Qanun Keuangan Syariah Jadi Kontroversi, Bank Konvensional Hengkang dari Aceh
2021.05.06
Banda Aceh
Warga Muslim di Aceh mulai tahun depan harus hanya menggunakan jasa keuangan syariah karena pemberlakuan peraturan khusus di daerah tersebut yang juga berdampak pada hengkangnya sejumlah bank, namun salah seorang warganya berupaya menentang kebijakan tersebut.
Desember lalu, pengacara dan aktivis Safaruddin menggugat tiga bank konvensional karena menutup cabang mereka di Aceh, menyusul berlakunya peraturan daerah yang mengharuskan lembaga keuangan membuka layanan syariah.
“Saya kan masih nasabah konvensional dan sekarang diberikan pilihan bagi kita untuk mengalihkan rekening kita ke syariah. Saya tetap memilih konvensional,” kata Sarifuddin
Qanun Nomor 11 Tahun 2018 yang diberlakukan pada Januari 2019 tentang Lembaga Keuangan Syariah (Qanun LKS) yang mengharuskan penyedia jasa keuangan melakukan transaksi berdasarkan sistem syariah per Januari tahun depan, menyebabkan bank-bank konvensional menutup operasi mereka di Aceh.
Sebagian besar, termasuk beberapa bank plat merah, CIMB Niaga dan BCA beralih ke layanan syariah, namun tidak semua masyarakat Aceh mau beralih ke perbankan syariah.
Pada 3 Desember 2020, Safaruddin melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap Bank Mandiri, Bank Central Asia (BCA), dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) karena tidak menerima keputusan manajemen ketiga bank tersebut menutup layanan konvensional.
Menurut Safaruddin, direktur Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Qanun LKS mewajibkan bank konvensional yang sudah beroperasi di Aceh membuka unit usaha syariah, bukan menutup operasi.
“Tidak ada satu kalimat pun bahwa bank konvensional itu harus tutup. Itu salah persepsi,” ungkap Safaruddin.
Ketika ditanya kenapa dia bersikeras tidak mau pindah ke bank Islam, dia mengatakan layanan di bank konvensional lebih baik.
‘Meningkatkan pelaksanaan hukum Islam’
Qanun LKS, yang berlaku tahun 2019 setelah sosialisasi selama satu tahun, dimaksudkan untuk menguatkan lembaga keuangan syariah di Aceh dalam rangka meningkatkan pelaksanaan hukum Islam.
"Lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh berdasarkan prinsip syariah. Aqad keuangan di Aceh menggunakan prinsip syariah," menurut Pasal 2 Qanun LKS.
Pasal 6 menyebutkan bahwa qanun berlaku untuk setiap orang beragama Islam di Aceh, namun non-Muslim “dapat menundukkan diri” pada peraturan itu.
Menurut pasal itu juga qanun berlaku untuk setiap orang yang beragama bukan Islam, badan usaha yang melakukan transaksi keuangan dengan pemerintah di Aceh, baik tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota.
Pelanggaran qanun dapat berakibat sanksi termasuk denda uang, peringatan tertulis, pembekuan kegiatan usaha, pemberhentian direksi, hingga pencabutan izin usaha.
Tidak seperti bank konvensional, perbankan Islam tidak menerapkan bunga. Dalam sistem Syariah, tabungan dan pinjaman dianggap sebagai investasi di mana untung dibagi antara lembaga keuangan dan nasabah.
Gubernur Aceh Nova Iriansyah pada 7 Februari 2020 mengirimkan surat permintaan laporan kemajuan konversi sistem konvensional ke syariah yang ditujukan untuk semua bank yang beroperasional di Aceh dan mengingatkan batas konversi paling lambat 4 Januari 2022.
Namun salah seorang anggota tim perumus qanun, Aliamin, membantah kalau qanun melarang bank konvensional di Aceh.
“Tujuan qanun ini bukan menutup bank konvensional, tetapi yang pertama ingin membebaskan rakyat Aceh agar tidak termakan riba”, ucap Aliamin, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala.
Menurutnya sesuai pasal 6 qanun tersebut rakyat Aceh yang beragama Islam dilarang berhubungan dengan bank konvensional, tapi keberadaan bank umum tidak dilarang.
Menurut Safaruddin, penutupan sejumlah bank konvensional merugikan rakyat Aceh.
“Makanya saya mengajukan gugatan. Seperti ini nanti, hal-hal kecil yang langsung berdampak pada kita,” ujarnya,
Safaruddin mengatakan dia diberi batas waktu untuk memindahkan dananya ke bank syariah hingga Juli 2021, sementara gugatan sedang menunggu putusan sela beberapa waktu ke depan.
