Kelurahan Pluit, kawasan tempat tinggal Suhali.
Sebelum reklamasi dimulai, Suhali bercerita, bisa mendapatkan 10-20 kilogram ikan setiap harinya.
Setiap kilogram, dia jual kepada pengepul seharga Rp10-25 ribu, tergantung jenis ikan yang terjaring. Kembung adalah salah satu jenis termahal.
Namun sejak reklamasi dikerjakan, pendapatan yang sebenarnya tidak seberapa itu pun berubah menjadi cerita masa lalu yang sulit diulang.
Sebelum "libur" melaut tiga hari lalu saja, misalnya, lelaki asal Indramayu, Jawa Barat itu mengatakan hanya mampu mengumpulkan 7 kilogram ikan. Itupun akumulasi tangkapan tiga hari sebelumnya.
"Akhirnya, saya terpaksa pinjam uang Rp250 ribu kepada kenalan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari," katanya.
Dengan perahu kayu miliknya, Suhali hanya bisa melaut maksimal sejauh 1 kilometer dari daratan. Tetapi, kawasan itu kini mulai dijejali pulau-pulau buatan.
Kenapa tak mencari ikan lebih jauh? Suhali mengangkat bahu. "(Perahu) enggak kuat ombak," tutur lelaki yang memiliki delapan orang anak ini.
Praktis, lokasi pencarian ikan semakin menyempit. Jumat sore itu, ia menebar jala di jarak sekitar 200 meter dari pantai. Dari sini, aktivitas di pulau-pulau buatan terlihat jelas.
Di daratan pulau, alat-alat berat tampak mondar-mandir. Beberapa kapal terparkir di sekelilingnya. Sekian meter di sisi luar kapal, pelampung oranye sebesar mesin ATM terombang-ambing ombak.
"Itu batas mendekati pulau," ujar Suhali.
Asmara Salman sedang merapikan jaringnya di Muara Angke, Pluit, Jakarta Utara, 8 April 2015. (Arie Firdaus/BeritaBenar)
Sumber ‘kemudaratan’
"Tuh!" ujar Suhali tiba-tiba, sembari menunjuk ke sebuah kapal di satu sisi pulau reklamasi. "Kapal maju mundur yang bahaya."
Kapal yang ditunjuk Suhali sejatinya adalah sebuah kapal pengisap pasir yang bekerja membantu proyek reklamasi. Tugasnya, antara lain, menyedot lumpur di dasar laut sehingga pasir dalam kondisi bersih bisa disemprotkan ke daratan pulau buatan.
Tapi bagi Suhali, kapal itu hanyalah sumber kemudaratan. Dua kali jaringnya tersedot kapal tersebut. "Sampai sekarang enggak diganti," katanya lagi.
Tak cuma itu, kesebalannya menggunung lantaran aktivitas kapal membuat air laut jadi keruh sehingga ikan-ikan kabur. Hal itupun diakui nelayan lain, Asmara Salman.
"Karena diurug, air jadi keruh. Ikan-ikan enggak mau lagi mampir," kata pria 54 tahun ini.
"Padahal sebelum ada pulau, areal itu adalah wilayah migrasi ikan. Kami bisa dapat ikan kembung di sana."
Desak Pemda hentikan proyek
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Mukri Priyatna mendesak Pemerintah DKI Jakarta untuk berani menghentikan proyek yang mulai menyeret sejumlah orang tersandung dugaan korupsi.
"Ekosistem di Teluk Jakarta akan hancur kalau tetap dilanjutkan. Pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu akan tenggelam karena pasirnya diambil," katanya.
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, San Afri Awang, berharap Pemerintah DKI Jakarta mendengar keluhan nelayan tradisional.
"Selama ini, kan, mereka sudah terjepit," ujar Awang.
Sementara itu di Teluk Jakarta, awan gelap tampak mulai berarak rendah di wilayah daratan, dengan kilat sesekali menyambar.
Badai mungkin tidak menggetarkan Suhali, yang sudah 30 tahun mengarungi teluk itu, tapi kegetiran akan terampasnya mata pencariannya karena reklamasi Teluk Jakarta, tak bisa disembunyikan dari wajahnya.