Pulau Buru Tanah Air Beta, Ziarah Luka Anak Bangsa

Arie Firdaus
2016.03.21
Jakarta
160321_ID_Buru_1000 Sutradara Rahung Nasution di sela-sela pemutaran film “Pulau Buru Tanah Air Beta” di Jakarta, Minggu, 20 Maret 2016.
Arie Firdaus/BeritaBenar

Sedikit membungkuk, Hersri Setiawan (80) seksama memperhatikan nisan berlumut nan kusam di hadapannya.

"Heru... Her... Ru," ujarnya dengan suara lirih.

Tangan kanannya kemudian menunjuk nisan, mengikuti barisan huruf yang terpatri di atasnya. Kembali berujar dengan suara yang masih pelan, "Lha ini, Heru."

Lamat-lamat suaranya. Namun cukup nyaring untuk membuat istrinya Ita Nadia, dan sang putri, Ken datang menghampiri. Mereka bertiga berkumpul mengelilingi nisan, membersihkannya dari ilalang dan ranting.

Lantas, bait demi bait puisi pun dibacakan Hersri:

“...Berjejer-jejer terpahat nama-nama
Di atas tanah tanda kematian
Tertanam tegak-tegak
Makin dipandang, makin membisu...”

Demikianlah sepotong adegan film dokumenter berjudul “Pulau Buru, Tanah Air Beta” karya Rahung Nasution yang sempat dilarang diputar oleh aparat kepolisian di Pusat Kebudayaan Jerman Goethe Haus pada Rabu, 16 Maret lalu setelah mendapat ancaman dari sebuah organisasi masyarakat (Ormas).

Film ini mengisahkan perjalanan seorang mantan tahanan politik bernama Hersri Setiawan ke Pulau Buru – tempat ia pernah diasingkan oleh Pemerintah Orde Baru – untuk mencari makam sahabatnya, Heru Santoso.

Heru adalah teman sekamar Hersri sejak mereka pertama kali menjadi pesakitan dan dipenjara di Jakarta. Mereka tidur bersebelahan.

"Kami kenal, lalu akrab," ujar Hersri kepada istri dan anaknya, dalam adegan lain.

"Saat kami mau pindah ke Pulau Buru, ia yang menyusun teman-teman di truk, berkelompok-kelompok dan disuruh bernyanyi. Ia juga yang memberi aba-aba."

Sebagai rekan senasib sepenanggungan, tak sekali saja Hersri berupaya mencari makam Heru.

Sebelum menemukannya pada 2015 – saat pengambilan gambar film dilakukan sekitar bulan Mei — Hersri sempat secara sembunyi-sembunyi mengunjungi Pulau Buru pada 1997 untuk mencari makam sang sahabat. Ketika itu, pencariannya berujung nihil.

Banyak kisah bersama Heru yang diceritakan ulang Hersri di film ini. Tak jarang pula suaranya tercekat saat bercerita.

Pada awal film, misalnya, Hersri sempat bercerita pada Ken tentang beban psikologis menetap di Pulai Buru.

Beban itu sempat membuat Heru berniat melarikan diri dan mengajak Hersri tapi ditolak sastrawan mantan anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) tersebut.

"Karena saya percaya ada gundukan-gundukan politik tersembunyi," ujar Hersri beralasan.

Adegan ini ditutup dengan pembacaan puisi lain Hersri. Dalam suara yang tak kalah lemahnya:

“...Bayangan seragam loreng
Mata tentara dendam kesumat
Bayangan gagang karaben
Bersambaran di atas kepala...”

Bermula di Timor Leste

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Trailer "Pulau Buru Tanah Air Beta"

Menurut sutradara Rahung Nasution, ide pembuatan film ini bermula pada 2004 lalu ketika ia dan Hersri bertemu di Timor Leste – yang telah merdeka dari Indonesia.

Dalam pertemuan itu, Hersri yang bekerja sebagai penerjemah di Komisi Rekonsiliasi Timor Leste banyak bercerita pengalamannya saat menjadi tahanan di Pulau Buru.

"Sampai ia bilang, saya ingin berziarah ke Buru. Bagaimana kalau nanti kamu ikut dan merekam perjalanan saya ke sana?" tutur Rahung mengulangi ajakan Hersri kepada BeritaBenar di Jakarta, Minggu, 20 Maret 2016.

Tanpa banyak pertimbangan, Rahung mengiyakan ajakan tersebut.

"Karena (ajakan) menarik. Hersri adalah penyair besar dan pernah punya mimpi besar," ujar Rahung lagi.

Pada usia mudanya, Hersri memang sempat menjadi perwakilan Indonesia dalam Biro Pengarang Asia-Afrika di Sri Langka.

Meski begitu, pembuatan film dokumenter itu tak langsung terlaksana.

Gagasan itu mengendap hingga akhirnya Rahung bersua seniman Dolorosa Sinaga di Singapura, beberapa tahun setelahnya. Dolorosa mendorong Rahung merealisasikan ide tersebut mengingat peristiwa 1965 akan mencapai usia ke-50 tahun pada 2015.

Rahung pun bergerak cepat. Pada Februari 2015, dia mengunjungi Pulau Buru untuk melakukan survei. Menghindari kecurigaan, ia mengaku sebagai anak mantan tapol.

Baru pada Mei, bersama Hersri dan rombongan, Rahung melakukan pengambilan gambar selama sepekan.

Rahung mengaku tak mengejar keuntungan dalam pembuatan “Pulau Buru Tanah Air Beta”. Bahkan, ia yang harus merogoh kocek pribadi untuk merampungkan film yang berdurasi 48 menit itu.

Rahung tak mempermasalahkannya. Karena ia berharap film ini bisa menjadi wadah pendidikan bagi kaum muda yang berjarak dengan peristiwa 1965.

Atas pertimbangan mengedukasi generasi muda pula Rahung kemudian lebih banyak menempatkan Ken sebagai "pewawancara" Hersri dan menggiringnya agar bercerita tentang kegetiran yang dialaminya selama menjadi tahanan politik di Pulau Buru.

"Karena Ken adalah representasi  generasi muda sekarang dan anak korban," jelas Rahung.

Dia berharap kian banyak anak muda paham dan peduli dengan tindak kekerasan pemerintah seperti yang menimpa Hersri dan kawan-kawan pasca peristiwa 1965.

Tetapi, perjuangan mengedukasi itu tak mudah karena harus menghadapi tekanan aparat pemerintah.

Rencana pemutaran perdana film itu di Goethe Haus terpaksa dibatalkan karena dilarang menyusul ancaman dari sebuah ormas padahal banyak penonton sudah datang.

Akhirnya terpaksa harus dipindah ke kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan diputar dua kali petang dan malam. Penontonnya mencapai 300 orang.

Apa alasannya dipilih Komnas HAM? “Di sana aman karena lembaga negara," tutur Whisnu Yonar, sang produser film tersebut.

Pemerintah memang berulang kali melarang acara "berbau" 1965, seperti Festival Belok Kiri awal Februari lalu dan beberapa acara di Ubud Writers Festival pada 2015.

Rangkaian pelarangan itu dinilai Rahung sebagai sikap yang aneh.

"Seharusnya pemerintah merasa bersalah atas insiden masa lalu itu. Bukan malah merasa trauma," katanya.

Berat dan melelahkan, mungkin saja. Sebab seperti diutarakan Hersri saat berbicara kepada para keluarga korban tragedi 1965 dalam adegan lain, "Pemerintah masih bersikap bisu dan tuli."

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.