Nasabah non-Muslim
Kewajiban lembaga keuangan menggunakan prinsip syariah diatur dalam Qanun LKS, namun masih ada pertanyaan apakah aturan ini berlaku untuk non-Muslim.
Kepala Ombudsman Perwakilan Aceh, Taqwaddin Husen Pemerintah Aceh harus memperhatikan kendala teknis terkait nasabah non-Muslim dan memikirkan prinsip keadilan dan perlindungan kepada seluruh rakyat Aceh terlepas agama mereka.
“Saya kira, di Aceh ini juga tidak 100 persen Muslim. Ada yang non-muslim. Nah, non-Muslim transaksi sesama non-Muslim. Masa kita tidak toleran kepada mereka”, kata Taqwaddin kepada BenarNews.
Ombudsman Perwakilan Aceh mengusulkan kepada Pemerintah Aceh untuk melakukan upaya edukasi secara menyeluruh terhadap keberadaan Qanun LKS ini kepada seluruh lapisan masyarakat, baik kepada aparatur negara, kalangan usaha, Muslim maupun non-Muslim yang berada di Aceh.
“Kalau misalnya di Aceh tidak ada lembaga keuangan lain selain yang syariah, itu artinya kan memaksa mereka atau terpaksa mereka harus mengundurkan diri dan ini tidak sukarela,” ujar Taqwaddin, “ini juga masalah yang perlu dipikirkan”
Kendala teknis
Kepala Bank Indonesia Perwakilan Aceh, Achris Sarwani, mengatakan keputusan untuk tetap buka atau pergi dari Aceh merupakan keputusan masing-masing manajemen bank.
Menurutnya walaupun beberapa bank memilih menutup kantornya di Aceh, tetapi sejumlah perbankan BUMN tetap bertahan dengan beralih ke lini bisnis syariah seperti BRI, BNI, dan Mandiri, yang beroperasi di bawah naungan Bank Syariah Indonesia (BSI) setelah merger.
Sementara bank swasta nasional ada yang memilih hengkang seperti Bank Panin.
“Batas waktu sebenarnya sesuai dengan qanun yaitu 4 Januari 2022. Namun, jika dilihat, kok dari sekarang sudah banyak yang meninggalkan Aceh?” ungkap Achris.
Sejak 1 Februari 2021, BRI Syariah, BNI Syariah, dan Bank Syariah Mandiri bergabung menjadi BSI, namun dalam proses konversi ditemukan beberapa gangguan pada sistem yang berdampak pada layanan terhadap nasabah.
Hal tersebut diakui oleh Kepala Biro Perekonomian Sekda Aceh, Amirullah, menurutnya penerapan perbankan syariah di Aceh memang menemui beberapa kendala teknis.
Peralihan lembaga keuangan dari sistem konvensional menjadi syariah ternyata tidaklah mudah. Namun, ia mengatakan masa transisi sedang berjalan dan berproses sesuai Qanun LKS.
“Kita sampai saat ini masih fokus target kita penyelesaian implementasi Qanun ini di tanggal 4 Januari 2022,” ujarnya.
UMKM
Pengamat ekonomi Islam dari Universitas Syiah Kuala, M. Shabri Abdul Madjid, mengatakan lahirnya Qanun LKS ini untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi di Aceh berbasis nilai-nilai keadilan.
Dia mencermati, banyak kebijakan penting dan menarik yang diatur di dalam Qanun LKS tersebut, diantaranya alokasi pembiayaan untuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), membuka kesempatan kepada pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten dan kota untuk mengeluarkan Surat Berharga Syariah (SBS).
Dalam qanun tersebut diatur rasio pembiayaan UMKM minimal 30 persen paling lambat tahun 2020 dan 40 persen pada tahun 2022.
Namun, kenyataannya Bank Aceh Syariah sendiripun kesulitan memenuhi kuota 20 persen pembiayaan usaha untuk UMKM.
Sumber-sumber di internal bank syariah di Aceh menyebutkan mereka butuh waktu paling cepat setahun untuk menyesuaikan sistem dan waktu yang lebih lama lagi untuk memenuhi konsep ideal seperti yang tercantum dalam qanun.
“Saya kira mestinya UMKM punya daya tawar kepada pihak bank syariah agar bank syariah melakukan pembiayaan tidak hanya dengan prinsip jual beli, tetapi dengan prinsip mudharabah, misalnya dengan prinsip bagaimana bank bisa menanamkan modalnya pada sektor usaha kecil,” ujar Konsultan UMKM Pujoe Basuki kepada BenarNews
“Saya kira yang seperti ini akan lebih fair bagi penerapan bank syariah di Aceh, tetapi lagi-lagi memang secara penerapan mungkin pihak bank belum siap dalam hal ini,” ungkap Pujoe.